Newsletter

Menguji Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
18 May 2018 05:52
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Untuk perdagangan hari ini, kabar dari BI tentu akan sangat mewarnai pergerakan pasar. Sesuai janji, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. Kebijakan ini ditempuh untuk menjaga stabilitas perekonomian, khususnya mencegah depresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut. 

Pelaku pasar sudah berekspektasi akan ada kenaikan suku bunga acuan, dan ekspektasi itu terwujud. Oleh karena itu, kenaikan ini bisa menjadi bahan bakar bagi IHSG maupun rupiah untuk menguat. Meski seberapa signifikan dampak kenaikan suku bunga terhadap apresiasi nilai tukar masih harus diuji.


Selain itu, BI juga menyatakan  siap menempuh langkah-langkah yang lebih kuat guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi. Salah satu langkah yang lebih kuat tersebut adalah kembali menaikkan suku bunga bila memang dibutuhkan. 

"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini (kenaikan suku bunga), kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus Martowardoyo. 

"Kondisi global memang sudah semakin kuat, tumbuh lebih baik dari perkiraan. Pertumbuhan ekonomi akan naik ke 3,9% dari 3,8% untuk tahun ini. Itu didorong perbaikan ekonomi AS sehingga kemungkinan Federal Funds Rate naik. Ada risiko bahwa akan terjadi kenaikan tiga kali pada 2018 menjadi empat kali, dan 2019 menjadi dua kali. Negara maju sudah mengarah kepada normalisasi kebijakan moneter sehingga era bunga tinggi terealisasi secara bertahap. BI akan terus mewaspadai itu," tambah Agus. 


Walaupun bisa mengangkat kinerja rupiah dan IHSG dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka yang lebih panjang kebijakan ini sesungguhnya membebani pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ikut naik.

Jika emiten kemudian menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, maka konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan. Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang.

Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.

Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini. 

Ketika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian sulit untuk dicapai. Mungkin Indonesia akan akrab dengan pertumbuhan ekonomi yang mepet-mepet di 5% saja. 



(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular