
Newsletter
NAFTA Sudah, Mari Berharap AS-China Rujuk
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 October 2018 05:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama mengalami koreksi.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,53%. Sementara rupiah melemah 0,03% di hadapan greenback. Dari sisi eskternal, sejatinya ada sejumlah sentimen positif.
Angka pengangguran di Jepang periode Agustus diumumkan sebesar 2,4%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 2,5%. Kemudian di Singapura, penyaluran kredit perbankan membaik menjadi SG$ 669,9 miliar pada Agustus dari SG$ 667,5 miliar pada Juli. Sementara di Korea Selatan, Nikkei Manufacturing PMI periode September diumumkan sebesar 51,3, mengalahkan capaian periode sebelumnya yang sebesar 49,9.
Lebih lanjut, AS dan Kanada pada akhirnya berhasil menyepakati kerangka baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). yang diberi nama The United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Rencananya, para pimpinan negara akan menandatangani perjanjian tersebut sebelum akhir November dan setelahnya akan diserahkan ke Kongres.
Salah satu hal yang berhasil disetujui adalah Kanada akan membuka pasar yang lebih luas bagi produk susu (dairy) asal AS. Kanada harus membuka sekitar 3,5% dari pasar dairy domestik yang bernilai total US$ 16 miliar kepada produsen asal Negeri Adidaya.
Sayangnya, sentimen negatif dari China membuat bursa saham Asia tertekan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu.
Kemudian, investor cenderung bermain aman akibat perkembangan di Italia. Pemerintah Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 sebesar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Padahal, pemerintahan sebelumnya menargetkan defisit anggaran 2019 ada di kisaran 0,8% PDB. Bahkan pada 2020 pemerintah ingin memiliki anggaran seimbang (balance budget).
Pelaku pasar grogi karena teringat pada kejadian 2009-2010, di mana Italia mengalami krisis fiskal akibat anggaran negara yang terlalu agresif. Meski reda, tetapi risiko utang Italia masih tinggi karena rasio utang pemerintah yang mencapai 131,8% PDB pada akhir 2017.
Sewindu lalu, krisis fiskal di Italia menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Oleh karena itu, investor cemas risiko yang sama akan kembali terulang.
Melihat risiko di besar di Benua Biru, investor bermain aman dan mengalihkan dana ke aset-aset safe haven. Pilihan utama pelaku pasar adalah dolar AS, sehingga mata uang Negeri Adidaya kian menguat.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada September terjadi deflasi sebesar 0,18% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat 2,88% dan inflasi inti YoY ada di 2,82%.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,53%. Sementara rupiah melemah 0,03% di hadapan greenback. Dari sisi eskternal, sejatinya ada sejumlah sentimen positif.
Angka pengangguran di Jepang periode Agustus diumumkan sebesar 2,4%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 2,5%. Kemudian di Singapura, penyaluran kredit perbankan membaik menjadi SG$ 669,9 miliar pada Agustus dari SG$ 667,5 miliar pada Juli. Sementara di Korea Selatan, Nikkei Manufacturing PMI periode September diumumkan sebesar 51,3, mengalahkan capaian periode sebelumnya yang sebesar 49,9.
Lebih lanjut, AS dan Kanada pada akhirnya berhasil menyepakati kerangka baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). yang diberi nama The United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Rencananya, para pimpinan negara akan menandatangani perjanjian tersebut sebelum akhir November dan setelahnya akan diserahkan ke Kongres.
Salah satu hal yang berhasil disetujui adalah Kanada akan membuka pasar yang lebih luas bagi produk susu (dairy) asal AS. Kanada harus membuka sekitar 3,5% dari pasar dairy domestik yang bernilai total US$ 16 miliar kepada produsen asal Negeri Adidaya.
Sayangnya, sentimen negatif dari China membuat bursa saham Asia tertekan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu.
Kemudian, investor cenderung bermain aman akibat perkembangan di Italia. Pemerintah Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 sebesar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Padahal, pemerintahan sebelumnya menargetkan defisit anggaran 2019 ada di kisaran 0,8% PDB. Bahkan pada 2020 pemerintah ingin memiliki anggaran seimbang (balance budget).
Pelaku pasar grogi karena teringat pada kejadian 2009-2010, di mana Italia mengalami krisis fiskal akibat anggaran negara yang terlalu agresif. Meski reda, tetapi risiko utang Italia masih tinggi karena rasio utang pemerintah yang mencapai 131,8% PDB pada akhir 2017.
Sewindu lalu, krisis fiskal di Italia menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Oleh karena itu, investor cemas risiko yang sama akan kembali terulang.
Melihat risiko di besar di Benua Biru, investor bermain aman dan mengalihkan dana ke aset-aset safe haven. Pilihan utama pelaku pasar adalah dolar AS, sehingga mata uang Negeri Adidaya kian menguat.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada September terjadi deflasi sebesar 0,18% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat 2,88% dan inflasi inti YoY ada di 2,82%.
Bulan sebelumnya, BPS mencatat terjadi deflasi 0,05% secara bulanan. Kemudian inflasi tahunan berada di 3,2% dan inflasi inti tahunan sebesar 2,9%.
Data inflasi September sedikit membawa pesimisme di pasar. Inflasi YoY yang lebih rendah dibandingkan Agustus menandakan permintaan agak lesu. Ini juga tercermin dari inflasi inti yang ikut melambat.
Data inflasi September sedikit membawa pesimisme di pasar. Inflasi YoY yang lebih rendah dibandingkan Agustus menandakan permintaan agak lesu. Ini juga tercermin dari inflasi inti yang ikut melambat.
Next Page
Saham Otomotif Hijaukan Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular