Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ke zona merah setelah hanya sehari bertahan di teritori positif. Hari ini, risiko besar kembali menghantui IHSG yaitu perang dagang dalam skala global. I
HSG ditutup melemah 0,93% ke 6.254,07 poin pada perdagangan kemarin. Sentimen positif dari hasil pertemuan the Federal Reserve/The Fed hanya mampu membawa IHSG menguat sampai akhir sesi I.
Transaksi berlangsung semarak yaitu senilai Rp 10,26 triliun dengan volume sebanyak 13 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah sebanyak 373.542 kali.
Koreksi IHSG dipicu oleh aksi jual pada saham-saham bank BUKU IV. BBRI turun 3,67%, BMRI turun 2,44%, dan BBNI turun 4,04%.
Ketika terdapat sentimen negatif yang tak secara spesifik menargetkan sektor-sektor tertentu, pelaku pasar cenderung melepas kepemilikannya atas saham-saham dari sektor yang berkapitalisasi pasar besar seperti jasa keuangan. Apalagi, sektor ini masih membukukan imbal hasil positif sepanjang tahun ini (+3,19%).
Selain itu, saham JSMR (-4%) ikut menjadi saham yang berkontribusi besar bagi anjloknya bursa saham domestik. Pelemahan saham JSMR dipicu oleh permintaan Presiden Joko Widodo supaya tarif tol diturunkan karena dinilai sudah terlalu mahal. Hal ini lantas dikhawatirkan dapat menekan kinerja keuangan JSMR sebagai operator jalan tol terbesar di Indonesia.
Sisi positifnya, investor asing melakukan aksi beli senilai Rp 128,86 miliar. Namun, hal ini tak sepenuhnya menggembirakan, mengingat nilainya sempat mencapai Rp 892,47 miliar pada sesi I. Artinya, sepanjang sesi II investor asing banyak melepas kepemilikannya.
Saham-saham yang paling banyak diburu investor asing pada perdagangan kemarin di antaranya BLTZ (Rp 968,67 miliar), BBCA (Rp 65,77 miliar), BBTN (Rp 60,86 miliar), SMMA (Rp 50 miliar), dan BBNI (Rp 45,92 miliar).
Pelemahan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham regional yang ditutup di zona merah. Indeks Shanghai Composite turun 0,52%, Hang Seng melemah 1,09%, dan Straits Times terkoreksi 0,56%.
Pertemuan The Fed sejatinya lebih banyak membawa kabar buruk bagi pasar modal. Walaupun pada pertemuan bulan ini kenaikan suku bunga acuan tahun 2018 diproyeksikan masih akan sebanyak tiga kali, sebenarnya potensi kenaikan sebanyak empat kali masih ada.
Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan
dot plot dari pertemuan the Fed Desember 2017 lalu dengan
dot plot terkini. Di
dot plot versi terbaru, terlihat tak ada anggota Federal Open Market Committee (FOMC) yang memproyeksikan tingkat suku bunga di kisaran rendah yaitu 1,125%-1,375%. Titik-titik proyeksi anggota FOMC pun bergeser ke atas.
Memang jika dihitung, mediannya masih sebesar 2,125%, sama dengan median pada
dot plot akhir 2017, yang berarti kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali. Masalahnya, kini jika ada satu saja anggota FOMC yang menaikkan proyeksi tingkat suku bunganya, maka median akan bergeser menjadi 2,375% yang berarti kenaikan sebanyak empat kali.
Hal ini sangat mungkin ditemui pada pertemuan-pertemuan berikutnya, terutama jika data ekonomi Negeri Paman Sam menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Kedua, pengetatan pada 2019 dan 2020 diproyeksikan akan bertambah setidaknya sekali dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini lagi-lagi ditunjukkan oleh median dari
dot plot untuk masing-masing periode yang menunjukkan kenaikan.
Kini, kenaikan suku bunga acuan 2019 diproyeksikan menjadi tiga kali (dari yang sebelumnya dua kali), serta kenaikan suku bunga 2020 diproyeksi sebesar dua kali (dari yang sebelumnya sekali).
Terakhir, pelaku pasar dibuat galau oleh proyeksi dan pernyataan the Fed yang tak sejalan. Dalam proyeksi ekonominya, the Fed menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai 2,7%, dari yang sebelumnya 2,5%. Untuk tahun depan, angkanya dinaikkan menjadi 2,4%, dari yang sebelumnya 2,1%.
Masalahnya, pernyataan yang dirilis The Fed seolah menentang proyeksi yang mereka buat sendiri. Dalam pernyataan resminya, The Fed mengatakan bahwa aktivitas ekonomi tumbuh pada level yang moderat sejak pertemuannya pada Januari lalu. Padahal, pada pertemuan Januari, aktivitas ekonomi dinyatakan tumbuh dalam tingkat yang solid.
Jika The Fed melihat aktivitas ekonomi tumbuh dalam ritme yang moderat alias biasa saja, lantas mengapa proyeksi pertumbuhan ekonomi dinaikkan secara signifikan? Dari Wall Street, tiga indeks utama mengalami koreksi yang cukup dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 2,93%, S&P 500 melemah 2,52%, dan Nasdaq berkurang 2,43%.
Kekhawatiran investor di AS bukan lagi soal The Fed, melainkan ancaman baru bernama perang dagang. Presiden AS Donald Trump telah meneken aturan tentang bea masuk terhadap importasi dari China yang bisa bernilai hingga US$ 60 miliar.
Langkah ini ditempuh untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual. Produk yang masuk daftar mencapai 1.300.
Namun, Trump membuat aturan ini lebih lunak. Bea masuk baru benar-benar dikenakan setelah periode konsultasi selama 60 hari yang bisa memberi waktu bagi pihak AS maupun China untuk melakukan negosiasi. China juga diberi waktu untuk merespons kebijakan ini sehingga mengurangi kemungkinan aksi balas dendam dari Beijing.
"Saya melihat mereka (China) sebagai kawan. Kami telah bicara dengan China dan kami sedang dalam perundingan," sebut Trump seperti dikutip
Reuters.
Sebelumnya, China menyatakan tidak akan tinggal diam jika AS menerapkan kebijakan tersebut. China akan membalas dengan mempersulit produk AS masuk ke negaranya. Produk pertanian, pesawat terbang, sampai alat berat menjadi target potensial.
Ketika China benar-benar mempersulit produk AS untuk masuk, terutama produk agrikultur, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer menegaskan Washington akan menyiapkan langkah balasan. Ternyata tensi masih dan justru semakin meninggi.
Situasi ini yang membuat investor di Wall Street panik. Perang dagang akan membuat rantai pasok dunia (
global supply chain) terganggu, sehingga dampaknya sangat luas. Akibatnya, seluruh sektor saham kecual utilitas di Wall Street berada di teritori negatif.
Memang wajar bila investor panik. Pasalnya, China dan AS adalah negara dengan perdagangan terbesar di muka bumi. China adalah eksportir terbesar dunia, sementara AS adalah importir nomor satu.
Ketika dua kekuatan besar ini berseteru, maka dampaknya akan menyebar ke seluruh dunia. Permintaan produk China di AS akan turun karena pembatasan, sehingga mempengaruhi industri di Negeri Tirai Bambu. Negara-negara pemasok bahan baku maupun barang modal bagi industri di China juga akan terpukul.
Sementara kala China membalas dengan mempersulit produk AS masuk ke negaranya, itu juga membuat industri di AS terbanting. Bagaimana pun juga China adalah negara tujuan utama ekspor AS setelah Kanada dan Meksiko. Saat industri AS terluka, maka permintaan bahan baku dan barang modal dari berbagai negara juga berkurang.
Oleh karena itu, perang dagang AS vs China akan merusak rantai pasok dan industri dalam skala yang masif. Korban dari perang dagang ini adalah perekonomian global. Untuk perdagangan hari ini, sentimen dari Wall Street akan mewarnai bursa Asia dan bukan tidak mungkin Indonesia. Virus koreksi Wall Street bisa menular ke Benua Kuning.
Selain itu, kekhawatiran terhadap perang dagang juga bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. China dan AS merupakan negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Bila industri di sana melambat, maka dampaknya adalah ekspor Indonesia ikut seret.
Kemudian, pasar juga akan mulai mencerna keputusan Bank Indonesia (BI) yang menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%. BI menilai suku bunga ini masih relevan untuk menjaga inflasi di kisaran 3,5% plus minus satu dan mendukung upaya pemulihan ekonomi domestik.
Namun, kebijakan tersebut terjadi di tengah tren kenaikan suku bunga global. Selain The Fed, Bank Sentral China (PBoC) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 5 basis poin.
Kebijakan BI tersebut sepertinya sudah mempengaruhi pergerakan rupiah. Setelah bergerak menguat hingga tengah hari, rupiah berbalik melemah di sore hari kemarin.
Keputusan BI menahan suku bunga acuan sementara The Fed dan PBoC menaikkan membuat selisih bunga (
spread) menjadi semakin sempit. Hal tersebut memicu aliran modal keluar dan menjadi salah satu faktor yang membebani rupiah.
Perkembangan harga komoditas juga sepertinya tidak memihak IHSG. Setelah sempat melonjak, kini harga minyak terkoreksi.
Penurunan harga minyak disebabkan oleh aksi ambil untung karena sebelumnya terjadi kenaikan yang signifikan. Koreksi harga minyak bisa lebih dalam jika tidak ada kabar bahwa Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) berkomitmen untuk meneruskan pembatasan produksi.
Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al Falih, menegaskan OPEC perlu berkoordinasi untuk mengurangi pasokan minyak. Pengurangan produksi telah terbukti mampu mengangkat harga si emas hitam yang sempat terpuruk.
Selain itu, kekhawatiran terhadap perang dagang juga membuat harga minyak melemah. Ketika perang dagang menyebabkan kinerja industri global melambat, maka permintaan terhadap energi tentu ikut turun.
Namun ada pula potensi bagi IHSG untuk berbalik arah ke zona hijau. Pertama adalah koreksi yang melanda IHSG membuat harga aset menjadi lebih terjangkau.
Kini IHSG membukukan pelemahan 1,6% secara
year to date. Ini bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi borong dan mendorong IHSG.
Kedua adalah laporan kinerja emiten. Sejumlah emiten diagendakan melakukan paparan seperti ITMG, BBTN, dan ISAT. Bila ada kabar baik, maka bisa menjadi sentimen positif buat IHSG. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengadakan pertemuan dengan CEO Qatar Investment Authority (11:00 WIB).
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas Kawasan Ekonomi Khusus (14:00 WIB).
- RUPS Tahunan ITMG (09:00 WIB).
- RUPS Tahunan BBTN (14:00 WIB).
- Earnings call ISAT (15.00 WIB).
- Pidato Gubernur The Fed Atlanta Raphael Bostic (19:10).
- Rilis data pemesanan barang tahan lama AS (19:30).
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 6,254.07 | (0.93) | (1.60) |
LQ45 | 1,026.65 | (1.13) | (4.89) |
DJIA | 243,957.89 | (2.93) | (3.08) |
CSI300 | 4,020.56 | (1.00) | (0.26) |
Hang Seng | 31,071.05 | (1.09) | 3.85 |
Nikkei 225 | 21,591.99 | 0.99 | (5.15) |
Straits Times | 3,491.37 | (0.56) | 2.60 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 13,737.00 | 0.16 | 3.24 |
EUR/USD | 1.23 | (0.17) | 14.28 |
GBP/USD | 1.41 | (0.21) | 12.72 |
USD/CHF | 0.95 | (0.13) | (4.57) |
USD/CAD | 1.29 | 0.25 | (3.11) |
USD/JPY | 104.81 | (1.16) | (5.57) |
AUD/USD | 0.77 | (0.91) | 0.92 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 64.32 | (1.49) | 34.84 |
Minyak Brent (USD/barel) | 68.86 | (0.92) | 36.17 |
Emas (USD/troy ons) | 1,331.03 | (0.05) | 7.03 |
CPO (MYR/ton) | 2,445.00 | (0.57) | (17.64) |
Batu bara (USD/ton) | 91.27 | (0.28) | 12.75 |
Tembaga (USD/pound) | 3.01 | (1.16) | 14.31 |
Nikel (USD/ton) | 13,408.00 | 0.00 | 1.51 |
Timah (USD/ton) | 21,000.00 | 1.57 | 3.58 |
Karet (JPY/kg) | 185.60 | 3.98 | (24.98) |
Kakao (USD/ton) | 2,460.00 | (2.46) | 16.50 |
Berikut perkembangan yield Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 5.99 |
10Y | 6.76 |
15Y | 6.98 |
20Y | 7.35 |
30Y | 7.47 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Kurs (22 Maret 2018) | Rp 13.737/US$ |
Pertumbuhan ekonomi (2017 YoY) | 5,07% |
Inflasi (Februari 2018 YoY) | 3,18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (2017) | -1,7% PDB |
Neraca pembayaran (2017) | US$ 11,6 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2017) | US$ 128,06 miliar |