Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga Australia

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
11 February 2019 16:57
Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga Australia
Foto: Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya pembukaan akses pasar ekspor baru melalui penandatanganan berbagai perjanjian dagang, di samping memperkuat daya saing produk dalam negeri melalui investasi.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mematok target penyelesaian dua perjanjian dagang besar di tahun ini, yakni RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan Indonesia-EU CEPA.

Berikut kutipan wawancara eksklusif wartawan CNBC Indonesia, Samuel Pablo dengan Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga AustraliaFoto: Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo (dok. Kemendag)


Pipeline perjanjian dagang dari Kementerian Perdagangan dan yang jadi prioritas tahun ini?
RCEP dan Indonesia-EU CEPA menjadi prioritas meskipun harus diantisipasi itu tidak selesai tahun ini karena sangat kompleks dan dinamikanya berbeda. Tapi in parallel kita berusaha selesaikan PTA dengan Mozambique, Tunisia, Maroko.

Lalu ada instruksi dari Pak Mendag untuk selesaikan Turki CEPA juga. Turki pasar yang besar dan cukup signifikan. Ekspor CPO kita turun cukup dalam karena tersaingi oleh Malaysia. Masalahnya, Turki punya perjanjian pabean dengan Uni Eropa sehingga rules of origin harus sama dengan yang mereka miliki dengan UE.

Saya melihat kita harus selesaikan Indonesia-EU CEPA terlebih dahulu baru secara article dengan Indonesia-Turki CEPA. Dengan demikian, barang yang kita ekspor ke Turki bisa lanjut masuk ke UE tanpa tarif, dengan Turki sebagai hub.

Jadi saya harapkan RCEP dan Indonesia-EU CEPA secara substansial dan signifikan bisa progresif di tahun ini, meskipun kemungkinan besar belum akan selesai di tahun ini.

Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga AustraliaFoto: Kelapa sawit (REUTERS/Lai Seng Sin)


Apa tantangan terbesar dalam menuntaskan perjanjian dagang tersebut?
Tantangan RCEP karena ada 16 negara di dalamnya. Belum pernah ada negosiasi yang mengikutsertakan India dan China sepanjang sejarah. Tapi ini tidak mengecilkan arti dari RCEP itu sendiri. Kalau RCEP ini selesai, akan ada pasar sebesar 3,4 miliar jiwa hingga 3,5 miliar jiwa, 40% penduduk dunia di sini. Ini pasar mega-regional yang diprediksi banyak ahli akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global di masa depan.

Sejarah RCEP itu sebenarnya di Indonesia. Saya ingat 5 Januari 2011, saya diundang sarapan di rumah Ibu Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan saat itu). Beliau katakan 2011 ini tahun kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Apa yang bisa kita berikan? Tercetuslah ide untuk mengonsolidasikan seluruh ASEAN+1 FTA yang kita miliki menjadi satu dan ASEAN sebagai porosnya.

Ini untuk merespon tekanan dari Jepang dan China saat itu. Jepang ingin membentuk CEPEA (Comprehensive Economic Partnership of East Asia), lalu China mendorong ASEAN+3 FTA.

Dua konsep ini bersaing menarik minat ASEAN. Pandangan kami berdua sama, ASEAN tidak bisa ditempatkan dalam posisi hanya memilih, harus kita yang mengarahkan. Nah, RCEP ini konsep pertama yang coba menggabungkan sekian banyak FTA menjadi satu.



Kalau RCEP terwujud, apakah kemudian semua perjanjian ASEAN+1 yang ada sebelumnya lantas tidak berlaku lagi?
Good question. Semua perjanjian itu punya latar belakang kepentingannya masing-masing, termasuk pertimbangan geopolitik. Jadi kita sepakati di ASEAN, kita rundingkan dan coba implementasikan RCEP. Kalau di kemudian hari, misalnya ASEAN-China FTA akan dihentikan dan dilebur ke dalam RCEP, itu terserah kepada pihak-pihak dalam perjanjian itu.

Di tahun ini, kita punya program kerja yang jelas untuk RCEP. Dalam hal finalisasi teks perjanjian, banyak yang bisa kita selesaikan di tahun ini. Untuk akses pasar, seluruh negara sudah memberikan daftar yang mereka bisa tawarkan. Sekarang tinggal improvement supaya commercially meaningful.

Jadi saya sedang menyusun program kerja di mana di setiap pertemuan targetnya harus jelas dan harus tercapai. Komitmen yang ASEAN tawarkan adalah eliminasi tarif hingga 90%.

Tapi banyak negara partner kita yang belum punya perjanjian dagang dan sulit menerima hingga 90%, contohnya India dengan China. RCEP ini akan jadi perjanjian dagang pertama di antara mereka sehingga komitmen mereka akan jauh di bawah 90%. Tapi tentu kita harus tetap bicarakan bottomline-nya.

Kalau antara India dan China tidak bisa saling memberikan preferensi tarif untuk satu produk, bagaimana kita menghitung produk yang bahan bakunya dari India, diproses di Indonesia lalu diekspor ke China? Itu akan menghambat prinsip rantai pasok regional (regional supply chain).

Padahal tujuan dari RCEP ini kan kita ingin memperluas dan memperdalam regional supply chain. Ini tantangannya dan kita minta mereka intensifkan perundingan bilateral di antara mereka sendiri juga



Kementerian Perdagangan memandang negosiasi IA-CEPA sudah selesai dan menjadi capaian di tahun 2018. Tinggal secara formalitas saja belum ditandatangani?
Terkait Australia, apapun yang kita lakukan dengan luar negeri itu kan dalam konteks politik luar negeri kita. Jadi kita tidak bisa lepas dari kebijakan politik luar negeri kita seperti apa. Buat saya dan Pak Menteri (Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita), tugas atau mandat untuk merundingkan CEPA dengan Australia selesai. Nah sekarang dibawa ke konteks politik luar negeri, kita tinggal tunggu sinyal saja dari Kementerian Luar Negeri bagaimana hasilnya.

Banyak pelaku bisnis concern dengan hal ini. Kalau belum ditandangani kan belum konkret, apalagi masih ada proses ratifikasi yang juga memakan waktu. Padahal dari sisi kepentingan ekonomi, ini kan manfaatnya sangat besar bagi kedua negara. Apakah ke depannya perundingan dagang dengan negara lain lagi-lagi akan tetap tergantung kepada politik luar negeri?
Lebih tepatnya bukan tergantung, tapi perundingan perdagangan internasional tetap berada di dalam koridor politik luar negeri Indonesia. Contohnya, kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Berarti kita nggak akan negosiasi dengan Israel. Kira-kira begitu lah kurang lebih melihatnya.

Berarti pendiriannya akan terus seperti itu karena ini amanat dari konstitusi juga?
Iya. Politik luar negeri unsurnya bermacam-macam itu tadi, dan kita tidak bisa lepas dari koridor-koridor itu. Tapi kembali lagi, Pak Menteri dan kita semua di Kemendag berpendirian bahwa tugas kita untuk merundingkan ini selesai.

Memang sempat ada pemikiran di luar Kementerian Perdagangan untuk memperlambat perundingan ketika Australia mengumumkan kebijakan itu. Padahal waktu itu Pak Menteri dan kita semua sudah berhasil mencari jalan keluar untuk beberapa key action issues yang selama ini mengganjal.

Respon saya kepada Pak Menteri, "Pak, tugas kita menyelesaikan. Signing is another issue. Jangan sampai orang melihat ini nggak selesai-selesai karena Kemendag tidak mengerjakan tugasnya. Padahal kita sudah susah payah merundingkan ini."
Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga AustraliaFoto: Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo (dok. Kemendag)

Berapa tahun perundingan dengan Australia ini?
Kalau tidak salah tujuh tahun. Saya ingat putaran pertama kalau tidak salah tahun 2012, saya ke Melbourne. Lalu sempat ada bermacam-macam isu, entah itu larangan ekspor sapi, ganti pemerintahan dan lain-lain baik di kita maupun mereka. Jadi memang beberapa kali situasinya tidak memungkinkan untuk kita duduk.

Bagi saya, poinnya kurang lebih sama dengan Indonesia-EFTA CEPA. Kalau bicara pasarnya, [Australia] ini nggak besar dibandingkan China, Uni Eropa, atau Amerika Serikat. Saya melihat thesis-nya lebih di jasa dan investasi. Pasti ada beberapa produk unggulan yang memang bisa kita dorong ke sana, tetapi itu seharusnya bukan menjadi satu-satunya andalan.

Jadi kalau melihat Indonesia-Australia CEPA hanya dari goods (perdagangan barang), itu pincang melihatnya. Kita harus lihat dari potensi sektor jasa, termasuk pergerakan tenaga kerja profesional kita ke sana, kemudian potensi investasi sektor pendidikan mereka di sini. Itu kan yang ditekankan Pak

Presiden, pengembangan SDM ke depan harus benar-benar disesuaikan. Jika tidak, kita akan menjadi mediocre developing country dengan potensi yang demikian banyak tapi tidak muncul-muncul ke permukaan. Kemudian juga investasi, mereka punya potensi besar dan akan menciptakan lapangan kerja dll.

Sebaliknya, kita di dalam negeri juga harus menciptakan iklim yang kondusif untuk itu. Percuma kita menyelesaikan bermacam-macam perundingan, tapi tetap saja nggak menarik ke Indonesia karena ga ada kepastian hukum atau kebijakan.

Sementara kita lihat tetangga kita di ASEAN sudah bergerak ke depan. Jadi kita harus melihatnya secara holistik, jangan melihat perjanjian perdagangan hanya dari barang terus.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular