AS Mulai Serang UU Deforestasi, Dendam Eropa ke RI Bisa Makin Panjang

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
28 April 2024 09:45
Perkebunan kelapa sawit (The Washington Post via Getty Images)
Foto: Perkebunan kelapa sawit (The Washington Post via Getty Images)

Jakarta,CNBC Indonesia - EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang merugikan Indonesia kini mulai disorot Amerika Serikat (AS) dan sejumlah pihak di Eropa. Kebijakan tersebut bisa mengancam keberlangsungan industri hingga melambungkan harga.

Seperti diketahui, Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi atau EUDR. EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) dinilai menjadi salah satu tantangan yang dapat merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan di Indonesia, salah satunya kelapa sawit (CPO).

Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyubang deforestasi dan degradasi lahan. 

Sebagai rancangan regulasi yang dibentuk Uni Eropa (UE) dengan sasaran untuk mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap sejumlah komoditas perkebunan dan kehutanan. Dengan kebijakan baru ini, setiap perusahaan yang memasok minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu dan karet, serta produk turunannya seperti cokelat, daging sapi, hingga furniture.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan pemasok minyak sawit terbesar di dunia dan merupakan salah satu produsen kakao, kayu, dan karet dunia.

EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) juga dinilai dapat mengecilkan berbagai upaya dan komitmen Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.

Uni Eropa juga 'menyerang' Indonesia dengan produk andalannya yakni biodisel, turunan dari crude palm oil alias CPO.

Melansir kabar dari Reuters, Uni Eropa kini tengah melakukan penyelidikan apakah biodisel Indonesia menghindari bea UE melalui China dan Inggris. Penyelidikan tersebut mengikuti permintaan awal dari Dewan Biodiesel Eropa, sebuah asosiasi produsen Eropa.

Bagaimana tidak menjadi persoalan, Uni Eropa ini merupakan tujuan terbesar ketiga Indonesia untuk produk minyak sawit. Ini pun menjadi pasar penting untuk biodiesel Indonesia, yang dibuat dari minyak sawit.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume ekspor biodiesel Indonesia mencapai 180,75 ribu ton dengan nilai total US$ 191,99 juta.

Indonesia bersama dengan Malaysia, dan Uni Eropa juga telah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) on EUDR guna mengatasi berbagai hal terkait dengan pelaksanaan EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia. Gugus tugas tersebut juga dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik terkait implementasi EUDR.

"Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya diktuip Sabtu (27/4/2024

UU Deforestasi Eropa Mulai Disorot AS dan Pihak Eropa?
Dilansir melalui mypalmoilpolicy.com, kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat juga telah menyoroti kebijakan EUDR yang dianggap tidak adil bagi para petani yang akan memasuki pasar Eropa. Selain itu, penundaan implementasi atau perubahan regulasi EUDR juga dinilai menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk saat ini.

Lebih lanjut, pernyataan keberatan terhadap kebijakan EUDR juga sejalan dengan pandangan Menteri Pertanian UE. Selain itu, sebanyak 20 dari 27 Menteri juga menyerukan untuk dilakukan penundaan EUDR, pada Pertemuan Dewan Agriculture Fisheries Council Configuration (AGRIFISH) yang telah diselenggarakan dalam waktu dekat lalu.

Kebijakan EUDR yang juga telah mendapat sorotan dari New York Times dan Financial Times tersebut juga dinilai akan memberikan dampak berupa potensi masalah pada rantai pasokan yang berkelanjutan, harga, dan pilihan konsumen, hingga dampak bagi petani dan negara pengekspor.

Asosiasi pertanian yang terkemuka di Uni Eropa, Copa Cogeca, juga telah menyampaikan saran penundaan implementasi kebijakan EUDR karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena waktu penyiapan kerangka kerja yang lebih memadai tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu implementasi kebijakan EUDR tersebut.

Gelombang kekhawatiran juga diutarakan oleh berbagai negara-negara seperti India dan Brasil serta sejumlah negara lainnya yang menyampaikan perhatian yang sangat serius mengenai tuntutan dari implementasi kebijakan EUDR tersebu

Mengapa Sawit Indonesia Dihubungkan dengan Isu Deforestasi?

Deforestasi merupakan istilah terkenal jika membahas tentang hutan.

Secara sederhana deforestasi juga didefinisikan sebagai perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, dari suatu wilayah yang sebelumnya memiliki bertajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi).

Definisi tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menyatakan secara tegas bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.

Eratnya kaitan sawit dengan isu deforestasi didukung dengan banyaknya penelitian hubungan antara ekspansi perkebunan sawit dan dampaknya terhadap deforestasi.

Penelitian terkait deforestasi dari perkebunan skala besar di Indonesia telah banyak dilakukan (Uryu et al. 2008; Koh & Wilcove 2008; Koh et al. 2011; Carlson et al. 2012; Miettinen et al. 2012; Obidzinski et al. 2012; Gunarso et al. 2013; Lee et al. 2014; Tarigan et al. 2015). Wicke et al. (2011) melaporkan bahwa dari 9,7 juta deforestasi yang terjadi selama kurun waktu 1997-2003, sebesar 27 % (2.6 juta ha) telah diubah menjadi kelapa sawit.

Serapan karbon oleh pohon sawitFoto: Gapki
Serapan karbon oleh pohon sawit

 

Tetapi besaran persentase ini diduga cenderung lebih rendah karena terdapat tutupan lahan lainnya yang telah dikonversi menjadi kelapa sawit, seperti lahan terdegradasi dan perkebunan.

Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan, khususnya pada lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan (kerusakan lahan) dimana lahan mengalami penurunan produktivitas.

Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer.
Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan menyebabkanclimate change.

Tuduhan Eropa Atas Deforestasi Indonesia Tidak Berdasar?

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menuduh perkebunan kelapa sawit penyebab deforestasi itu hanya ilusi.
Mengutip dalam catatan yang ditulis GAPKI pada website-nya, tuduhan deforestasi yang digaungkan Eropa kepada sawit Indonesia tidak tepat. Terlebih pemahaman definisi hutan yang Eropa pahami berbeda dengan yang ada di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, menurut GAPKI didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang di dominasi pepohonan dan juga kawasan yang secara administrasi ditetapkan sebagai hutan.
Sedangkan FAO yang diadopsi Eropa menyatakan hutan sebagai lahan dengan luas minimal 0,5 ha dengan ketinggian minimal 5 meter dan membentuk kanopi lebih dari 10%.

Oleh sebab itu, jika merujuk definisi hutan Eropa di mana tutupan lahan 10% masuk definisi hutan, di Indonesia tidak ada lahanyang tidak tertutup. Meski sudah berstatus APL, jika memenuhi kriteria definisi hutan FAO, ketika namanya diganti sawit Indonesia tetap dianggap deforestasi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan GAPKI ditemukan bahwa perubahan tutupan antara Indonesia dengan Malaysia ini tidak jauh berbeda.
Malaysia karena telah memiliki kebun karet yang luas kemudian mengkonversikannya ke sawit, yang tidak jauhberbeda dengan Indonesia yang juga melakukan konservasi lahan yang sama.

Selanjutnya, pada studi lain yang dilakukan Eric Meijjard dalam sebuah jurnal yang berjudul Oil Palm and Biodiversity juga menemukan fakta serupa. Hilangnya hutan hujan tropis bukan sepenuhnya akibat pengembangan industri kelapa sawit.

Jurnal tersebut memperlihatkan antara tahun 1972-2015 hanya setengah dari perkebunan kelapa sawit dibuka di hutan, sedangkan setengahnya lagi menggantikan lahan pertanian, padang rumput,semak belukar, dan penggunaan lahan lainnya.

Uni Eropa tidak melihat bahwa Indonesia telah melakukan moratoris perluasan lahan sawit yang mendorong efisiensi lahan sawit yang ada untuk meningkatkan produktifitas.

Moratoriun ini telah dilaksanakan sejak tahun 2011 dan terus diperpanjang hingga terakhir tertuang pada Inpres No 8 tahun 2018 Tentang penundaan dan EvaluasiPerizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang diteken Jokowi pada 19 September 2018.

Meski demikian, perkebunan sawit tetap saja memunculkan dampak negatif. Untuk mengurangi dampak negatif industri kelapa sawit terhadap lingkungan, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai mitigasi atau mengurangi emisi karbon.
Diantaranya adalah melakukan evaluasi kesesuaian lahan, yaitu dengan mengidentifikasi karakteristik lahan gambut sebelum melakukan deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan.

Selain itu, juga dapat mengaplikasikan teknik zero burning yaitu teknik pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran pada lahan.
Tentunya, untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan juga diperlukan dukungan kebijakan pemerintah. Salah satunya yaitu telah
dikeluarkannya Permentan No.11 Tahun 2015 tentang penerapan ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Penerapan ISPO dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa sawit melalui penerapan 7 prinsip dan kriteria. Pengelolaan lahan gambut dalam ISPO didukung dengan peraturan Permentan No.14 Tahun 2009 dan Inpres No. 10 Tahun2011.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation