Newsletter

Mampukah Rupiah Mempertahankan Mahkota Raja Asia?

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 November 2018 05:58
Mampukah Rupiah Mempertahankan Mahkota Raja Asia?
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali menutup perdagangan kemarin dengan berbahagia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah masih tekoreksi. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,62%. Penguatan IHSG terjadi selama 8 hari beruntun, siklus terpanjang sejak Juli 2018. 


Sementara itu, nilai tukar rupiah juga masih belum bosan menguat, sudah 3 hari beruntun finis di zona hijau. Kemarin, rupiah terapresiasi 0,27% di hadapan greenback. 


Kemudian yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun kembali turun 8,1 basis poin (bps). Yield instrumen ini terus turun sejak 29 Oktober sampai kemarin, berarti sudah 9 hari perdagangan. 


Situasi eksternal memang mendukung positifnya pasar keuangan Asia. Pertama, hasil pemilu sela (mid term election) di Amerika Serikat (AS). Kini, posisi mayoritas di House of Representatives dipegang oleh Partai Demokrat setelah sebelumnya dipegang oleh Partai Republik. Sementara itu, Partai Rebublik mampu mempertahankan posisi mayoritasnya di Senat. 

Dengan House yang dikuasai oleh Partai Demokrat, kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan ekonomi seperti pemotongan tingkat pajak akan menjadi sulit untuk diloloskan. Sebagai informasi, sekitar 2 minggu menjelang mid term election, Presiden AS Donald Trump menebar wacana untuk memangkas pajak penghasilan individu kelas menengah sebesar 10%. 

Lebih lanjut, jika Trump berusaha mendongkrak perekonomian melalui belanja secara jor-joran, langkah ini kemungkinan besar juga akan dijegal oleh Partai Demokrat. Pasalnya, defisit anggaran di Negeri Paman Sam sudah begitu tinggi. Pada tahun fiskal 2018, defisit anggaran di AS tercatat sebesar US$ 729 miliar, naik 17% dari posisi tahun fiskal 2017, sekaligus merupakan yang terbesar sejak 2012. 

Pada akhirnya, perekonomian AS yang kini sedang panas bisa menjadi dingin, sehingga The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS tak perlu kelewat agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.  Hal ini tentu bukan kabar baik bagi dolar AS. Selama ini persepsi kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif memang selalu menjadi bahan bakar penguatan greenback. 

Kedua, rilis data perdagangan internasional China. Sepanjang Oktober 2018, ekspor China tumbuh sebesar 15,6% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 11% YoY. Sementara itu, impor tumbuh sebesar 21,4% YoY, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 14% YoY. 

Pelaku pasar lantas menilai bahwa China ternyata tidak terlalu terluka akibat perang dagang dengan AS. Meski data-data ekonomi domestik melambat, seperti Purchasing Managers Index (PMI), tetapi kinerja eksternal China masih meyakinkan.    

China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China impresif, maka ada harapan bisa mengangkat para tetangganya termasuk Indonesia.  

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rilis angka cadangan devisa. BI mengumumkan cadangan devisa per akhir Oktober 2018 sebesar US$ 115,16 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 114,85 miliar. 

Naiknya cadangan devisa akan memberikan amunisi tambahan bagi bank sentral untuk meredam tekanan terhadap rupiah. Hal ini lantas memberikan dukungan tambahan bagi penguatan mata uang Tanah Air pada perdagangan kemarin. 

Selain itu, penerbitan obligasi global oleh PT Inalum sebesar US$ 4 miliar juga memberikan amunisi bagi rupiah. Perolehan dana ini dipakai untuk membeli saham PT Freeport Indonesia. 

Hasil penerbitan ini mampu menambah pasokan valas di dalam negeri sehingga rupiah menguat. Bahkan mungkin saja faktor ini menjadi kunci penguatan rupiah hingga menjadi yang terbaik di Asia.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik tipis 0,04%, sementara S&P 500 turun 0,25%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,62%. 

Wall Street terbeban oleh hasil rapat komite pengambil keputusan di The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC). Jerome ''Jay' Powell dan kawan-kawan memang menahan suku bunga acuan di 2-2,25% tetapi ada hal lain yang membuat pelaku pasar gusar. 

Meski ekonomi AS dinilai masih tumbuh baik, The Fed menggarisbawahi bahwa laju investasi mulai melambat setelah melesat kencang sejak awal tahun. pelaku pasar membaca ini sebagai tanda-tanda kelesuan ekonomi. 

"Lapangan kerja bertambah dan angka pengangguran turun. Belanja rumah tangga juga tumbuh kuat, sementara pertumbuhan investasi tetap lebih lambat setelah melaju sejak awal tahun," sebut pernyataan tertulis FOMC. 

Tekanan bagi bursa saham New York  semakin bertambah karena FOMC masih berniat melanjutkan kenaikan suku bunga acuan secara gradual meski tanda-tanda perlambatan ekonomi mulai terlihat. Sepertinya kenaikan Federal Funds Rate pada Desember akan sangat sulit terelakkan. 

"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan FOMC. 

Selain itu, harga minyak juga menjadi sentimen pemberat Wall Street. pada pukul 05:12 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 1,6% dan light sweet amblas 1,46%. 

Akibatnya indeks sektor energi di S&P 500 merosot 2,16%. Saham Chevron ambrol 1,25% dan Exxon Mobil jatuh 1,59%. 

Pukulan ganda bagi pasar saham (perlambatan ekonomi dan kenaikan suku bunga) membuat S&P 500 dan Nasdaq terhempas ke zona merah. Ditambah dengan koreksi harga minyak yang signifikan, tekanan menjadi semakin berat.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mewaspadai sejumlah sentimen. Pertama, performa Wall Street yang kurang oke akan mewarnai bursa Asia hari ini. Semoga virus koreksi tidak menular ke Benua Kuning. 

Kedua, hasil mid term election di AS cepat atau lambat bisa direspons negatif oleh pasar. Selain potensi perlambatan ekonomi Negeri Adidaya, ada kemungkinan Partai Demokrat akan melakukan penyelidikan terhadap berbagai isu yang lekat dengan Trump, seperti peran Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016, insider trading yang melibatkan orang-orang dekat sang presiden, hingga pembayaran pajak. 

Trump sendiri sudah mengingatkan bahwa pihak Demokrat bisa memilih untuk bekerja sama dalam berbagai masalah atau melakukan investigasi. Tidak bisa dua-duanya. 

"Jika itu terjadi maka kita akan melakukan hal yang sama dan pemerintahan terhenti," papar Trump dalam konferensi pers, seperti dikutip dari Washington Times. Kondisi gaduh politik dan saling menyandera sering disebut gridlock.  

Ketiga, rupiah perlu waspada karena dolar AS sedang trengginas. Pada pukul 05:20 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat lumayan signifikan yaitu 0,68%. 

Hasil rapat FOMC hari ini membawa angin segar bagi dolar AS. The Fed sepertinya masih mempertahankan kebijakan moneter cenderung ketat dengan tetap menaikkan suku bunga secara bertahap.

Pelaku pasar pun mendapatkan petunjuk yang lebih jelas mengenai potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat 19 Desember adalah 75,8%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 74,6% dan seminggu yang lalu sebesar 68,8%. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat. 

Rupiah yang menguat selama 3 hari beruntun perlu waspada. Apakah rupiah mampu mempertahankan status sebagai juara Asia yang disandang dalam 3 hari terakhir? Menarik untuk dinantikan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Keempat, harga minyak masih dalam tren koreksi. Pada pukul 05:25 WIB, harga minyak jensi brent amblas 1,53% kemudian light sweet anjlok 1,46%. 

Sentimen ini berhasil menyeret Wall Street ke zona merah karena pelemahan yang dialami saham-saham pertambangan dan migas. Jika pola yang sama terjadi di Indonesia, maka IHSG juga akan terbeban karena pelemahan saham sektor energi. 

Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah kabar gembira. Indonesia adalah net importir migas. Tingginya impor migas, ditambah dengan kenaikan harga, membuat biaya importasi meningkat dan semakin banyak valas yang 'terbang' ke luar negeri. 

Akibatnya, neraca migas yang defisit menyebabkan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) ikut defisit. Tanpa dukungan valas yang memadai, rupiah pun melemah. Sejak awal tahun, rupiah melemah 6,9% di hadapan dolar AS. 

Namun ketika harga minyak turun, maka biaya importasi migas akan lebih murah dan mengurangi tekanan kebutuhan valas. Rupiah pun bisa lebih tenang dan nyaman. 

Bicara soal rupiah dan transaksi berjalan, kita bisa masuk ke sentimen kelima yaitu pengumuman Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Rilis ini kemungkinan besar terjadi setelah penutupan pasar, tetapi pasar sudah terlanjur berekspektasi ada pelemahan yang lebih dalam ketimbang kuartal II-2018, terutama di pos transaksi berjalan. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit pada kuartal III-2018 akan lebih dalam, karena neraca perdagangan mengalami tekor yang lebih parah.  

Sepanjang kuartal III-2018, neraca perdagangan defisit US$ 2,72 miliar. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 1,37 miliar. 


Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.  

Saat defisit transaksi berjalan melebar cukup parah, rupiah tentunya akan kehilangan pijakan untuk bisa menguat. Bisa jadi mahkota raja Asia yang disandang mata uang Tanah Air akan terlepas.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pendahuluan pertumbuhan ekonomi Inggris kuartal III-2018 (16:30 WIB).
  • Rilis data produksi manufaktur Inggris periode September 2018 (16:30 WIB).
  • Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia kuartal III-2018 (setelah penutupan perdagangan).
  • Rilis data Indeks Harga Produsen AS periode Oktober 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data pendahuluan sentimen konsumen AS versi University of Michigan periode November 2018 (22:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk (AMAG)RUPSLB14:00
PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5.17%
Inflasi (Oktober 2018 YoY)3.16%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2018)US$ 115.16 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular