
Newsletter
Sip! AS-China Gencatan Senjata, Inflasi Sepertinya 'Jinak'
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 December 2018 07:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan performa yang memuaskan sepanjang perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah masih terus terkoreksi.
Sepanjang minggu lalu, IHSG menguat 0,83% secara point-to-point. Penguatan IHSG sebenarnya lumayan, tetapi masih agak jauh tertinggal dibandingkan bursa saham utama Asia lainnya yang melonjak 1-2%.
Sementara rupiah membukukan apresiasi 1,62% di hadapan greenback. Tidak seperti IHSG, penguatan rupiah menjadi yang terbaik di Benua Kuning.
Sedangkan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun kembali turun 5 basis poin (bps) selama minggu kemarin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan pasar.
Positifnya perkembangan ekonomi dan politik dunia ternyata berhasil mengembuskan angin segar ke pasar keuangan Asia dalam sepekan terakhir. Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draf perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun, London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia,pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
Lalu yang paling utama adalah berembusnya hawa damai dagang AS-China. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 akhir pekan lalu.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Risk appetite investor pun semakin membuncah kala The Federal Reserve/The Fed dinilai mulai melunak alias dovish. Diawali dengan pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Fed, yang mengatakan suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Aura dovish kebijakan moneter AS kemudian kembali dikonfirmasi oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Situasi ini tentu tidak mengenakkan buat dolar AS. Maklum, penguatan greenback selama ini ditopang oleh agresivitas The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan. Arus modal pun pergi meninggalkan mata uang Negeri Paman Sam.
Berbagai perkembangan tersebut membuat pelaku pasar ogah bermain aman. Situasi yang kondusif membuat instrumen safe haven ditinggalkan dan aliran modal begitu deras masuk ke pasar keuangan Asia. Tidak terkecuali Indonesia.
Sepanjang minggu lalu, IHSG menguat 0,83% secara point-to-point. Penguatan IHSG sebenarnya lumayan, tetapi masih agak jauh tertinggal dibandingkan bursa saham utama Asia lainnya yang melonjak 1-2%.
Sementara rupiah membukukan apresiasi 1,62% di hadapan greenback. Tidak seperti IHSG, penguatan rupiah menjadi yang terbaik di Benua Kuning.
Sedangkan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun kembali turun 5 basis poin (bps) selama minggu kemarin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan pasar.
Positifnya perkembangan ekonomi dan politik dunia ternyata berhasil mengembuskan angin segar ke pasar keuangan Asia dalam sepekan terakhir. Dari Inggris, para pemimpin Uni Eropa akhirnya menyepakati draf perjanjian Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Inggris Theresa May.
PM May mengatakan dalam kesepakatan tersebut, Inggris tetap memiliki kewenangan untuk mengatur batas-batas wilayah dan anggarannya sendiri. Namun, London tetap membuat kebijakan yang serasi dengan Brussel sehingga menciptakan kepastian bagi para pelaku usaha.
Kemudian dari Italia,pemerintah Negeri Pizza semakin membuka diri untuk berdialog soal rancangan anggaran 2019. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini tidak lagi ngotot menggolkan defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tahun depan.
Lalu yang paling utama adalah berembusnya hawa damai dagang AS-China. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 akhir pekan lalu.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.
Gayung bersambut, pernyataan Kudlow seakan diapresiasi oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.
"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.
Risk appetite investor pun semakin membuncah kala The Federal Reserve/The Fed dinilai mulai melunak alias dovish. Diawali dengan pernyataan Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Fed, yang mengatakan suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Aura dovish kebijakan moneter AS kemudian kembali dikonfirmasi oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Fed edisi November 2018. Para peserta rapat semakin menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Situasi ini tentu tidak mengenakkan buat dolar AS. Maklum, penguatan greenback selama ini ditopang oleh agresivitas The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan. Arus modal pun pergi meninggalkan mata uang Negeri Paman Sam.
Berbagai perkembangan tersebut membuat pelaku pasar ogah bermain aman. Situasi yang kondusif membuat instrumen safe haven ditinggalkan dan aliran modal begitu deras masuk ke pasar keuangan Asia. Tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular