Hampir Pasti Naikkan Suku Bunga, BI Korbankan Pertumbuhan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 May 2018 11:40
Hampir Pasti Naikkan Suku Bunga, BI Korbankan Pertumbuhan?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini sudah mengkhawatirkan. Oleh karena itu, BI pun menegaskan kembali kesiapannya untuk menaikkan suku bunga acuan. 

Hari ini, Jumat (11/5/2018), Gubernur BI, Agus DW Martowardojo, merilis pernyataan yang cukup menghebohkan. Eks Menteri Keuangan tersebut menegaskan bank sentral punya ruang yang besar untuk menaikkan suku bunga acuan. 

Menurut pandangan BI, melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Terkait hal tersebut, dan melihat masih besarnya potensi tantangan dari kondisi global yang dapat berpotensi mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah panjang, BI akan secara tegas dan konsisten mengarahkan dan memprioritaskan kebijakan moneter pada terciptanya stabilitas.  

"Dengan mempertimbangkan hal tersebut, BI memiliki ruang yang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga kebijakan. Respons kebijakan tersebut akan dijalankan secara konsisten dan pre-emptive untuk memastikan keberlangsungan stabilitas.," tegas Agus. 

Meski BI sudah ambil kuda-kuda tegas untuk menaikkan suku bunga, tetapi waktu eksekusinya masih belum jelas. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini, sejumlah pelaku pasar masih melihat BI menahan 7 days reverse repo rate di 4,25%. 

"Kami memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan. Kondisi makroekonomi masih relatif stabil, terlihat dari inflasi yang masih terkendali," kata Euginia Fabon Victorino, analis ANZ. 

Selain itu, lanjut Victorino, pertumbuhan ekonomi masih membutuhkan sokongan suku bunga. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang masih lesu, yaitu di 5,06%. Jauh di bawah konsensus pasar yang mencapai 5,18%. 

Apalagi, tambah Victorino, bisa dibilang pertumbuhan ekonomi kini bertumpu pada investasi karena konsumsi masih relatif stagnan dan net ekspor terancam karena impor yang melaju kencang. Pada kuartal I-2018, Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) 7,95%. Jauh membaik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,77%. 

Investasi yang kini menjadi motor pertumbuhan ekonomi tentu membutuhkan iklim yang kondusif. Salah satunya adalah suku bunga, yang jika naik maka justru kontrapduktif. 

Sementara Moody's Analytics dalam risetnya juga memperkirakan BI 7 days reverse repo rate masih bertahan di 4,25%. Moody's beranggapan konsumsi juga masih membutuhkan dukungan suku bunga. 

"Masalahnya adalah konsumsi masih tumbuh medioker, di bawah 5%. Jika BI menaikkan suku bunga, maka dampaknya adalah konsumsi akan semakin tertekan," tegas Moody's. 

Namun, Moody's juga melihat kemungkinan BI menaikkan suku bunga acuan cukup besar. Meski langkah tersebut diperkirakan baru ditempuh pada kuartal III atau awal kuartal IV. Apabila BI benar menaikkan suku bunga acuan, Moodys menilai konsumsi akan sulit tumbuh tinggi. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi 5,4% yang ditetapkan pemerintah hampir mustahil tercapai.
Mempertimbangkan depresiasi rupiah selama 2018, mungkin wajar bila BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 3,6% terhadap greenback.  

Di antara mata uang Asia, rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk. Rupiah hanya lebih baik dari rupee India, yang terdepresiasi 5,2%. 

Hampir Pasti Naikkan Suku Bunga, BI Korbankan Pertumbuhan?Reuters

Inflasi domestik memang sejauh ini masih terkendali, per akhir April tercatat 3,41% year-on-year (YoY). Masih di batas tengah kisaran target BI yaitu 2,5-4,5%. 

Namun dari sisi inflasi impor, pelemahan rupiah mungkin dinilai sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Indeks harga impor Indonesia pada Maret tercatat 143,78. Secara bulanan, terjadi kenaikan 0,42% sementara secara tahunan naik sampai 7,77%. 

Hampir Pasti Naikkan Suku Bunga, BI Korbankan Pertumbuhan?BPS
 
Dari sisi stabilitas sistem keuangan, pelemahan rupiah juga menyebabkan pasar bergerak volatil. Saat rupiah melemah, investor (terutama asing) enggan memegang aset berbasis mata uang ini karena nilanya turun.  

Akibatnya, nilai jual bersih di pasar saham sejak awal tahun sudah mencapai Rp 37,18 triliun. Baru berjalan lima bulan, nilai jual bersih sudah hampir menyamai catatan sepanjang 2017 yang sebesar Rp 39,9 triliun. 

Salah satu faktor yang menyebabkan keenganan investor asing masuk ke Indonesia adalah selisih suku bunga. Saat suku bunga global dalam tren naik, Indonesia sampai saat ini masih bertahan. Hasilnya adalah selisih (spread) suku bunga yang semakin mengecil, negara lain jadi semakin menarik. 

Dari sisi ini, kenaikan suku bunga juga mendapat justifikasi. Depresiasi kurs sudah membuat rupiah tertekan dan menciptakan instabilitas di pasar keuangan. Obatnya adalah kenaikan suku bunga acuan. 


Namun, kenaikan suku bunga bukan tanpa konsekuensi. Biasanya kenaikan suku bunga acuan cepat tertransmisikan ke perbankan (berbeda saat suku bunga acuan turun). Suku bunga perbankan pun bergerak naik. 

Kenaikan suku bunga perbankan mengakibatkan pertumbuhan kredit akan semakin tertekan. Padahal pertumbuhan kredit belum lagi mencapai dua digit. Per akhir April, pertumbuhan kredit baru 8,5%, masih jauh dari Rencana Bisnis Bank (RBB) 2018 yang sebesar 12,23%. 

Saat suku bunga bank naik, maka konsumsi masyarakat akan semakin tertekan. Saat ini pun konsumsi rumah tangga belum pulih benar.

Pada kuartal I-2018, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,95%. Tidak jauh bergerak dibandingkan periode yang sama 2017 yaitu 4,94%. 

Hampir Pasti Naikkan Suku Bunga, BI Korbankan Pertumbuhan?BPS
 
Padahal, konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, mencapai 56,8%. Jadi ketika konsumsi rumah tangga bergerak, maka PDB secara keseluruhan pun akan bergerak.  

Jika suku bunga acuan dan kemudian suku bunga bank naik, maka konsumsi pun bisa semakin melambat. Pertumbuhan konsumsi 5% menjadi sangat sulit tercapai dan akibatnya target pertumbuhan ekonomi 5,4% menjadi tidak realistis. 

Di pasar saham, emiten sektor barang konsumsi pun akan terkena getahnya. Padahal mereka sudah cukup merana karena laporan keuangan kuartal I-2018 yang di bawah ekspektasi. Akan sulit mengharapkan pertumbuhan dari sektor ini jika konsumsi masyarakat melandai cenderung turun. 

Namun dengan persepsi BI yang kini sepertinya mulai mengarah ke stabilitas di atas pertumbuhan (stability over growth), maka sepertinya konsumsi memang akan dikorbankan demi terciptanya stabilitas. Apakah kenaikan suku bunga bisa menciptakan stabilitas? Layak ditunggu.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular