
Newsletter
Dolar AS di Persimpangan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 October 2018 05:51

Sentimen kedua adalah dari Italia, masih seputar anggaran. Akibat sikap Roma yang ngotot menggolkan anggaran ekspansif, pelaku pasar pun terus menjatuhkan hukuman.
Terbaru adalah dari lembaga pemeringkat (rating agency) Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) ekonomi Italia dari stabil menjdi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah.
"Kebijakan ekonomi dan anggaran pemerintah Italia akan membebani pertumbuhan ekonomi, yang menjadi kunci untuk menurunkan rasio utang. Dalam pandangan kami, rencana ekonomi dan fiskal Italia telah menggerus kepercayaan investor, terlihat dari peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah," papar S&P dalam keterangan tertulis.
S&P memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza pada 2019 dan 2020 masing-masing 1,1%. Di bawah proyeksi pemerintah Italia yang memperkirakan di angka 1,5% untuk 2019 dan 1,6% pada 2020. "Stimulus yang diberikan pemerintah hanya akan berdampak jangka pendek," tegas S&P.
Tidak hanya di Italia, risiko di Benua Biru juga datang dari negara-negara lain. Di Jerman, koalisi pemerintahan Kanselir Angela Merkel kian rapuh setelah kalah dalam pemilihan kepala daerah di negara bagian Hesse. Dua pekan sebelumnya, koalisi ini juga kalah dalam pemilihan di negara bagian Bavaria.
Artinya posisi Merkel sebagai Kanselir pun menjadi lemah, karena dirongrong oleh para pimpinan negara bagian dari kubu yang berseberangan. Bisa saja akan ada lagi perubahan peta koalisi pemerintahan di Negeri Panser yang membuat situasi politik menjadi kurang kondusif.
Jerman adalah perekonomian terbesar dan pemimpin de facto Uni Eropa. Masalah yang terjadi Jerman bisa menyebabkan seluruh Eropa merasakan dampaknya.
Risiko lainnya datang dari Inggris. Seperti biasa, ada kabar kurang sedap dari proses perpisahan Inggris dengan Uni Eropa (Brexit).
Setelah sempat ada berita positif, di mana London dan Brussel dikabarkan hampir mencapai kesepakatan, kini situasi kembali mundur. Nasib perundingan Brexit menjadi penuh tanda tanya karena ada kabar Perdana Menteri Inggris Theresa May tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari parlemen untuk melanjutkan negosiasi.
Perkembangan ini bisa kembali membuat investor memilih bermain aman. Risiko yang besar di Eropa membuat pelaku pasar tentu enggan mencoba-coba masuk ke negara berkembang. Bila ini terjadi, maka bakal menjadi kabar buruk buat IHSG dan rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Terbaru adalah dari lembaga pemeringkat (rating agency) Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) ekonomi Italia dari stabil menjdi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah.
"Kebijakan ekonomi dan anggaran pemerintah Italia akan membebani pertumbuhan ekonomi, yang menjadi kunci untuk menurunkan rasio utang. Dalam pandangan kami, rencana ekonomi dan fiskal Italia telah menggerus kepercayaan investor, terlihat dari peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah," papar S&P dalam keterangan tertulis.
S&P memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza pada 2019 dan 2020 masing-masing 1,1%. Di bawah proyeksi pemerintah Italia yang memperkirakan di angka 1,5% untuk 2019 dan 1,6% pada 2020. "Stimulus yang diberikan pemerintah hanya akan berdampak jangka pendek," tegas S&P.
Tidak hanya di Italia, risiko di Benua Biru juga datang dari negara-negara lain. Di Jerman, koalisi pemerintahan Kanselir Angela Merkel kian rapuh setelah kalah dalam pemilihan kepala daerah di negara bagian Hesse. Dua pekan sebelumnya, koalisi ini juga kalah dalam pemilihan di negara bagian Bavaria.
Artinya posisi Merkel sebagai Kanselir pun menjadi lemah, karena dirongrong oleh para pimpinan negara bagian dari kubu yang berseberangan. Bisa saja akan ada lagi perubahan peta koalisi pemerintahan di Negeri Panser yang membuat situasi politik menjadi kurang kondusif.
Jerman adalah perekonomian terbesar dan pemimpin de facto Uni Eropa. Masalah yang terjadi Jerman bisa menyebabkan seluruh Eropa merasakan dampaknya.
Risiko lainnya datang dari Inggris. Seperti biasa, ada kabar kurang sedap dari proses perpisahan Inggris dengan Uni Eropa (Brexit).
Setelah sempat ada berita positif, di mana London dan Brussel dikabarkan hampir mencapai kesepakatan, kini situasi kembali mundur. Nasib perundingan Brexit menjadi penuh tanda tanya karena ada kabar Perdana Menteri Inggris Theresa May tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari parlemen untuk melanjutkan negosiasi.
Perkembangan ini bisa kembali membuat investor memilih bermain aman. Risiko yang besar di Eropa membuat pelaku pasar tentu enggan mencoba-coba masuk ke negara berkembang. Bila ini terjadi, maka bakal menjadi kabar buruk buat IHSG dan rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular