Kisruh Libya Katrol Harga Minyak, Tapi Pasar Masih Rentan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 December 2018 10:54
Pada hari Selasa (11/12/2018), harga minyak mentah jenis brent kontrak Februari 2019 naik sebesar 0,4% ke level US$ 60,21/barel, hingga pukul 10.28 WIB.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari Selasa (11/12/2018), harga minyak mentah jenis brent kontrak Februari 2019 naik sebesar 0,4% ke level US$ 60,21/barel, hingga pukul 10.28 WIB. Di waktu yang sama, harga minyak mentah light sweet kontrak Januari 2019 menguat 0,37% ke level US$ 51,19/barel.

Kedua harga minyak mentah kontrak berjangka mampu rebound pasca kemarin dihantam habis, hingga sama-sama jatuh di kisaran 3%. Faktor yang menyokong pemulihan harga si emas hitam adalah disrupsi ekspor minyak mentah dari Libya.

Kemarin, National Oil Company (NOC), perusahaan minyak negara Libya, mendeklarasikan keadaan kahar (force majeure) untuk ekspor minyak mentah dari lapangan minyak El Sharara, yang merupakan lapangan minyak terbesar di negara tersebut.

Penyebabnya adalah adanya serangan grup militer pada lapangan minyak tersebut. NOC mengatakan bahwa ditutupnya lapangan El Sharara akan menyebabkan hilangnya produksi 315.000 barel/hari, seperti dilansir dari Reuters.

Libya memang bukan produsen utama di OPEC, namun produksinya mencapai 817.000 barel/hari pada 2017. Di tahun yang sama, ekspor minyak mentahnya mencapai 792.000 barel/hari. Disrupsi yang terjadi di Libya lantas memberikan persepsi bahwa pasokan global akan lumayan berkurang. Hal ini kemudian memberikan energi bagi harga minyak hari ini.



Meski demikian, harus diakui bahwa pasar minyak mentah global masih amat rentan. Kenaikan harga hari ini pun masih relatif tipis, dibandingkan koreksi hingga 3% pada perdagangan kemarin.

Padahal, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) sudah menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel/hari pada akhir pekan lalu.

Rinciannya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.

Keputusan pemangkasan produksi ini akan dimulai pada bulan Januari 2019, dengan menggunakan level produksi pada Oktober 2018 sebagai baseline.

Jumlah 1,2 juta barel/hari seharusnya melegakan pelaku pasar. Pasalnya, itu masih berada di rentang 1 - 1,4 juta barel/hari yang diperkirakan sebelumnya. Alhasil, keputusan ini sempat mengangkat harga minyak mentah di akhir pekan lalu.

Namun, di pekan ini efek kebijakan OPEC cs mulai memudar. Penyebabnya adalah permintaan global yang diekspektasikan makin melambat. 
Percuma jika pasokan berkurang, tapi permintaan juga ikut berkurang. Kondisi oversupply di pasar masih akan berlanjut.  

BACA: OPEC Gagal Bikin Harga Minyak Meroket Hari Ini, Ada Apa?

Adapun ekspektasi lemahnya permintaan datang dari perlambatan ekonomi dunia yang semakin terasa. Kemarin, pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2018 direvisi turun menjadi -2,5% secara annualized, dari sebelumnya -1,2%. Padahal, Jepang adalah perekonomian terbesar ketiga sekaligus konsumen minyak terbesar no.4 di dunia.

Kemudian, Pada hari Sabtu (8/12/2018), ekspor China pada bulan November diumumkan naik 5,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), di bawah konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 10% YoY.

Sementara, impor China hanya tumbuh 3% YoY, juga lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 14,5% YoY. Pertumbuhan impor di bulan lalu juga menjadi yang terlambat sejak Oktober 2016.

Perusahan Manajemen Investasi Bernstein bahkan menurunkan proyeksi harga minyak sebesar US$ 6/barel pada tahun depan. Alasannya, permintaan si emas hitam diramal turun ke angka 1,3 juta barel/hari pada 2019, lebih rendah dari perkiraan semula sebesar 1,5 juta barel/hari. 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
   

(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular