
Newsletter
Awas Terpeleset Minyak!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 05:24

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kabar dari Wall Street. Keberhasilan Wall Street finis di jalur hijau bisa menjadi pelecut semangat bursa saham Asia untuk mencapai hal serupa.
Sentimen kedua yang perlu diperhatikan adalah harga minyak. Kali ini sepertinya koreksi harga minyak sudah semakin serius karena anjlok sampai 7%.
Persepsi kelebihan pasokan (oversupply) menjadi hantu bagi si emas hitam. Mengutip Reuters, produksi minyak di Rusia menembus rekor baru di 11,42 juta barel/hari. Sementara total produksi minyak AS tahun ini diperkirakan mencapai 11,7 juta barel/hari, nomor 1 di dunia mengalahkan Rusia dan Arab Saudi.
Melimpahnya produksi minyak terjadi kala ekonomi global melambat. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Artinya, aktivitas ekonomi akan kurang bergairah sehingga permintaan energi terbatas. Padahal produksi sedang tinggi-tingginya, sehingga yang terjadi adalah oversupply yang membuat harga turun signifikan.
Bagi IHSG, koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif. Seperti di Wall Street, saham-saham energi dan pertambangan akan tertekan karena kurang mendapat apresiasi dari pelaku pasar. IHSG bisa terpeleset gara-gara minyak.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita bahagia. Patut diingat bahwa impor minyak adalah kontributor signifikan dari defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Jika harga minyak turun, maka nilai impor minyak bisa berkurang dan sangat membantu meringankan derita di neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Rupiah pun akan punya lebih banyak ruang untuk menguat, karena berkurangnya devisa yang 'terbuang' untuk impor minyak.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua yang perlu diperhatikan adalah harga minyak. Kali ini sepertinya koreksi harga minyak sudah semakin serius karena anjlok sampai 7%.
Persepsi kelebihan pasokan (oversupply) menjadi hantu bagi si emas hitam. Mengutip Reuters, produksi minyak di Rusia menembus rekor baru di 11,42 juta barel/hari. Sementara total produksi minyak AS tahun ini diperkirakan mencapai 11,7 juta barel/hari, nomor 1 di dunia mengalahkan Rusia dan Arab Saudi.
Melimpahnya produksi minyak terjadi kala ekonomi global melambat. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Artinya, aktivitas ekonomi akan kurang bergairah sehingga permintaan energi terbatas. Padahal produksi sedang tinggi-tingginya, sehingga yang terjadi adalah oversupply yang membuat harga turun signifikan.
Bagi IHSG, koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif. Seperti di Wall Street, saham-saham energi dan pertambangan akan tertekan karena kurang mendapat apresiasi dari pelaku pasar. IHSG bisa terpeleset gara-gara minyak.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita bahagia. Patut diingat bahwa impor minyak adalah kontributor signifikan dari defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Jika harga minyak turun, maka nilai impor minyak bisa berkurang dan sangat membantu meringankan derita di neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Rupiah pun akan punya lebih banyak ruang untuk menguat, karena berkurangnya devisa yang 'terbuang' untuk impor minyak.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular