
Target Perjanjian Dagang di 2019, Dari Eropa hingga Australia
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
11 February 2019 16:57

Kementerian Perdagangan memandang negosiasi IA-CEPA sudah selesai dan menjadi capaian di tahun 2018. Tinggal secara formalitas saja belum ditandatangani?
Terkait Australia, apapun yang kita lakukan dengan luar negeri itu kan dalam konteks politik luar negeri kita. Jadi kita tidak bisa lepas dari kebijakan politik luar negeri kita seperti apa. Buat saya dan Pak Menteri (Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita), tugas atau mandat untuk merundingkan CEPA dengan Australia selesai. Nah sekarang dibawa ke konteks politik luar negeri, kita tinggal tunggu sinyal saja dari Kementerian Luar Negeri bagaimana hasilnya.
Banyak pelaku bisnis concern dengan hal ini. Kalau belum ditandangani kan belum konkret, apalagi masih ada proses ratifikasi yang juga memakan waktu. Padahal dari sisi kepentingan ekonomi, ini kan manfaatnya sangat besar bagi kedua negara. Apakah ke depannya perundingan dagang dengan negara lain lagi-lagi akan tetap tergantung kepada politik luar negeri?
Lebih tepatnya bukan tergantung, tapi perundingan perdagangan internasional tetap berada di dalam koridor politik luar negeri Indonesia. Contohnya, kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Berarti kita nggak akan negosiasi dengan Israel. Kira-kira begitu lah kurang lebih melihatnya.
Berarti pendiriannya akan terus seperti itu karena ini amanat dari konstitusi juga?
Iya. Politik luar negeri unsurnya bermacam-macam itu tadi, dan kita tidak bisa lepas dari koridor-koridor itu. Tapi kembali lagi, Pak Menteri dan kita semua di Kemendag berpendirian bahwa tugas kita untuk merundingkan ini selesai.
Memang sempat ada pemikiran di luar Kementerian Perdagangan untuk memperlambat perundingan ketika Australia mengumumkan kebijakan itu. Padahal waktu itu Pak Menteri dan kita semua sudah berhasil mencari jalan keluar untuk beberapa key action issues yang selama ini mengganjal.
Respon saya kepada Pak Menteri, "Pak, tugas kita menyelesaikan. Signing is another issue. Jangan sampai orang melihat ini nggak selesai-selesai karena Kemendag tidak mengerjakan tugasnya. Padahal kita sudah susah payah merundingkan ini."
Berapa tahun perundingan dengan Australia ini?
Kalau tidak salah tujuh tahun. Saya ingat putaran pertama kalau tidak salah tahun 2012, saya ke Melbourne. Lalu sempat ada bermacam-macam isu, entah itu larangan ekspor sapi, ganti pemerintahan dan lain-lain baik di kita maupun mereka. Jadi memang beberapa kali situasinya tidak memungkinkan untuk kita duduk.
Bagi saya, poinnya kurang lebih sama dengan Indonesia-EFTA CEPA. Kalau bicara pasarnya, [Australia] ini nggak besar dibandingkan China, Uni Eropa, atau Amerika Serikat. Saya melihat thesis-nya lebih di jasa dan investasi. Pasti ada beberapa produk unggulan yang memang bisa kita dorong ke sana, tetapi itu seharusnya bukan menjadi satu-satunya andalan.
Jadi kalau melihat Indonesia-Australia CEPA hanya dari goods (perdagangan barang), itu pincang melihatnya. Kita harus lihat dari potensi sektor jasa, termasuk pergerakan tenaga kerja profesional kita ke sana, kemudian potensi investasi sektor pendidikan mereka di sini. Itu kan yang ditekankan Pak
Presiden, pengembangan SDM ke depan harus benar-benar disesuaikan. Jika tidak, kita akan menjadi mediocre developing country dengan potensi yang demikian banyak tapi tidak muncul-muncul ke permukaan. Kemudian juga investasi, mereka punya potensi besar dan akan menciptakan lapangan kerja dll.
Sebaliknya, kita di dalam negeri juga harus menciptakan iklim yang kondusif untuk itu. Percuma kita menyelesaikan bermacam-macam perundingan, tapi tetap saja nggak menarik ke Indonesia karena ga ada kepastian hukum atau kebijakan.
Sementara kita lihat tetangga kita di ASEAN sudah bergerak ke depan. Jadi kita harus melihatnya secara holistik, jangan melihat perjanjian perdagangan hanya dari barang terus.
(miq/miq)
Terkait Australia, apapun yang kita lakukan dengan luar negeri itu kan dalam konteks politik luar negeri kita. Jadi kita tidak bisa lepas dari kebijakan politik luar negeri kita seperti apa. Buat saya dan Pak Menteri (Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita), tugas atau mandat untuk merundingkan CEPA dengan Australia selesai. Nah sekarang dibawa ke konteks politik luar negeri, kita tinggal tunggu sinyal saja dari Kementerian Luar Negeri bagaimana hasilnya.
Banyak pelaku bisnis concern dengan hal ini. Kalau belum ditandangani kan belum konkret, apalagi masih ada proses ratifikasi yang juga memakan waktu. Padahal dari sisi kepentingan ekonomi, ini kan manfaatnya sangat besar bagi kedua negara. Apakah ke depannya perundingan dagang dengan negara lain lagi-lagi akan tetap tergantung kepada politik luar negeri?
Lebih tepatnya bukan tergantung, tapi perundingan perdagangan internasional tetap berada di dalam koridor politik luar negeri Indonesia. Contohnya, kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Berarti kita nggak akan negosiasi dengan Israel. Kira-kira begitu lah kurang lebih melihatnya.
Berarti pendiriannya akan terus seperti itu karena ini amanat dari konstitusi juga?
Iya. Politik luar negeri unsurnya bermacam-macam itu tadi, dan kita tidak bisa lepas dari koridor-koridor itu. Tapi kembali lagi, Pak Menteri dan kita semua di Kemendag berpendirian bahwa tugas kita untuk merundingkan ini selesai.
Memang sempat ada pemikiran di luar Kementerian Perdagangan untuk memperlambat perundingan ketika Australia mengumumkan kebijakan itu. Padahal waktu itu Pak Menteri dan kita semua sudah berhasil mencari jalan keluar untuk beberapa key action issues yang selama ini mengganjal.
![]() |
Berapa tahun perundingan dengan Australia ini?
Kalau tidak salah tujuh tahun. Saya ingat putaran pertama kalau tidak salah tahun 2012, saya ke Melbourne. Lalu sempat ada bermacam-macam isu, entah itu larangan ekspor sapi, ganti pemerintahan dan lain-lain baik di kita maupun mereka. Jadi memang beberapa kali situasinya tidak memungkinkan untuk kita duduk.
Bagi saya, poinnya kurang lebih sama dengan Indonesia-EFTA CEPA. Kalau bicara pasarnya, [Australia] ini nggak besar dibandingkan China, Uni Eropa, atau Amerika Serikat. Saya melihat thesis-nya lebih di jasa dan investasi. Pasti ada beberapa produk unggulan yang memang bisa kita dorong ke sana, tetapi itu seharusnya bukan menjadi satu-satunya andalan.
Jadi kalau melihat Indonesia-Australia CEPA hanya dari goods (perdagangan barang), itu pincang melihatnya. Kita harus lihat dari potensi sektor jasa, termasuk pergerakan tenaga kerja profesional kita ke sana, kemudian potensi investasi sektor pendidikan mereka di sini. Itu kan yang ditekankan Pak
Presiden, pengembangan SDM ke depan harus benar-benar disesuaikan. Jika tidak, kita akan menjadi mediocre developing country dengan potensi yang demikian banyak tapi tidak muncul-muncul ke permukaan. Kemudian juga investasi, mereka punya potensi besar dan akan menciptakan lapangan kerja dll.
Sebaliknya, kita di dalam negeri juga harus menciptakan iklim yang kondusif untuk itu. Percuma kita menyelesaikan bermacam-macam perundingan, tapi tetap saja nggak menarik ke Indonesia karena ga ada kepastian hukum atau kebijakan.
Sementara kita lihat tetangga kita di ASEAN sudah bergerak ke depan. Jadi kita harus melihatnya secara holistik, jangan melihat perjanjian perdagangan hanya dari barang terus.
(miq/miq)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular