
Mantap! IHSG Menguat 4 Pekan Berturut-Turut
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
19 January 2019 14:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa terus tersenyum. Pasalnya, selama sepekan kemarin IHSG menguat 1,36%, yang ditutup di level 6.448. Tak hanya itu, penguatan mingguan IHSG kemarin merupakan yang ke-4 secara berturut-turut sejak 21 Desember 2018.
Memang, minggu ini merupakan 'minggu ceria' bagi sebagian besar pasar keuangan di Asia. Rajanya adalah Indeks Kospi yang berhasil mendaki 2,35%, disusul oleh bursa saham Shanghai dengan kenaikan 1,65% sebagai posisi runner-up. Tak mau ketinggalan, Hang Seng menguat 1,59%, Nikkei naik 1,5%, Straits Times bertambah 0,8%, dan KLCI juga naik 0,53%. Hanya indeks SET (Thailand) yang membukukan pelemahan sebesar 0,83% pekan ini.
Sentimen pada minggu ini digerakkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aura positif yang semakin kuat perihal damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Pada 7-9 Januari 2019, perwakilan kedua negara setingkat wakil menteri menggelar perundingan dagang di Beijing. Usai pertemuan tersebut, kedua belah pihak menunjukkan gelagat positif, meskipun hasilnya kurang 'nampol' dengan tidak adanya bentuk kesepakatan yang konkrit.
Pada Kamis sore (10/1/2019), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan bahwa ada perkembangan yang dicapai dari perundingan yang telah selesai dilaksanakan. Menurutnya, perkembangan tersebut erat kaitannya dengan isu-isu struktural seperti pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual.
Pernyataan dari Gao Feng setidaknya dapat menenangkan pelaku pasar. Sebab menurutnya pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual merupakan permasalahan yang terbilang sulit untuk dipecahkan .
Selanjutnya, Presiden AS Donald Trump pada hari Senin (14/1/2019) semakin menambah optimisme pasar dengan mengatakan bahwa China ingin bernegosiasi dan perbincangannya berlangsung dengan baik.
"Kami melakukannya (perbincangan) dengan sangat baik dengan China," kata Trump di Gedung putih kepada reporter, mengutip Reuters.
"Saya rasa kami akan dapat mencapai kesepakatan dengan China."
Tidak berhenti sampai disitu, hari Kamis (17/1/2019), Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Wakil Perdana Menteri Liu He yang merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang kedua negara akan berkunjung ke Washington pada 30 dan 31 Januari.
Liu He dikabarkan akan bertemu dengan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, yang juga merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang kedua negara.
Bahkan, Wall Street Journal melaporkan bahwa beberapa orang sumber mengungkapkan Liu akan berdiskusi dengan Mnuchin mengenai kemungkinan penghapusan bea masuk untuk berbagai produk made in China. Walaupun kemudian dibantah oleh Kementerian Keuangan AS, pelaku pasar tetap menaruh harapan yang besar bahwa hal tersebut akan bisa direalisasikan.
Selain itu, sikap bank sentral AS (The Fed) yang terkesan menjadi makin dovish juga memicu aksi beli pada kawasan negara berkembang, yang salah satunya adalah Asia Tenggara.
Wakil Gubernur The Fed Richard Clarida pada hari Senin mengatakan bahwa bank sentral akan bersabar dalam mengambil kebijakan pada tahun ini seiring dengan adanya perlambatan ekonomi di luar AS, walaupun dirinya menilai momentum ekonomi di AS tetap kuat.
"Kita dapat bersabar pada tahun 2019, ada momentum yang baik," kata Clarida, seperti dikutip dari Reuters.
Dirinya menambahkan bahwa The Fed akan memutuskan tingkat suku bunga acuan dengan basis "meeting by meeting" dalam bulan-bulan mendatang.
Seperti yang telah diketahui, Sepanjang tahun 2018, The Fed menaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali (100 bps). Hal tersebut membuat dolar AS seperti minum doping. Bahkan, selepas menggelar pertemuan pada bulan Desember 2018, The Fed masih memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 50 bps pada tahun 2019.
Bersamaan dengan komentar Powell dan Clarida, pelaku pasar menjadi ragu bahwa The Fed akan melakukan normalisasi suku bunga acuan tahun ini. Jika benar, maka dolar tidak akan mengulangi kejayaannya seperti tahun 2018.
Namun demikian, ada faktor yang menghambat pertumbuhan indeks pasar saham minggu ini.
Kekhawatiran akan timbulnya 'perang dagang baru' membuat pasar semakin dihantui perlambatan ekonomi.
Gejoak yang datang dari Benua Biru makin mencuat menjelang voting parlemen Inggris terhadap proposal Brexit yang diajukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Theresa May.
Benar saja, voting parlemen yang diadakan pada hari Rabu dini hari mencatatkan skor 2 banding 1 atas kekalahan proposal Brexit pemerintah.
Menyusul keputusan tersebut, pimpinan partai buruh Jeremy Corbyn mengajukan pelaksanaan pemungutan suara atas mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May.
Namun, hasil pemungutan suara masih mempercayakan May sebagai Perdana Menteri. Artinya, Theresa May harus kembali memikirkan jalan keluarnya.
Kini, nasib Brexit masih terkatung-katung, sedangkan jadwal resmi Inggris keluar dari Uni Eropa sudah mepet, yaitu pada 29 Maret 2019 mendatang
Apabila No Deal Brexit sampai terjadi, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memperkirakan No Deal Brexit bisa menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi hingga 8% pada tahun ini.
Bila sampai kejadian, maka dampaknya akan mendunia, sebab Inggris merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-5 dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Memang, minggu ini merupakan 'minggu ceria' bagi sebagian besar pasar keuangan di Asia. Rajanya adalah Indeks Kospi yang berhasil mendaki 2,35%, disusul oleh bursa saham Shanghai dengan kenaikan 1,65% sebagai posisi runner-up. Tak mau ketinggalan, Hang Seng menguat 1,59%, Nikkei naik 1,5%, Straits Times bertambah 0,8%, dan KLCI juga naik 0,53%. Hanya indeks SET (Thailand) yang membukukan pelemahan sebesar 0,83% pekan ini.
Sentimen pada minggu ini digerakkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aura positif yang semakin kuat perihal damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Pada 7-9 Januari 2019, perwakilan kedua negara setingkat wakil menteri menggelar perundingan dagang di Beijing. Usai pertemuan tersebut, kedua belah pihak menunjukkan gelagat positif, meskipun hasilnya kurang 'nampol' dengan tidak adanya bentuk kesepakatan yang konkrit.
Pada Kamis sore (10/1/2019), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan bahwa ada perkembangan yang dicapai dari perundingan yang telah selesai dilaksanakan. Menurutnya, perkembangan tersebut erat kaitannya dengan isu-isu struktural seperti pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual.
Pernyataan dari Gao Feng setidaknya dapat menenangkan pelaku pasar. Sebab menurutnya pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual merupakan permasalahan yang terbilang sulit untuk dipecahkan .
Selanjutnya, Presiden AS Donald Trump pada hari Senin (14/1/2019) semakin menambah optimisme pasar dengan mengatakan bahwa China ingin bernegosiasi dan perbincangannya berlangsung dengan baik.
"Kami melakukannya (perbincangan) dengan sangat baik dengan China," kata Trump di Gedung putih kepada reporter, mengutip Reuters.
"Saya rasa kami akan dapat mencapai kesepakatan dengan China."
Tidak berhenti sampai disitu, hari Kamis (17/1/2019), Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Wakil Perdana Menteri Liu He yang merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang kedua negara akan berkunjung ke Washington pada 30 dan 31 Januari.
Liu He dikabarkan akan bertemu dengan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, yang juga merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang kedua negara.
Bahkan, Wall Street Journal melaporkan bahwa beberapa orang sumber mengungkapkan Liu akan berdiskusi dengan Mnuchin mengenai kemungkinan penghapusan bea masuk untuk berbagai produk made in China. Walaupun kemudian dibantah oleh Kementerian Keuangan AS, pelaku pasar tetap menaruh harapan yang besar bahwa hal tersebut akan bisa direalisasikan.
Selain itu, sikap bank sentral AS (The Fed) yang terkesan menjadi makin dovish juga memicu aksi beli pada kawasan negara berkembang, yang salah satunya adalah Asia Tenggara.
Wakil Gubernur The Fed Richard Clarida pada hari Senin mengatakan bahwa bank sentral akan bersabar dalam mengambil kebijakan pada tahun ini seiring dengan adanya perlambatan ekonomi di luar AS, walaupun dirinya menilai momentum ekonomi di AS tetap kuat.
"Kita dapat bersabar pada tahun 2019, ada momentum yang baik," kata Clarida, seperti dikutip dari Reuters.
Dirinya menambahkan bahwa The Fed akan memutuskan tingkat suku bunga acuan dengan basis "meeting by meeting" dalam bulan-bulan mendatang.
Seperti yang telah diketahui, Sepanjang tahun 2018, The Fed menaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali (100 bps). Hal tersebut membuat dolar AS seperti minum doping. Bahkan, selepas menggelar pertemuan pada bulan Desember 2018, The Fed masih memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 50 bps pada tahun 2019.
Bersamaan dengan komentar Powell dan Clarida, pelaku pasar menjadi ragu bahwa The Fed akan melakukan normalisasi suku bunga acuan tahun ini. Jika benar, maka dolar tidak akan mengulangi kejayaannya seperti tahun 2018.
Namun demikian, ada faktor yang menghambat pertumbuhan indeks pasar saham minggu ini.
Kekhawatiran akan timbulnya 'perang dagang baru' membuat pasar semakin dihantui perlambatan ekonomi.
Gejoak yang datang dari Benua Biru makin mencuat menjelang voting parlemen Inggris terhadap proposal Brexit yang diajukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Theresa May.
Benar saja, voting parlemen yang diadakan pada hari Rabu dini hari mencatatkan skor 2 banding 1 atas kekalahan proposal Brexit pemerintah.
Menyusul keputusan tersebut, pimpinan partai buruh Jeremy Corbyn mengajukan pelaksanaan pemungutan suara atas mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May.
Namun, hasil pemungutan suara masih mempercayakan May sebagai Perdana Menteri. Artinya, Theresa May harus kembali memikirkan jalan keluarnya.
Kini, nasib Brexit masih terkatung-katung, sedangkan jadwal resmi Inggris keluar dari Uni Eropa sudah mepet, yaitu pada 29 Maret 2019 mendatang
Apabila No Deal Brexit sampai terjadi, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memperkirakan No Deal Brexit bisa menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi hingga 8% pada tahun ini.
Bila sampai kejadian, maka dampaknya akan mendunia, sebab Inggris merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-5 dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular