CNBC Indonesia Research

Karet Tumbang, RI Tak Boleh Kehilangan Tahta Raja Sawit Dunia

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
27 June 2023 10:20
Dilarang Jokowi, Ini Negara Tujuan Ekspor Migor Terbesar RI
Foto: Infografis/Dilarang Jokowi, Ini Negara Tujuan Ekspor Migor Terbesar RI/Aristya Rahadian
  • Di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian saat ini, produk pertanian unggulan Indonesia yakni sawit semakin menjadi sorotan.
  • Sawit terus didera kampanye negatif dari Eropa
  • Diperlukan strategi komprehensif dari stakeholder agar mewujudkan sawit yang berkelanjutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Minyak kelapa sawit merupakan produk andalan ekspor Indonesia. Namun, pengembangan sawit di Indonesia terus mendapayt banyak halangan mulai dari 'serangan' Eropa serta banyaknya masalah internal dalam negeri yang harus dibenahi.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dianugerahi kekayaan alam, selain hasil tambang Indonesia juga merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia. Ini didukung dengan kondisi beberapa wilayah di Tanah Air yang begitu subur untuk membudidayakan kelapa sawit.

Sejauh ini, Indonesia masih merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia hal ini . Hal ini sejalan dengan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang mencatatkan Indonesia menempati urutan permana dengan jumlah produksi mencapai 45,5 juta metrik ton pada 2022.

 

Posisinya berada di atas Malaysia dan Thailand yang memproduksi masing-masing sebesar 18,8 juta metrik ton dan 3,26 juta metrik ton pada 2022.

Berdasarkan data Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatatkan total produksi minyak sawit mentah atau disebut Crude Palm Oil di Tanah Air tahun 2022 sebesar 46,73 angka ini turun 0,34% secara (year on year-yoy).

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa produksi CPO di Indonesia mengalami koreksi 3 tahun terakhir.Penurunan produksi berkisar antara 0,3% sampai 0,34% dan memang yang paling tinggi dalam terjadi tahun 2022.

Kendati demikian, kalau kita bicara penurunan sejak tahun 2014, penurunan 3 tahun terakhir ini terbilang masing sangat kecil jika dibandingkan pada 2016 yang mencatatkan koreksi lebih dari 3%.

Penurunan produksi CPO disebabkan adanya delapan faktor, antara lain cuaca ekstrem basah, lonjakan kasus Covid-19, perang Ukraina-Rusia, harga minyak nabati, minyak bumi dan pupuk tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit, serta rendahnya pencapaian program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Dari sisi konsumsi, berdasarkan laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total konsumsi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia sebesar 20,97 juta ton pada 2022. Jumlahnya naik 13,82% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 18,42 juta ton.

Melihat trennya, konsumsi CPO di Indonesia mengalami peningkatan sejak 2018 hingga 2022. Adapun, peningkatan konsumsi komoditas tersebut paling tinggi terjadi pada 2019. Dilihat dari jenisnya, konsumsi CPO di dalam negeri paling banyak untuk industri pangan. Volume konsumsinya untuk sektor tersebut sebanyak 9,94 juta ton.

Konsumsi CPO dalam bentuk bio diesel tercatat sebesar 8,84 juta ton. Sedangkan, konsumsi CPO untuk industri oleokimia sebesar 2,19 juta ton.

Dari serangkaian data di atas, banyak hal yang perlu dilakukan oleh para stakeholder agar komoditas ini terus menjadi komoditas pertanian andalan dalam negeri.

Dalam acara Special Dialogue CNBC Indonesia pada Senin (26/6/2023) Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyoroti kebijakan pemerintah di sektor kelapa sawit. Dia berharap, sinkronisasi kebijakan harus dilakukan di tengah ketidakpastian pasar.

Beberapa hal yang disorot adalah konsumsi minyak sawit masih terus meningkat, hanya saja ekspor menurun. Hal itu, tak hanya karena kondisi ekonomi global, tapi juga efek dari dalam negeri.

Rendahnya produksi sawit juga harus menjadi perhatian, agar jangan mengulang sejarah karet.

 

Jangan Sampai Sejarah Karet Terulang

Karet menjadi salah satu perkebunan penting baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, dan pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati.

Selain itu, tanaman karet ke depan akan merupakan sumber kayu potensial yang dapat mensubstitusi kebutuhan kayu yang selama ini mengandalkan hutan alam.

Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas karet, tingginya proporsi areal tanaman karet tua, dan belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet.
Persoalan lainnya adalah keterbatasan modal untuk membeli bibit unggul dan sarana produksi lain seperti pupuk, herbisida serta ketersediaan sarana produksi pertanian di tingkat petani yang masih terbatas.

Maka bisa disimpulkan bahwa perkebunan Rakyat (PR) komoditi karet ini menyumbang devisa cukup besar kepada Negara selain migas.
Namun, eksistensi petani karet yang tergabung dalam kelompok tani dan koperasi belum cukup memadai baik infrastrukur, manajemen, maupun sarana pendukung lainnya.

Persoalan yang lebih mendasar ada tiga pokok penting yaitu Budidaya, Pengolahan, dan pemasaran, ketiga aspek ini petani karet perlu mendapatkan bantuan.

Maka dari itu perlu adanya kebijakan dari pemerintah pusat dengan dukungan pemerintah daerah membuat kebijakan yang mampu meningkatkan kualitas produktifitas pertanian sehingga mampu bersaing dengan pengelola lainnya, adapun kebijakan tersebut adalah pemberian insentif non finansial dengan terlebih dahulu.

Agar tak mengulang sejarah lama, Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang telah dibentuk sejak 2015 tercatat telah mengumpulkan total dana pungutan sawit hingga Rp 186,6 triliun hingga saat ini.

Dana dari pungutan ekspor kelapa sawit dan turunan tersebut digunakan untuk program pengembangan berkelanjutan.

Dana yang dikumpulkan kemudian digunakan untuk program peremajaan sawit untuk perkebunan yang dianggap sudah tidak produktif. Pasalnya usia tanaman lebih 25 tahun produktivitasnya akan menurun, sehingga perlu peremajaan.

Sampai saat ini sudah menyalurkan dana untuk program Rp 7,78 triliun. Untuk mendanai pelaksana peremajaan sawit seluas 22.849 hektar, melibatkan 124 pekebun yang tersebar di 21 provinsi.

Selain itu, BPDPKS juga mendanai pengawasan penyediaan saranan dan prasarana mulai dari bibit, pupuk, pestisida hingga alat pertanian. Hingga Mei 2023, dukungan sarana telah diberikan untuk 26 lembaga pekebun senilai Rp 72,3 miliar.

Program penelitian dan pengembangan juga dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Hingga kini sudah disalurkan Rp 519,67 miliar untuk penelitian oleh 78 lembaga.

Program penelitian dan pengembangan (Litbang/riset) perkebunan kelapa sawit dari aspek hulu hingga hilir yang dikembangkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) merupakan salah satu upaya BPDPKS untuk melakukan penguatan, pengembangan dan peningkatan pemberdayaan perkebunan dan industri kelapa sawit nasional.

Pengembangan SDM juga dilakukan kepada 11.088 orang pekebun, dan beasiswa diberikan kepada 3.265 mahasiswa. Hal ini tentunya ditujukan untuk pengembangan SDM, BPDPKS telah menyalurkan Rp 356,52 miliar.

Kucuran Dana Masih Kurang! Butuh Sebuah Lembaga Untuk Berjalan Ke Irama

Nyatanya industri kelapa sawit di dalam negeri masih berjalan sendiri-sendiri dan belum harmonis. Akibatnya belum ada integrasi dari hulu ke hilir dan cenderung merugikan industri kelapa sawit sendiri.

Maka dari itu, di tengah kondisi saat ini sudah saatnya memperhatikan dan memperbaiki kondisi agar pengelolaan industri kelapa sawit terintegrasi dan bisa mewujudkan industri hilir agar Indonesia memiliki harapan tidak hanya menjadi produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar, melainkan juga eksportir terbesar.

Di sinilah peran pungutan ekspor untuk mendorong hilirisasi. Dengan begitu industri sawit tanah air bisa lebih tahan banting terutama ketika menerima kampanye hitam dari Uni Eropa.

Maka dari itu, sebelum jauh ke sana hal yang penting diperlukan adalah pembentukan badan khusus sebagai regulator untuk meminimalisir adanya conflict of interest dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

Ini penting dilakukan agar pekerjaan rumah persoalan sawit ini bisa terintegrasi agar seluruh komponen industri nasional supaya satu irama.

Kehadiran lembaga khusus ini nantinya diharapkan bisa membuat pelaku usaha mendapatkan kepastian dan tidak bergantung pada kondisi global.

Lantas lembaga mana saja yang harus terintegrasi? Tentu saja di dalamnya tidak lepas dari BPDPKS, Direktorat Jenderal Perkebunan, Perusahaan besar dan swasta, GAPKI, serta lembaga lain agar bisa melayu ke arah yang lebih baik untuk komoditas unggulan Indonesia ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation