FEB UI: BI Bisa Tunda Kenaikan Suku Bunga Acuan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 May 2018 10:50
BI hari ini akan mengumumkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia hari ini akan mengumumkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate. Pelaku pasar sudah berekspektasi bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan, sesuai petunjuk dari BI yang sudah berkali-kali menyebutkan bahwa ruang kenaikan cukup terbuka.

Ekspektasi ini telah mendorong pasar keuangan domestik ke teritori positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pukul 10:22 WIB naik 0,55%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,23%.

Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai sebenarnya BI belum perlu menaikkan suku bunga. Pasalnya, kenaikan suku bunga tidak kondusif bagi permintaan domestik.

Sebagai catatan, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95% pada kuartal I-2018. Tidak banyak berubah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 4,94%. Ini menandakan konsumsi masih belum pulih betul.

"Kemudian inflasi inti yang relatif stagnan di angka 2,7% dan pertumbuhan konsumsi kuartal I- 2018 yang masih bawah 5% menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam negeri masih sangat rentan terhadap faktor-faktor negatif, terutama terkait dengan suku bunga. Kenaikan suku bunga akan meningkatkan bunga deposito secara langsung, sedangkan bunga kredit tidak akan terlalu berubah di jangka pendek. Hal ini akan menurunkan tingkat NIM (margin bunga bersih) jangka pendek, yang akan memperlambat pertumbuhan penyaluran kredit perbankan dan konsumsi dalam negeri," jelas kajian LPEM FEB UI yang dikutip Kamis (17/5/2018).

Sikap BI yang membuka ruang kenaikan suku bunga acuan adalah untuk menjaga performa rupiah. Sepanjang tahun ini, rupiah memang tertekan hingga mencatat depresiasi 3,3% terhadap dolar AS. Bahkan greenback sempat menguat sampai ke Rp 14.100, terkuat sejak 2015.

Namun, LPEM FEB UI memandang depresiasi ini lebih didominasi faktor ekstenal. Terutama karena perekonomian AS yang semakin membaik sehingga membuka peluang The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga empat kali pada tahun ini untuk meredam laju inflasi. Akibatnya aset-aset berbasis dolar AS menjadi menarik.

Perkembangan di AS tersebut menyebabkan mata uang dunia melemah terhadap greenback. Bahkan mata uang negara-negara berkembang lainnya mengalami depresiasi yang lebih dalam ketimbang rupiah. Misalnya peso Argentina (-22,6%), lira Turki (-14,7%), real Brasil (-9,3%), rubel Rusia (-7,4%), atau rupee India (-6,2%).

"Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, pelemahan nilai tukar yang terjadi di Indonesia saat ini masih terkendali. Bank Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang sangat mencukupi untuk melakukan intervensi di pasar valas," sebut LPEM FEB UI.

LPEM FEB UI mengutip riset Kearns dan Manners pada 2006 yang menguji dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap penguatan mata uang. Menggunakan contoh dolar Australia, kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin hanya mendorong apresiasi 0,35% apabila diantisipasi pasar dan hanya 0,2% saat telah diantisipasi. Penguatan yang terbatas ini terjadi karena mekanisme pasar.

"Saat ini, aset berbasis rupiah sudah terlalu murah sehingga investor global sebenarnya sudah bersiap-siap untuk masuk lagi. Oleh karena itu, intervensi lewat penggunaan cadangan devisa untuk menahan laju depresiasi tetap lebih efektif dibandingkan dengan kenaikan suku bunga acuan. Kami melihat bahwa Bank Indonesia masih dapat menunda kenaikan suku bunga hingga paruh kedua tahun 2018, ketika pertumbuhan konsumsi dalam negeri sudah mulai naik, sambil memantau dinamika pasar keuangan menjelang atau sesudah kenaikan Fed Funds Rate bulan depan," tegas LPEM FEB UI.
(aji/aji) Next Article BI Tahan Bunga Acuan 3,5%, Masih Terendah Sepanjang Sejarah!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular