Newsletter

Cermati Potensi 'Gempa Susulan' Turki Sampai Bunga Acuan BI

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
15 August 2018 06:04
Cermati Potensi 'Gempa Susulan' Turki Sampai Bunga Acuan BI
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada perdagangan kemarin. Kejatuhan IHSG terjadi kala nilai tukar rupiah justru menguat. 

Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan koreksi yang cukup dalam yaitu 1,56%. Nilai transaksi tercatat Rp 9,34 triliun dengan volume 11,01 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 408.021 kali. 

IHSG masih menjadi yang terlemah di kawasan. Indeks Nikkei 225 melejit 2,28%, Kospi naik 0,47%, KLCI (Malaysia) menguat 0,02%, Shanghai Composite turun 0,17%, Hang Seng melemah 0,66%, dan Straits Time berkurang 0,08%. 

Sepertinya  faktor domestik menjadi beban buat IHSG. Kemarin, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan data realisasi investasi kuartal II-2018 yang kurang menggembirakan. Pada kuartal II-2018, investasi hanya tumbuh 3,1%, bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9%. 

Data ini menggambarkan situasi dunia usaha sebenarnya sedang lesu. Terutama investor asing, yang justru terlihat menghindari Indonesia. Sinyal ini tentu menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Ekspansi usaha yang minim berarti prospek pertumbuhan laba emiten juga terbatas. 

Namun di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru menguat 0,1%. Padahal rupiah melemah cukup dalam pada 2 hari perdagangan beruntun. 

Rupiah diselamatkan oleh putusnya keperkasaan dolar AS yang dimulai pada akhir pekan lalu. Bisa jadi investor mulai merealisasikan keuntungan yang didapat dari memegang mata uang Negeri Paman Sam.  

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, sudah menguat 1,18%. Kemudian selama sebulan terakhir naik 1,67% dan sejak awal tahun melaju 4,57%. Angka-angka ini tentunya menggiurkan, dan merangsang pelaku pasar untuk mencairkan cuan. 

Selain itu, pelaku pasar mulai move on dari isu gonjang-ganjing di Turki. Sejak akhir pekan lalu, investor mencemaskan nilai tukar lira yang melemah tajam. 

Akhir pekan lalu, lira anjlok 15,97% terhadap dolar AS dan kemarin melemah 6,73%. Namun saat ini lira sudah bangkit. Mata uang Negeri Kebab mampu menguat lumayan tajam yaitu 7,37% di hadapan greenback.  

Bank Sentral Turki berusaha menenangkan investor global dengan menyatakan bahwa mereka akan menyediakan sebanyak mungkin likuiditas bagi bank-bank dalam negeri. Selain itu, bank sentral juga siap sedia dalam memantau perkembangan dari krisis ekonomi di Negeri Kebab. Pernyataan Bank Sentral Turki sedikit melegakan pelaku pasar sehingga lira mampu membalikkan kedudukan.  

Dengan begitu, faktor utama yang membuat pasar keuangan global 'kebakaran' sudah padam. Investor pun kembali bergairah dan mulai berani masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang. Sentimen positif ini juga yang mampu menopang beberapa indeks saham di bursa Asia pada perdagangan kemarin. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama akhirnya bangkit setelah sempat tertekan selama beberapa hari. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,45%, S&P 500 naik 0,64%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,62%. Seperti di Asia, sepertinya investor di bursa saham New York sudah move on dari isu Turki.

Selain langkah antisipasi bank sentral, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga akan memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang menanamkan modal di negaranya. Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak juga berencana melakukan telewicara dengan investor global untuk memastikan keamanan investasi di sana. 

Dengan meredanya tensi di Turki, kini investor bisa kembali fokus ke musim laporan keuangan emiten (earnings season) periode kuartal II-2018 yang hampir selesai. Sejauh ini, dari 458 perusahaan yang sudah menyampaikan laporan keuangan, 79% di antaranya berada di atas estimasi pasar. 

Saham emiten penjual produk-produk mewah Tapestry  melesat 12,01%. Tahun lalu, Tapestry mengakuisisi Kate Spade dengan nilai US$ 2,4 miilar, dan langkah itu terbukti manjur.

Pada kuartal IV tahun fiskal ini, Tapestry membukukan laba bersih sebesar US$ 211,7 juta atau melesat 39,55% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara penjualan naik 31% menjadi US$ 1,48 miliar. 

Meninggalnya Kate Spade belum lama ini membuat tas-tas buatannya laku keras. Masyarakat sepertinya ingin bernostalgia dan memiliki memori bersama sang desainer ternama. 

Advance Auto Parts juga mencetak kenaikan harga saham hingga 7,79%. Pada kuartal II-2018, perusahaan penyedia suku cadang otomotif ini mencacat laba per saham (Earnings per Share/EPS) sebesar US$ 1,97. Naik 24,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Namun saham-saham sektor energi menjadi pemberat di Wall Street. Indeks sektor energi di DJIA melemah 0,14% karena koreksi harga minyak yang lumayan dalam. Pada pukul 04:55 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,84% sementara light sweet anjlok 1,01%. 

Penyebabnya adalah rilis data cadangan minyak AS versi American Petroleum Institute (API). Pada pekan lalu, cadangan minyak Negeri Adidaya disebutkan naik 3,7 juta barel. Jauh di atas perkiraan pasar yaitu turun 2,5 juta barel. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang ciamik. Diharapkan hijaunya bursa saham New York bisa terular ke Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah dinamika di Turki. Meski sejak kemarin sudah mereda, tetapi investor tetap perlu memonitor perkembangan di sana. Sebab, bisa jadi ada 'gempa susulan' dari Ankara. 

Pasalnya, hubungan Turki dengan AS masih panas. Presiden Erdogan dengan tegas menyebut guncangan ekonomi di negaranya adalah buah dari perang ekonomi. Bahkan Erdogan kini melancarkan kampanye boikot produk elektronik asal AS. 

"Mereka punya iPhone, dan kita punya Vestel," tegas Erdogan, mengacu pada merek ponsel buatan Turki. 

Selain itu, Presiden Trump juga dikabarkan mulai frustrasi karena Turki tidak kunjung membebaskan Andrew Brunson. Pastur asal AS ini ditahan karena tuduhan ikut mendukung gerakan percobaan kudeta pada 2016 lalu. Brunson memang sudah tidak dipenjara, tetapi kini masih berstatus tahanan rumah. 

"Presiden sangat frustrasi karena Brunson belum dibebaskan. Beliau berkomitmen 100% untuk membawa Brunson pulang," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperi dikutip Reuters. 

Jika keinginan itu tidak kunjung dipenuhi, maka AS disebut-sebut akan menyiapkan sanksi baru buat Turki. Sebelumnya, AS telah 'menghukum' Turki dengan menaikkan bea masuk atas impor baja dan aluminium. 

"Pemerintah akan tegas soal ini. Belum ada perkembangan dalam kasus Brunson, dan bila tidak ada tindakan nyata dalam beberapa hari atau minggu ke depan, maka tindakan lanjutan akan ditempuh. Tekanan akan meningkat," ungkap salah seorang pejabat teras Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Oleh karena itu, pelaku pasar masih harus waspada karena situasi di Turki masih bergejolak. Hal ini bisa berakibat melemahnya kembali nilai tukar lira. Apabila lira sampai terdepresiasi dalam, maka Turki lagi-lagi akan membuat pasar keuangan global 'kebakaran'. 

Sentimen ketiga, dolar AS berpotensi untuk bangkit setelah kemarin sempat tertekan. Pada pukul 05:15 WIB, Dollar Index menguat sampai 0,27%. 

Keperkasaan dolar AS datang kembali karena masih ada sedikit kekhawatiran mengenai masa depan ekonomi Turki. Walau sekarang reda, tetapi Turki masih menyimpan bara dalam sekam karena inflasi yang mencapai dua digit, sanksi AS, sampai Presiden Erdogan yang terlalu mengobok-obok kebijakan ekonomi.  

"Saya tidak percaya ini sudah berakhir. Kita hanya sedang dalam fase tenang dalam sebuah siklus penurunan," kata Minh Trang, Senior Currency Trader di Silicon Valley Bank yang berbasis di California, dikutip dari Reuters. 

Bila kebangkitan dolar AS bertahan lama, maka mata uang lainnya akan cenderung tertekan. Rupiah bsa saja menjadi salah satunya. Pelemahan rupiah tentunya menjadi sentimen negatif di pasar keuangan domestik.


Sentimen keempat adalah dari dalam negeri yaitu rilis data perdagangan internasional periode Juli 2018. Badan Pusat Statistik dijadwalkan mengumumkan realisasi ekspor, impor, dan neraca perdagangan pada pukul 11:00 WIB. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor pada Juli 2018 tumbuh 11,3% dibandingkan setahun sebelumnya atau year-on-year (YoY). Sementara impor diperkirakan tumbuh lebih cepat yaitu 13,4%. Hasilnya adalah neraca perdagangan mencatat defisit US$ 640 juta. 

Defisit neraca perdagangan yang berpotensi terjadi pada Juli membuat transaksi berjalan (current account) pada kuartal III-2018 di ujung tanduk. Padahal pada kuartal sebelumnya, transaksi berjalan sudah mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Catatan tersebut merupakan yang terdalam sejak kuartal III-2014. 

Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bersama dengan transaksi modal dan finansial. NPI menggambarkan arus devisa yang masuk ke sebuah negara.  

Namun transaksi berjalan lebih mendapat perhatian. Sebab, transaksi berjalan mewakili arus devisa yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustain) dibandingkan modal asing portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Ketika transaksi berjalan defisit, ada persepsi suatu mata uang kurang dukungan devisa yang memadai. Oleh karena itu, mata uang menjadi rentan melemah. 

Indonesia patut waspada jika neraca perdagangan kembali defisit. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. 

Sentimen kelima, masih dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,25%. Dari 12 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, seluruhnya memperkirakan tidak ada kenaikan. 

Namun, sejatinya pelemahan rupiah yang cukup dalam sejak akhir pekan lalu membuat pelaku pasar gamang. Demi menjaga stabilitas nilai tukar, bukan tidak mungkin BI akan menaikkan suku bunga acuan. 

Gonjang-gonjang Turki yang masih belum sepenuhnya usai membawa potensi tekanan terhadap rupiah. Bila krisis mata uang lira menyebar ke negara-negara berkembang lainya, maka mimpi buruk krisis keuangan Asia seperti 1997-1998 bukan tidak mungkin bisa terulang. 

"Apabila beberapa negara  berkembang  lainnya  turut  memburuk  setelah Turki, pelemahan  tersebut dapat menimbulkan tekanan lebih lanjut ke seluruh negara berkembang seperti di tahun 1997. Dengan kondisi yang ada saat ini, BI perlu mempercepat kenaikan suku bunga untuk menahan penurunan cadangan devisa lebih lanjut," tulis kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). 

Oleh karena itu, suku bunga acuan akan sangat ditunggu oleh investor. Jika BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan, maka bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah karena meningkatkan potensi masuknya arus modal asing. 


Sentimen keenam, juga dari dalam negeri, adalah kemungkinan reaksi pasar setelah rilis data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 per akhir Juli. Ada satu data yang perlu dicermati, yakni belanja modal pemerintah yang turun 7,36% YoY, dan menjadi satu-satunya pos belanja pemerintah yang mengalami kontraksi. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, belanja modal pemerintah masih mampu tumbuh 18,7% YoY.

Penurunan ini lantas menjadi indikasi bahwa pemerintah mulai mengerem impor barang modal. Tujuannya tidak lain adalah untuk menahan kejatuhan rupiah. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu untuk menunda agar proyek-proyek infrastruktur non-strategis. Namun, perlambatan belanja infratruktur pemerintah akan berdampak kepada melambatnya pula laju pertumbuhan ekonomi.  

Sentimen ketujuh, lagi-lagi dari dalam negeri, adalah rencana pemerintah untuk menambah kuota produksi batu bara. Hal ini dilakukan untuk menggenjot ekspor yang bisa mendatangkan devisa. 

"Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sudah ditandatangani oleh Pak Menteri. Dari 485 juta ton (RKAB 2018), bertambah 25 juta ton. Diharapkan akan ada tambahan devisa US$ 1,5 miliar dan uangnya tidak diam di luar negeri," ungkap Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi. 

Selain berguna untuk menopang penguatan rupiah, kebijakan ini juga bisa menjadi angin segar bagi emiten-emiten produsen batu bara. Produksi mereka akan meningkat, ekspor bertambah, dan prospek laba pun cerah. Investor berpotensi mengapresiasi sentimen ini dengan melakukan aksi borong. 

Cukup banyak sentomen yang mesti diperhatikan pelaku pasar hari ini. Sepertinya akan menjadi hari yang sibuk.


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data neraca perdagangan Indonesia periode Juli 2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data suku bunga acuan Bank Indonesia (14:00 WIB).
  • Indeks Harga Upah kuartal II-2018 (08.30 WIB).
  • Rilis data inflasi Inggris periode Juli 2018 (15.30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur Empire State periode Agustus 2018 (19.30 WIB).
  • Rilis data produksi industri AS periode Juli 2018 (20.15 WIB).
  • Rilis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga 10 Agustus 2018 (21.30 WIB). 
Investor juga perlu mencermati agendai perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Sugih Energy Tbk (SUGI)RUPS Tahunan14:00
PT Intan Baruprana Finance Tbk (IBFN)RUPSLB14:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular