
Newsletter
Semesta Mendukung, Bisakah IHSG dan Rupiah Menguat?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 December 2018 05:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup bervariatif kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah bergerak turun yang menandakan harga instrumen ini naik. Namun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stagnan saja, tidak menguat atau melemah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau seperti Nikkei 225 yang melesat 2,15%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng melejit 1,61%, Straits Times melompat 1,33%, dan Kospi terdongkrak 1,44%.
Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5,8 basis poin (bps). Harga instrumen ini naik 33,8 bps.
Akan tetapi, rupiah ditutup di Rp 14.595/US$ atau sama dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski begitu, mayoritas mata uang utama Asia justru melemah saat waktu penutupan pasar spot valas di Indonesia setelah seharian menguat.
Sepanjang hari kemarin, investor dibuat berbunga-bunga karena damai dagang AS-China yang sepertinya semakin nyata. Dalam wawancara dengan Reuters, Presiden AS Donald Trump menyiratkan hubungan Washington-Beijing kini sedang memasuki masa bulan madu. Trump mengatakan bahwa China mulai memborong kedelai asal AS. Ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraannya dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan lalu.
"Saya baru saja mendengar bahwa China membeli banyak kedelai. Ini mereka baru mulai, baru mulai," ungkapnya.
Trump juga menegaskan bahwa China siap menurunkan tarif bea masuk untuk impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%. "Segera, sangat cepat," ujarnya.
Oleh karena itu, Trump pun menepati janjinya dengan tidak menaikkan tarif bea masuk bagi produk-produk China. Sedianya tarif bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan naik dari 10% menjadi 25% pada 1 Januari 2015. "Saya tidak akan menaikkan bea masuk sampai terjadi kesepakatan," katanya.
Berbagai perkembangan tersebut jelas menggambarkan bahwa damai dagang AS-China bukan sesuatu yang mustahil. Terbuka kemungkinan AS-China akan mengakhiri perang dagang yang memanas sejak awal tahun ini.
Investor pun bergairah dan bersemangat memburu cuan. Aliran modal mengalir deras ke negara-negara berkembang di Asia dan dan aset aman (safe haven) ditinggalkan. Ini yang membuat IHSG dan pasar obligasi pemerintah Indonesia mampu menguat.
Namun rupiah tidak mampu memanfaatkan hal ini karena kenaikan harga minyak dan masih kencangnya ambil untung (profit taking). Rupiah memang sangat sensitif terhadap harga minyak yang kemarin naik di kisaran 1%.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Ketika harga minyak naik, maka biaya yang dikeluarkan untuk impor migas akan membengkak.
Hasilnya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kemungkinan bakal semakin melebar. Saat pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim cenderung tekor, maka rupiah tentu bakal sulit menguat.
Sedangkan profit taking masih terjadi karena sejak 30 Oktober hingga 3 Desember, rupiah menguat 6,93% di hadapan greenback. Rupiah memang melemah sejak 4 Desember hingga kemarin yaitu mencapai 2,17%, tetapi angka ini bahkan belum sampai separuh dari penguatan yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, hantu profit taking sebenarnya masih terus membayangi langkah rupiah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau seperti Nikkei 225 yang melesat 2,15%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng melejit 1,61%, Straits Times melompat 1,33%, dan Kospi terdongkrak 1,44%.
Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5,8 basis poin (bps). Harga instrumen ini naik 33,8 bps.
Akan tetapi, rupiah ditutup di Rp 14.595/US$ atau sama dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski begitu, mayoritas mata uang utama Asia justru melemah saat waktu penutupan pasar spot valas di Indonesia setelah seharian menguat.
Sepanjang hari kemarin, investor dibuat berbunga-bunga karena damai dagang AS-China yang sepertinya semakin nyata. Dalam wawancara dengan Reuters, Presiden AS Donald Trump menyiratkan hubungan Washington-Beijing kini sedang memasuki masa bulan madu. Trump mengatakan bahwa China mulai memborong kedelai asal AS. Ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraannya dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan lalu.
"Saya baru saja mendengar bahwa China membeli banyak kedelai. Ini mereka baru mulai, baru mulai," ungkapnya.
Trump juga menegaskan bahwa China siap menurunkan tarif bea masuk untuk impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%. "Segera, sangat cepat," ujarnya.
Oleh karena itu, Trump pun menepati janjinya dengan tidak menaikkan tarif bea masuk bagi produk-produk China. Sedianya tarif bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan naik dari 10% menjadi 25% pada 1 Januari 2015. "Saya tidak akan menaikkan bea masuk sampai terjadi kesepakatan," katanya.
Berbagai perkembangan tersebut jelas menggambarkan bahwa damai dagang AS-China bukan sesuatu yang mustahil. Terbuka kemungkinan AS-China akan mengakhiri perang dagang yang memanas sejak awal tahun ini.
Investor pun bergairah dan bersemangat memburu cuan. Aliran modal mengalir deras ke negara-negara berkembang di Asia dan dan aset aman (safe haven) ditinggalkan. Ini yang membuat IHSG dan pasar obligasi pemerintah Indonesia mampu menguat.
Namun rupiah tidak mampu memanfaatkan hal ini karena kenaikan harga minyak dan masih kencangnya ambil untung (profit taking). Rupiah memang sangat sensitif terhadap harga minyak yang kemarin naik di kisaran 1%.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Ketika harga minyak naik, maka biaya yang dikeluarkan untuk impor migas akan membengkak.
Hasilnya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kemungkinan bakal semakin melebar. Saat pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim cenderung tekor, maka rupiah tentu bakal sulit menguat.
Sedangkan profit taking masih terjadi karena sejak 30 Oktober hingga 3 Desember, rupiah menguat 6,93% di hadapan greenback. Rupiah memang melemah sejak 4 Desember hingga kemarin yaitu mencapai 2,17%, tetapi angka ini bahkan belum sampai separuh dari penguatan yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, hantu profit taking sebenarnya masih terus membayangi langkah rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Damai Dagang Hijaukan Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular