Bukan Kini Saja, Eropa Ternyata Sudah Lama Usil Soal Sawit RI

redaksi, CNBC Indonesia
27 June 2023 17:00
Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Uni Eropa (UE) sejak Mei 2023 lalu memberlakukan Undang-undang (UU) antideforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR). Yang bakal mengharuskan uji tuntas atas setiap produk minyak sawit, kopi, kakao, kayu, karet, dan sapi, serta turunannya, yang akan diperdagangkan ke kawasan tersebut.

Aturan baru ini menambah daftar regulasi yang dibuat oleh Eropa dan menjegal sawit. Mulai dari konsep Indirect Land Use Change (ILUC) dalam RED II, sampai rencana aturan mencegah greenwashing atau klaim pemenuhan industri hijau, juga soal tenaga kerja paksa.

Kini, Uni Eropa memberlakukan kebijakan terkait deforestasi.

Ini menunjukkan Eropa bukan kali ini saja memberlakukan kebijakan yang berpotensi menjegal perdagangan sawit.

Padahal, sawit adalah salah satu komoditas unggulan Indonesia. Di mana tahun 2022 lalu, berhasil menyumbang sampai US$38,078 miliar bagi devisa RI. Yang dihasilkan dari ekspor sebanyak 33,92 juta ton.

Indonesia juga merupakan produsen sawit terbesar dunia. Disusul Malaysia di posisi kedua.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, gempuran isu deforestasi yang dilontarkan Eropa merupakan salah satu praktik persaingan bisnis. Yang bertujuan menyulitkan minyak sawit, termasuk yang diproduksi Indonesia.

"Isu deforestasi yang digulirkan Uni Eropa ini adalah yang kesekian untuk sawit. Sebelumnya ILUC, indirect land use change (mengkategorikan risiko pemanfaatan lahan suatu komoditas)," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (27/6/2023)..

"Ini harus kita baca, kita harus letakkan bagian daripada kompetisi bisnis. Hanya ada 2 strategi bisnis, pertama adalah strategi perang harga, price war atau price competition. Kedua adalah nonprice competition," ujarnya.

Sebab, kata dia, jika bicara deforestasi, seluruh dunia juga melakukan hal serupa, hanya saja waktunya berbeda.

Karena itu lah dia mengatakan, langkah Eropa tersebut sebagai bagian dari persaingan. Di mana, Uni Eropa memilih strategi kompetisi non-harga, dengan memainkan isu deforestasi.

"Maka dipilih lah nonprice dan itu logis ya. Antara lain melakukan kampanye negatif, menjelek-jelekkan pesaing. Ini yang dilakukan Eropa sejak tahun 80-an sampai sekarang untuk menghantam sawit," ujar Tungkot.

"Sementara Indonesia menjadi raja minyak sawit dunia sejak tahun 2006. Pangsa produksi minyak sawit Indonesia meningkat signifikan dari 31 persen tahun 1980 meningkat menjadi 59 persen tahun 2021," jelasnya.

Padahal, Tungkot menerangkan, minyak sawit memiliki sederet manfaat.

"Minyak sawit merupakan minyak nabati utama yang dikonsumsi dunia. Ini menunjukkan minyak sawit menjaga ketahanan pangan global," katanya.

"Minyak sawit juga bahan baku utama industri biodiesel. Di mana pangsa minyak sawit meningkat dari 22 persen pada tahun 2015 menjadi 36 persen di tahun 2021," tambahnya.

Tungkot memaparkan, pemanfaatan minyak sawit terbagi ke dalam 3 jalur, yaitu pangan, oleochemical, sampai bioenergi.

Untuk pangan, jalur hilirisasi sawit di Indonesia menghasilkan minyak goreng, margarin. Juga untuk produksi es krim, mi, dan cokelat. Serta, mikronutrien diantaranya produksi vitamin A (enkapsulat) dan E (enkapsulat).

Sementara jalur olechemical, minyak sawit bisa dimanfaatkan untuk produksi sabun, deterjen, kosmetik, juga zat pewarna.

"Di jalur bioenergi maupun biofuel, minyak sawit bisa dimanfaatkan jadi biodiesel, bioetanol, bahkan avtur sawit. Dan, produk hilir sawit (produk olahan antara dan produk jadi) kini semakin mendominasi ekspor produk sawit Indonesia," katanya

"Pangsa ekspor produk hilir sawit terus meningkat dari 48 persen tahun 2011 menjadi 93 persen pada tahun 2021," ujar Tungkot.

Dengan sederet manfaat itu, imbuh dia, minyak sawit juga memiliki daya saing lebih tinggi.

"Jika mengandalkan persaingan harga, sudah pasti minyak nabati Eropa seperti minyak dari rapeseed, kedelai, maupun bunga matahari kalah dibandingkan minyak sawit," katanya.

"Salah satu penyebab minyak sawit lebih murah adalah karena produktivitasnya tinggi. Karena itu Eropa nggak mungkin menang bersaing secara harga," pungkas Tungkot.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sawit Sampai Kopi RI Kena Jegal Uni Eropa, Ini Kata Wamendag

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular