Newsletter

Semua Mata Tertuju pada China, IHSG Mau ke Mana?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
19 October 2020 06:20
bendera merah china

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi mengarah ke atas.

Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat 0,98% secara point-to-point. Namun, dalam harian pada pekan kemarin, IHSG akhirnya melemah 2 hari berturut-turut menjelang akhir pekan. Pada hari Kamis (15/10/2020), IHSG melemah hingga 1% lebih atau 1,32%.

Hal ini dikarenakan aksi profit taking yang tak terbendung, karena selama 8 hari berturut-turut, IHSG mengalami penguatan yang tiada henti.

Jika dibandingkan dengan bursa saham Asia lainnya, memang IHSG masih berada di zona hijau. Namun IHSG kalah dengan indeks di Hong Kong dan China, di mana masing-masing masih menguat di atas 1% sepekan kemarin.

Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat tipis 0,03% di perdagangan pasar spot. Namun nasibnya tidak seperti IHSG, rupiah cenderung berfluktuasi secara harian.

Di awal pekan, rupiah melemah tipis 0.03%, namun beberapa hari berikutnya, rupiah mulai menguat, namun cenderung stagnan. Pada akhir pekan, rupiah melemah kembali, namun tipis 0.07%.

Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 14,1 basis poin (bps) secara point-to-point pada pekan lalu.

Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar. Ini terlihat dari kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sepanjang Oktober 2020 yang

Dari dalam negeri, sentimen pekan lalu terbilang banyak, mulai dari keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), neraca perdagangan, hingga ramalan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Pada 13 Oktober lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate di angka 4%. Fokus BI tetap tidak berubah yaitu menitikberatkan pada stabilitas nilai tukar.

Namun dalam pemaparan kebijakan moneternya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan suatu berita baik. Bank sentral Tanah Air tersebut memperkirakan transaksi berjalan RI yang selama ini defisit akan berubah menjadi surplus.

Apabila ramalan BI tersebut terwujud, maka ini menjadi pertama kalinya sejak kuartal terakhir tahun 2011 neraca transaksi berjalan mencatatkan surplus.

Berikutnya, IMF telah merilis proyeksi ekonomi global terbaru pada pekan lalu. Dalam laporan berjudul "A Long and Difficult Ascent" tersebut, IMF merevisi 'ramalan' pertumbuhan ekonomi global dan sejumlah negara.

IMF kini memperkirakan ekonomi dunia pada 2020 mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 4,4%. Membaik dibandingkan proyeksi yang dirilis pada April lalu yaitu sebesar -4,9%.

Namun sayang, IMF malah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada Juni lalu, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia terkontraksi 0,3% pada tahun ini. Dalam laporan Oktober, proyeksinya memburuk menjadi kontraksi 1,5%.

"Hampir seluruh negara berkembang diperkirakan mencatat kontraksi ekonomi tahun ini. Sementara negara seperti India dan Indonesia tengah berjuang untuk membuat pandemi lebih terkendali," tulis laporan IMF.

Dari global, Dari luar negeri, sentimen negatif datang dari AS yang dan Benua Biru. Di AS negosiasi RUU stimulus ekonomi Covid-19 lanjutan kembali mandek dan kabarnya tak akan ada kesepakatan dalam waktu dekat sebelum pemilu AS yang digelar November nanti usai.

Masih ada perbedaan seputar besaran stimulus yang diajukan oleh para pemangku kebijakan AS yang terdiri dari pemerintah yakni Donald Trump sebagai presiden, Partai Republik dan Partai Demokrat.

Dari Benua Biru, lonjakan kasus yang terjadi di Eropa membuat sebagian negara seperti Inggris, Perancis hingga Polandia kembali menghadapi kondisi darurat dan memutuskan untuk memperketat mobilitas publiknya.

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York menguat pada minggu lalu, walaupun per harinya, Wall Street sempat ditutup melemah.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat tipis 0,07% secara point-to-point, S&P 500 naik 0,19%. Sedangkan sepekan lalu, Nasdaq Composite malah melesat 1,08%.

Secara harian, pada pekan lalu, pergerakan Wall Street cenderung berfluktuatif. Pada awal pekan lalu, ketiga indeks tersebut sama-sama mengalami pelemahan, namun pada akhir pekan lalu, ketiganya mampu menguat, walaupun cenderung tipis.

Hal ini karena pelaku pasar mulai kecewa terkait kabar dari tarik ulur stimulus fiskal. Menteri Keuangan Steven Mnuchin menegaskan bahwa kesepakatan dengan Demokrat di Kongres akan sulit dilakukan sebelum pemilihan umum.

"Kami benar-benar membutuhkan dukungan bipartisan, kami tidak dapat melakukan ini sendiri, jadi saya akan terus bernegosiasi sampai kami dapat menyelesaikan kesepakatan," kata Mnuchin di CNBC International.

Tarik Ulur stimulus masih menjadi sentimen utama pada pekan lalu, menjelang pemilihan umum (pemilu) presiden AS.

Selain itu, pelaku pasar juga kecewa terkait data ekonomi yang dirilis pada pekan lalu, dimana klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 10 Oktober tercatat 898.000, naik dibandingkan pekan sebelumnya yaitu 845.000. Juga lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 825.000.

Data ekonomi lain juga membuat investor kecewa. Angka pembacaan awal indeks kondisi bisnis keluaran Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang New York periode Oktober 2020 adalah sebesar 32,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yakni 40,3.

Ditengah tarik ulur stimulus fiskal AS dan kekecewaan pelaku pasar terkait data ekonomi Negeri Paman Sam, tersirat kabar positif yang membuat bursa Wall Street ditutup cerah pada akhir pekan lalu, yakni kabar vaksin dari Pfizer Inc.

Mengutip dari Reuters, Sabtu (17/10/2020), setelah pengumuman Pfizer Inc dapat mengajukan otorisasi AS untuk vaksin Covid-19 yang dikembangkannya dengan mitra Jerman BioNTech pada November, saham Pfizer naik 3,8%.

"Dua penggerak pasar tertinggi adalah jadwal vaksin dan optimisme stimulus," kata Ross Mayfield, ahli strategi investasi di Baird di Louisville, Kentucky, dilansir dari Reuters.

"Kadang-kadang pasar beranggapan bahwa bahkan jika kita mendapatkan vaksin awal tahun depan itu adalah garis waktu yang sangat agresif dan optimis," tambahnya.

Untuk perdagangan hari ini, investor patut menyimak sejumlah sentimen yang bisa menjadi penggerak pasar. Pertama, tentu perkembangan di Wall Street yang cukup menggembirakan.

Penguatan tipis di New York pada perdagangan akhir pekan lalu bisa menjadi penggairah pasar di Asia, dan bisa berdampak ke Indonesia.

Kedua, kabar positif dari vaksin yang dikeluarkan oleh Pfizer Inc dapat menjadi sentimen positif bagi pasar global.

Mengutip dari Reuters, Sabtu (17/10/2020), setelah pengumuman Pfizer Inc dapat mengajukan otorisasi AS untuk vaksin Covid-19 yang dikembangkannya dengan mitra Jerman BioNTech pada November, saham Pfizer naik 3,8%.

"Dua penggerak pasar tertinggi adalah jadwal vaksin dan optimisme stimulus," kata Ross Mayfield, ahli strategi investasi di Baird di Louisville, Kentucky.

"Kadang-kadang pasar beranggapan bahwa bahkan jika kita mendapatkan vaksin awal tahun depan itu adalah garis waktu yang sangat agresif dan optimis."

Ketiga, masih terkait lonjakan kasus virus corona (Covid-19) di Eropa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 18 Oktober mencapai 7.739.266 orang. Bertambah 153.783 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Perkembangan ini membuat sejumlah negara di Eropa kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing). Seperti di Perancis, Polandia, hingga inggris yang sudah memberlakukan kondisi darurat nasional.

Dua ibu kota negara besar Eropa, London dan Paris, memberlakukan kebijakan pembatasan sosial yang lebih ketat. Tujuannya untuk membatasi aktivitas warga agar ruang gerak penyebaran virus corona bisa dipersempit.

Ibu kota Prancis dan sejumlah kota besar lain mulai menerapkan jam malam selama sebulan mulai Sabtu pekan lalu. Kebijakan ini berdampak terhadap mobilitas hampir sepertiga dari total penduduk Prancis yang berjumlah sekitar 67 juta.

"Kita bisa melalui ini jika kita bersama," tegas Emmanuel Macron, Presiden Prancis.

Menyeberang ke Inggris, pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson menaikkan status ibu kota London dari wilayah berisiko sedang menjadi tinggi.

Artinya, tidak boleh berkumpul dengan orang-orang dari rumah tangga yang berbeda di dalam ruangan (rumah, restoran, dan sebagainya). Warga juga sebisa mungkin jangan keluar kota, kecuali untuk bekerja, sekolah, merawat orang sakit, dan urusan penting lainnya.

"Situasi akan memburuk sebelum jadi lebih baik. Saya yakin langit cerah akan datang, laut pun akan lebih tenang. Sampai saat itu datang, kita harus berjuang bersama," kata Matt Hancock, Menteri Kesehatan Inggris, seperti dikutip dari Reuters.

Meski tidak seketat Maret-Mei, tetapi tren karantina wilayah (lockdown) kembali merebak di Eropa. Bukan tidak mungkin kawasan lain akan menerapkan hal serupa jika kasus corona terus melonjak.

Oleh karena itu, prospek pemulihan ekonomi dunia sangat tidak pasti. Sebelum virus corona bisa dienyahkan, baik itu dengan vaksin, obat, atau metode pengobatan apa pun, maka sulit berharap hidup bisa normal seperti dulu lagi.

"Bukti nyata dari perlambatan aktivitas masyarakat terlihat di Eropa. Ini menjadi pukulan terhadap upaya memulihkan ekonomi. Pelaku pasar cemas aktivitas masyarakat akan semakin terhambat," sebut Susan Kilsby dan David Croy, Analis ANZ, dalam risetnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari ini, China akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020. Setelah tumbuh 3,2% pada kuartal II-2020, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan PDB Negeri Panda naik 5,2%. Artinya, ekonomi China sudah sangat dekat dengan level sebelum pandemi.

"China menjadi negara besar pertama yang kembali ke jalur pertumbuhan ekonomi. Ini bisa terjadi berkat penanganan pandemi yang cepat serta respons stimulus yang efektif," sebut riset Capital Economics.

Ketika banyak negara berjuang keras untuk segera keluar dari resesi, tidak demikian dengan China. Kontraksi ekonomi sejauh ini cuma berlangsung pada kuartal I-2020, setelah itu tidak ada kelanjutan.

Selain China, Jepang hari ini juga akan merilis data ekspor-impor pada September 2020. Konsensus yang dihimpun oleh Reuters memperkirakan angka ekspor Jepang tumbuh negatif 2,4%. Sedangkan angka impor Jepang diperkirakan tumbuh negatif 21,4%.

 

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data ekspor-impor Jepang periode September 2020 (06:50 WIB)
  2. Rilis data PDB China pada kuartal III-2020 (09:00 WIB)
  3. Rilis data tingkat pengangguran China periode September 2020 (09:00 WIB)
  4. Rilis data produksi industrial China periode September 2020 (09:00 WIB)
  5. Rilis data penjualan eceran China periode September 2020 (09:00 WIB)
  6. Rilis data penjualan sepeda motor Indonesia periode September (10:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY)

-5,32%

Inflasi (September 2020 YoY)

1,42%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2020)

4%

Defisit Anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal II-2020)

-1,18% PDB

Neraca pembayaran (kuartal II-2020)

US$ 9,24 miliar

Cadangan devisa (September 2020)

US$ 135,15 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular