
Newsletter
Dolar AS di Persimpangan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 October 2018 05:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu bisa menjadi periode suram bagi pasar keuangan Indonesia. Secara mingguan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,9% point-to-point ke level 5.784,92. Sementara rupiah terdepresiasi 0,2% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Bursa saham Asia memang berguguran di sepanjang pekan kemarin. Indeks Straits Times ambrol 2,95%, KLCI (Malaysia) amblas 2,83%, SET (Thailand) ambrol 2,34%, Hang Seng jatuh 3,3%, Nikkei 225 terpangkas 5,98%, dan Kospi terperosok 5,99%.
Praktis hanya indeks Shanghai Composite yang mampu mencatatkan kenaikan 1,9%. Alhasil, IHSG menjadi yang terkuat kedua di Benua Kuning dalam sepekan terakhir meski statusnya melemah.
Rupiah pun tak sendirian terdepresiasi. Dalam seminggu terakhir, beberapa mata uang utama Asia malah melemah lebih dalam seperti baht Thailand (-1,44%), won Korea Selatan (-0,72%), ringgit Malaysia (-0,41%), dan dolar Taiwan (-0,25%). Hanya ada tiga mata uang yang mampu bertahan di zona hijau, yaitu yen Jepang (+0,58%), peso Filpina (+0,39%), dan dolar Hong Kong (+0,01%).
Investor memang sedang dipaksa bermain aman dengan melepas instrumen berisiko seiring dengan sentimen negatif yang berpotensi mempengaruhi stabilitas perekonomian dunia. Akhirnya, investor pun ramai-ramai mengalihkan asetnya ke instrumen safe haven seperti dolar AS dan yen. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,67% dalam sepekan.
Ada beberapa sentimen yang yang menjadi kegelisahan pasar. Pertama, potensi ribut-ribut antar AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.
Perkembangan teranyar, Jaksa Penuntut Umum Arab Saudi bahkan sudah menyatakan pembunuhan Khashoggi adalah kejahatan terencana. Dalam laporan TV Al-Ekhbariya, jaksa tengah menginterogasi para tersangka atas dasar informasi yang diberikan oleh pasukan gabungan Arab Saudi-Turki.
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang tidak kunjung mereda juga turut membuat investor was-was. Zhang Qingli, anggota utama dari komite pemerintah China yang bertugas untuk menjalin kerja sama dengan negara lain, memberitahu sejumlah investor asal AS bahwa Beijing tidak takut berperang dagang dengan Washington.
"China tidak pernah mau berperang dagang dengan siapa pun, termasuk AS yang merupakan mitra strategis dalam jangka panjang. Namun kami juga tidak takut dengan perang semacam itu," ujar Zhang pada pertemuan investor di Beijing, seperti dikutip dari CNBC International.
Sentimen ketiga, Uni Eropa akhirnya menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar.
Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu.
Keempat adalah kejatuhan bursa saham AS. Investor cemas terhadap data-data perekonomian AS yang kurang oke sehingga ada risiko pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam tidak secepat yang dikira.
Angka penjualan rumah baru periode September yang sejumlah 553.000 unit, jauh di bawah konsensus yang sebesar 627.000 unit. Angka ini merupakan yang terendah dalam 2 tahun terakhir.
Kemudian, sinyal perlambatan ekonomi AS juga datang dari publikasi Beige Book oleh The Federal Reserve/The Fed yang menyebut bahwa dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.
Berbagai sentimen negatif itu membuat pelaku pasar mundur teratur, tidak ada yang mau bermain api dengan aset-aset berisiko. Lebih baik mencari selamat dengan berlindung di naungan safe haven assets, salah satunya dolar AS.
Bursa saham Asia memang berguguran di sepanjang pekan kemarin. Indeks Straits Times ambrol 2,95%, KLCI (Malaysia) amblas 2,83%, SET (Thailand) ambrol 2,34%, Hang Seng jatuh 3,3%, Nikkei 225 terpangkas 5,98%, dan Kospi terperosok 5,99%.
Praktis hanya indeks Shanghai Composite yang mampu mencatatkan kenaikan 1,9%. Alhasil, IHSG menjadi yang terkuat kedua di Benua Kuning dalam sepekan terakhir meski statusnya melemah.
Rupiah pun tak sendirian terdepresiasi. Dalam seminggu terakhir, beberapa mata uang utama Asia malah melemah lebih dalam seperti baht Thailand (-1,44%), won Korea Selatan (-0,72%), ringgit Malaysia (-0,41%), dan dolar Taiwan (-0,25%). Hanya ada tiga mata uang yang mampu bertahan di zona hijau, yaitu yen Jepang (+0,58%), peso Filpina (+0,39%), dan dolar Hong Kong (+0,01%).
Investor memang sedang dipaksa bermain aman dengan melepas instrumen berisiko seiring dengan sentimen negatif yang berpotensi mempengaruhi stabilitas perekonomian dunia. Akhirnya, investor pun ramai-ramai mengalihkan asetnya ke instrumen safe haven seperti dolar AS dan yen. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,67% dalam sepekan.
Ada beberapa sentimen yang yang menjadi kegelisahan pasar. Pertama, potensi ribut-ribut antar AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.
Perkembangan teranyar, Jaksa Penuntut Umum Arab Saudi bahkan sudah menyatakan pembunuhan Khashoggi adalah kejahatan terencana. Dalam laporan TV Al-Ekhbariya, jaksa tengah menginterogasi para tersangka atas dasar informasi yang diberikan oleh pasukan gabungan Arab Saudi-Turki.
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang tidak kunjung mereda juga turut membuat investor was-was. Zhang Qingli, anggota utama dari komite pemerintah China yang bertugas untuk menjalin kerja sama dengan negara lain, memberitahu sejumlah investor asal AS bahwa Beijing tidak takut berperang dagang dengan Washington.
"China tidak pernah mau berperang dagang dengan siapa pun, termasuk AS yang merupakan mitra strategis dalam jangka panjang. Namun kami juga tidak takut dengan perang semacam itu," ujar Zhang pada pertemuan investor di Beijing, seperti dikutip dari CNBC International.
Sentimen ketiga, Uni Eropa akhirnya menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar.
Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu.
Keempat adalah kejatuhan bursa saham AS. Investor cemas terhadap data-data perekonomian AS yang kurang oke sehingga ada risiko pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam tidak secepat yang dikira.
Angka penjualan rumah baru periode September yang sejumlah 553.000 unit, jauh di bawah konsensus yang sebesar 627.000 unit. Angka ini merupakan yang terendah dalam 2 tahun terakhir.
Kemudian, sinyal perlambatan ekonomi AS juga datang dari publikasi Beige Book oleh The Federal Reserve/The Fed yang menyebut bahwa dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.
Berbagai sentimen negatif itu membuat pelaku pasar mundur teratur, tidak ada yang mau bermain api dengan aset-aset berisiko. Lebih baik mencari selamat dengan berlindung di naungan safe haven assets, salah satunya dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular