
Aura Damai Dagang Merasuk, Harga Minyak Melesat 1%
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 December 2018 10:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari Rabu (12/12/2018), harga minyak mentah jenis brent kontrak Februari 2019 naik sebesar 0,88% ke level US$ 60,73/barel, hingga pukul 10.23 WIB. Di waktu yang sama, harga minyak mentah light sweet kontrak Januari 2019 menguat 0,93% ke level US$ 52,13/barel.
Kedua harga minyak mentah kontrak berjangka masih melanjutkan reli penguatan, pasca kemarin juga mampu ditutup di zona hijau. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (11/11/2018), harga minyak light sweet dan brent kompak menguat masing-masing sebesar 1,27% dan 0,38%.
Sejumlah faktor memang mendukung pergerakan harga minyak hari ini, dari mulai sentimen damai dagang Amerika Serikat (AS)-China, disrupsi pasokan di Libya, hingga pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Dalam tulisan ini, Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasi sentimen-sentimen positif tersebut. Pertama, National Oil Company (NOC), perusahaan minyak negara Libya, mendeklarasikan keadaan kahar (force majeure) untuk ekspor minyak mentah dari lapangan minyak El Sharara, yang merupakan lapangan minyak terbesar di negara tersebut.
BACA: Kisruh Libya Katrol Harga Minyak, Tapi Pasar Masih Rentan
Penyebabnya adalah adanya serangan grup militer pada lapangan minyak tersebut. NOC mengatakan bahwa ditutupnya lapangan El Sharara akan menyebabkan hilangnya produksi 315.000 barel/hari, plus 73.000 barel/hari dari lapangan El Feel, seperti dilansir dari Reuters.
Libya memang bukan produsen utama di OPEC, namun produksinya mencapai 817.000 barel/hari pada 2017. Di tahun yang sama, ekspor minyak mentahnya mencapai 792.000 barel/hari. Disrupsi yang terjadi di Libya lantas memberikan persepsi bahwa pasokan global akan lumayan berkurang.
Kedua, performa positif bursa saham utama Asia pada saat pembukaan pasar hari ini. Indeks Nikkei naik 0,95%, indeks Shanghai naik 0,54%, indeks Hang Seng naik 1,1%, indeks Strait Times naik 0,53%, dan indeks Kospi naik 0,48%.
BACA: Aura Damai Dagang AS-China Bawa Bursa Saham Asia Menguat
Aura damai dagang AS-China membangkitkan optimisme pelaku pasar. Pasca sempat menimbulkan kekhawatiran, pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China di Xi Jinping di Argentina pada awal bulan ini mulai membuahkan hasil.
Kemarin (11/12/2018), Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini.
"Kedua pihak (Liu dan Mnuchin-Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Lebih lanjut, China dikabarkan siap memangkas bea masuk bagi impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%, seperti dikutip dari Reuters. Sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan proposal tersebut akan dibahas di level kabinet dalam waktu dekat.
Perkembangan positif ini bahkan membuat Trump sumringah. "Pembicaraan yang sangat produktif dengan China! Nantikan beberapa pengumuman penting!" cuit Presiden AS Donald Trump melalui Twitter.
Kepercayaan diri investor untuk masuk aset-aset berisiko di negara berkembang pun pulih. Hal ini lantas membuat bursa saham Benua Kuning menghijau pagi ini. Kinerja bursa saham Asia yang positif ini kemudian menular ke performa harga minyak.
Pulihnya bursa saham menjadi sinyal bahwa investor mulai percaya diri dengan perekonomian dunia yang siap menggeliat. Kala ekonomi global mengalami perbaikan, maka permintaan energi dunia (termasuk minyak mentah) pun diekspektasikan akan membaik.
Ketiga, secara fundamental, harga minyak mentah ditopang oleh OPEC dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) yang menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel/hari pada akhir pekan lalu.
Rinciannya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Keputusan pemangkasan produksi ini akan dimulai pada bulan Januari 2019, dengan menggunakan level produksi pada Oktober 2018 sebagai baseline.
"Pemangkasan produksi dari OPEC dan Rusia akan berkontribusi bagi keseimbangan penawaran dan permintaan global. Alhasil, hal ini akan membantu menstabilkan harga minyak," tulis Moody's Investor Service dalam risetnya yang berjudul Oil and Gas - Global 2019 Outlook.
Kombinasi ketiga sentimen di atas lantas mampu memberikan dorongan bagi harga minyak untuk menguat signifikan pada hari ini.
Hati-Hati Sejumlah Risiko yang Menghantui!
Meski demikian, sejumlah risiko sebenarnya masih mengintai, dan berpeluang kembali menekan harga si emas hitam.
Sebagian analis berpendapat bahwa volume pemangkasan yang disepakati OPEC cs bisa jadi tidak menghasilkan dampak yang diharapkan.
Fereidun Fesharaki dari perusahaan konsultan energi FGE menyatakan bahwa pemangkasan produksi OPEC cs kemungkinan tidak cukup untuk "membersihkan" cadangan minyak yang membanjir dalam periode 3 bulan sampai akhir kuartal I-2019, seperti dilansir dari Reuters.
Atas dasar itu, FGE menyatakan bahwa harga kemungkinan akan bergerak di kisaran US$ 55-60/barel untuk Brent, dengan harga light sweet sekitar US$ 5-10/barel di bawahnya.
Terlebih, Rusia sejauh ini masih belum akan memangkas produksi sesuai yang disepakati dengan OPEC pada akhir pekan lalu. Kemarin, Negeri Beruang Merah menyatakan baru akan memangkas produksi sekitar 50.000-60.000 barel/hari di Januari 2019, meski akan ditingkatkan secara gradual ke angka kesepakatan 220.000 barel/hari.
Berita buruk lainnya, AS bersiap mengakhiri tahun 2018 sebagai produsen minyak terbesar dunia, mengungguli Arab Saudi dan Rusia. Kemarin, Departemen Energi AS (US Energy Information Administration/EIA) melaporkan bahwa produksi minyak rata-rata tahunan Negeri Paman Sam akan mencapai 10,88 juta barel/hari di tahun ini.
EIA juga melaporkan ada kenaikan sebesar 1,53 juta barel/hari di tahun 2018, dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, produksi di tahun 2019 diperkirakan meningkat mencapai 12,06 juta barel/hari secara rata-rata.
Sejumlah risiko yang disebutkan di atas masih perlu dicermati investor. Harga minyak mentah dunia masih rentan, dan bisa kapan saja kembali terjerumus ke zona merah.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Gara-gara Stok Minyak AS, Harga 'Emas Hitam' Galau
Kedua harga minyak mentah kontrak berjangka masih melanjutkan reli penguatan, pasca kemarin juga mampu ditutup di zona hijau. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (11/11/2018), harga minyak light sweet dan brent kompak menguat masing-masing sebesar 1,27% dan 0,38%.
Sejumlah faktor memang mendukung pergerakan harga minyak hari ini, dari mulai sentimen damai dagang Amerika Serikat (AS)-China, disrupsi pasokan di Libya, hingga pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Dalam tulisan ini, Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasi sentimen-sentimen positif tersebut. Pertama, National Oil Company (NOC), perusahaan minyak negara Libya, mendeklarasikan keadaan kahar (force majeure) untuk ekspor minyak mentah dari lapangan minyak El Sharara, yang merupakan lapangan minyak terbesar di negara tersebut.
BACA: Kisruh Libya Katrol Harga Minyak, Tapi Pasar Masih Rentan
Penyebabnya adalah adanya serangan grup militer pada lapangan minyak tersebut. NOC mengatakan bahwa ditutupnya lapangan El Sharara akan menyebabkan hilangnya produksi 315.000 barel/hari, plus 73.000 barel/hari dari lapangan El Feel, seperti dilansir dari Reuters.
Libya memang bukan produsen utama di OPEC, namun produksinya mencapai 817.000 barel/hari pada 2017. Di tahun yang sama, ekspor minyak mentahnya mencapai 792.000 barel/hari. Disrupsi yang terjadi di Libya lantas memberikan persepsi bahwa pasokan global akan lumayan berkurang.
Kedua, performa positif bursa saham utama Asia pada saat pembukaan pasar hari ini. Indeks Nikkei naik 0,95%, indeks Shanghai naik 0,54%, indeks Hang Seng naik 1,1%, indeks Strait Times naik 0,53%, dan indeks Kospi naik 0,48%.
BACA: Aura Damai Dagang AS-China Bawa Bursa Saham Asia Menguat
Aura damai dagang AS-China membangkitkan optimisme pelaku pasar. Pasca sempat menimbulkan kekhawatiran, pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China di Xi Jinping di Argentina pada awal bulan ini mulai membuahkan hasil.
Kemarin (11/12/2018), Wakil Perdana Menteri China Liu He telah berbicara melalui telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Beijing dan Washington tengah menyusun rencana kerja sebagai tindak lanjut kesepakatan yang dibuat oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China di Xi Jinping di Argentina awal bulan ini.
"Kedua pihak (Liu dan Mnuchin-Lighthizer) bertukar pandangan mengenai implementasi dari konsensus yang dibuat oleh para pemimpin negara. Kedua pihak juga mendorong percepatan jadwal dan peta jalan (roadmap) pembicaraan di tingkat selanjutnya," sebut keterangan Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Lebih lanjut, China dikabarkan siap memangkas bea masuk bagi impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%, seperti dikutip dari Reuters. Sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan proposal tersebut akan dibahas di level kabinet dalam waktu dekat.
Perkembangan positif ini bahkan membuat Trump sumringah. "Pembicaraan yang sangat produktif dengan China! Nantikan beberapa pengumuman penting!" cuit Presiden AS Donald Trump melalui Twitter.
Kepercayaan diri investor untuk masuk aset-aset berisiko di negara berkembang pun pulih. Hal ini lantas membuat bursa saham Benua Kuning menghijau pagi ini. Kinerja bursa saham Asia yang positif ini kemudian menular ke performa harga minyak.
Pulihnya bursa saham menjadi sinyal bahwa investor mulai percaya diri dengan perekonomian dunia yang siap menggeliat. Kala ekonomi global mengalami perbaikan, maka permintaan energi dunia (termasuk minyak mentah) pun diekspektasikan akan membaik.
Ketiga, secara fundamental, harga minyak mentah ditopang oleh OPEC dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) yang menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel/hari pada akhir pekan lalu.
Rinciannya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Keputusan pemangkasan produksi ini akan dimulai pada bulan Januari 2019, dengan menggunakan level produksi pada Oktober 2018 sebagai baseline.
"Pemangkasan produksi dari OPEC dan Rusia akan berkontribusi bagi keseimbangan penawaran dan permintaan global. Alhasil, hal ini akan membantu menstabilkan harga minyak," tulis Moody's Investor Service dalam risetnya yang berjudul Oil and Gas - Global 2019 Outlook.
Kombinasi ketiga sentimen di atas lantas mampu memberikan dorongan bagi harga minyak untuk menguat signifikan pada hari ini.
Hati-Hati Sejumlah Risiko yang Menghantui!
Meski demikian, sejumlah risiko sebenarnya masih mengintai, dan berpeluang kembali menekan harga si emas hitam.
Sebagian analis berpendapat bahwa volume pemangkasan yang disepakati OPEC cs bisa jadi tidak menghasilkan dampak yang diharapkan.
Fereidun Fesharaki dari perusahaan konsultan energi FGE menyatakan bahwa pemangkasan produksi OPEC cs kemungkinan tidak cukup untuk "membersihkan" cadangan minyak yang membanjir dalam periode 3 bulan sampai akhir kuartal I-2019, seperti dilansir dari Reuters.
Atas dasar itu, FGE menyatakan bahwa harga kemungkinan akan bergerak di kisaran US$ 55-60/barel untuk Brent, dengan harga light sweet sekitar US$ 5-10/barel di bawahnya.
Terlebih, Rusia sejauh ini masih belum akan memangkas produksi sesuai yang disepakati dengan OPEC pada akhir pekan lalu. Kemarin, Negeri Beruang Merah menyatakan baru akan memangkas produksi sekitar 50.000-60.000 barel/hari di Januari 2019, meski akan ditingkatkan secara gradual ke angka kesepakatan 220.000 barel/hari.
Berita buruk lainnya, AS bersiap mengakhiri tahun 2018 sebagai produsen minyak terbesar dunia, mengungguli Arab Saudi dan Rusia. Kemarin, Departemen Energi AS (US Energy Information Administration/EIA) melaporkan bahwa produksi minyak rata-rata tahunan Negeri Paman Sam akan mencapai 10,88 juta barel/hari di tahun ini.
EIA juga melaporkan ada kenaikan sebesar 1,53 juta barel/hari di tahun 2018, dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian, produksi di tahun 2019 diperkirakan meningkat mencapai 12,06 juta barel/hari secara rata-rata.
Sejumlah risiko yang disebutkan di atas masih perlu dicermati investor. Harga minyak mentah dunia masih rentan, dan bisa kapan saja kembali terjerumus ke zona merah.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Gara-gara Stok Minyak AS, Harga 'Emas Hitam' Galau
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular