Sederet Bukti Ternyata Sawit RI Tak Seburuk Tuduhan Eropa

- Deforestasi kini kembali mencuat di Tanah Air pasca komisi Uni Eropa (UE) menyetujui UU produk bebas deforestasi.
- UU Uni Eropa akan mengancam sawit Indonesia.
- Pohon Sawit ikut menyerap karbon global
Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 lalu menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi. Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi raja minyak sawit dunia sejak tahun 2006. Pangsa produksi minyak sawit Indonesia meningkat signifikan dari 31% pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 59% pada 2021.
Minyak sawit menjadi minyak nabati utama yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Hal ini juga menunjukkan bahwa minyak sawit menjaga ketahanan pangan global.
Dengan kebijakan baru ini, setiap perusahaan yang memasok minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu dan karet, serta produk turunannya seperti cokelat, daging sapi, hingga furniture.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan pemasok minyak sawit terbesar di dunia dan merupakan salah satu produsen kakao, kayu, dan karet dunia.
Pendapatan negara dari adanya industri kelapa sawit antara lain adalah devisa hasil ekspor - yang diperoleh dari ekspor produk turunan kelapa sawit misalnya, Ppn alias Pajak pertambahan nilai diperoleh dari barang turunan atau kelapa sawit yang telah diolah yang dibayar oleh konsumen akhir.
Selain itu ada pula Pph 21 yakni Pajak penghasilan sesuai dengan pasal 21 diperoleh melalui pajak yang dibebankan pada penghasilan perusahaan, perorangan, atau badan hukum lainya yang terkait dengan industri kelapa sawit. Dan Pph 23 yakni pajak yang dibebankan atas penghasilan dari modal (dividen).
Namun, kini komoditas ini kembali terancam. Undang-undang produk bebas deforestasi itu bakal melarang penjualan sawit dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi.
Padahal, tahun 2022 devisa Sawit mencapai US$ 38,078, tertinggi sepanjang sejarah. Jan-Mar 2023 harga cif Rott masih sekitar US$ 1000 s/d Mar nilai ekspor sawit mencapai US$ 7,55.
Sementara jika dilihat dari sisi produksi, dalam 4 tahun terakhir stagnan, dan volume ekspor dalam 4 tahun terakhir mengalami penurunan.
Namun, secara fundamental minyak nabati dunia berada pada excess demand hingga tahun 2050 sehingga berpotensi meningkatkan harga. Minyak sawit menjadi solusi dalam pemenuhan excess demand global karena tingginya produktivitas sehingga mampu memasok dengan volume besar dan stabil sepanjang tahun dengan harga yang lebih kompetitif
Sawit Sering Dikaitkan Dengan Isu Deforestasi
Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bahwa deforestasi merupakan istilah terkenal jika membahas tentang hutan.
Secara sederhana deforestasi juga didefinisikan sebagai perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, dari suatu wilayah yang sebelumnya memilki bertajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi).
![]() Perkebunan kelapa sawit (Anadolu Agency via Getty Images) |
Definisi tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menyatakan secara tegas bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Mengutip dalam catatan yang ditulis GAPKI pada website-nya, tuduhan deforestasi yang digaungkan Eropa kepada sawit Indonesia tidak tepat. Terlebih pemahaman definisi hutan yang Eropa pahami berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut GAPKI didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang di dominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan.
Sedangkan FAO yang diadopsi Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5 ha dengan ketinggian minimal 5 meter dan membentuk kanopi lebih dari 10%.
Oleh sebab itu, jika merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan lahan 10% masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahan yang tidak tertutup. Meski sudah berstatus APL, jika memenuhi kriteria definisi hutan FAO, ketika namanya diganti sawit Indonesia tetap dianggap deforestasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan GAPKI ditemukan bahwa perubahan tutupan antara Indonesia dengan Malaysia ini tidak jauh berbeda.
Malaysia karena telah memiliki kebun karet yang luas kemudian mengkonversikannya ke sawit, yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang juga melakukan konservasi lahan yang sama.
Selanjutnya, pada studi lain yang dilakukan Eric Meijjard dalam sebuah jurnal yang berjudul Oil Palm and Biodiversity juga menemukan fakta serupa. Hilangnya hutan hujan tropis bukan sepenuhnya akibat pengembangan industri kelapa sawit.
Jurnal tersebut memperlihatkan antara tahun 1972-2015 hanya setengah dari perkebunan kelapa sawit dibuka di hutan, sedangkan setengahnya lagi menggantikan lahan pertanian, padang rumput,semak belukar, dan penggunaan lahan lainnya.
Uni Eropa tidak melihat bahwa Indonesia telah melakukan moratorium perluasan lahan sawit yang mendorong efisiensi lahan sawit yang ada untuk meningkatkan produktifitas.
Moratoriun ini telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan terus diperpanjang hingga terakhir tertuang pada Inpres No 8 tahun 2018 Tentang penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang diteken Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018.
Jika dilihat dari sisi emisi, berdasarkan penelitian Beyer et al. (2020); Beyer dan Rademacher (2021) minyak sawit paling hemat emisi karena produksinya menghasilkan emisi yang paling rendah dibandingkan produksi minyak nabati lainnya, selain itu Biodiversity loss akibat produksi minyak sawit relatif lebih rendah dibandingkan produksi minyak nabati lainnya.
Potensi penurunan emisi GRK akan semakin besar, jika perkebunan kelapa sawit melakukan adopsi Good Agricultural Practices (GAP) pada kebun sawit, adopsi teknologi Methane Capture pada kolam limbah cair di CPO-Mill, pemanfaatan energi berbasis biomassa sawit, penggunaan pupuk organik dari pengolahan biomassa dan limbah sawit (POME) dan peningkatan produktivitas kebun melalui peremajaan dan perbaikan kultur teknis
Meski demikian, Eropa tetap berusaha 'mati-matian' menjegal sawit Indonesia. Sikap Uni Eropa yang melakukan kampanye hitam (black campaign) sawit Indonesia itu akan sangat merugikan.
Beberapa hasil studi menunjukkan serapan karbon kelapa sawit pada umur 8-10 tahun berkisar 5-9,7 tc/ha/tahun.
Jika diasumsikan dari luasan kebun 10.000 hektare maka jumlah sequestrasi kelapa sawit= 9,7 tc/ha/tahun x 3,664X 10.000 hektare= 355,408 tCO2eq/tahun.
3,664 merupakan senyawa molekul.
![]() Serapan karbon oleh pohon sawit |
Sawit menjadi salah satu industri andalan Indonesia, yang dampak ekonominya cukup besar bagi negara. Apalagi industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja.
Sebagai catatan, Uni Eropa melakukan berbagai macam cara untuk menekan produk kelapa sawit Indonesia. Cara terakhir yang mereka lakukan adalah dengan memberlakukan Undang Undang Deforestasi per 16 Mei 2023.
Selain itu, Uni Eropa juga menyerang produk kelapa sawit khususnya minyak sawit dengan kampanye negatif. Misalnya dengan isu lingkungan seperti mengancam keanekaragaman hayati (biodiversity) dan isu kesehatan karena mengandung kolesterol.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)