Jakarta, CNBC Indonesia - Perlambatan ekonomi China dikhawatirkan mengancam kinerja ekspor Indonesia. India pun diharapkan mampu menggantikan posisi China, mampukah?
Nomura Holdings INC memangkas pertumbuhan ekonomi China menjadi 2,8% pada 2022, dari sebelumnya yakni 2,9%. Untuk tahun depan, pertumbuhan ekonomi China dipangkas menjadi 4%, dari sebelumnya 4,3%. Sebagai catatan, ekonomi China tumbuh 8,1% pada 2021.
Ekonomi China melambat karena masih terbatasnya aktivitas masyarakat di tengah kebijakan zero Covid-19. Pembatasan pada akhirnya mengikis konsumsi masyarakat serta sisi produksi hingga investasi. Permintaan impor dari China pun melandai.
Sebagai catatan, impor barang China pada Oktober melandai 0,7% (year on year/yoy) dan ambruk 10,4% (month to month/mtm).
Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor Indonesia ke China pada Oktober 2022 masih meningkat 1,5% (mtm) menjadi US$ 6.25 miliar. Sementara itu, nilai ekspor Januari-Oktober 2022 tercatat US$ 51,48 miliar atau naik 26,9%.
Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan masih sulit menggeser China sebagai pasar utama ekspor.
Ekonomi China memang melandai dalam dua tahun terakhir karena pandemi Covid-19. Namun, perlambatan tersebut hanya sementara.
"Dalam dua tahun kedepan pemerintah (China) akan melonggarkan kebijakan covidnya dan perekonomiannya akan kembali pulih," tutur Hasran, kepada CNBC Indonesia.
Hubungan dagang China dan India juga diperkirakan akan makin erat dengan adanya blok perdagangan baru yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Blok perdagangan ini memungkinkan negara anggotanya termasuk Indonesia dan China untuk melakukan perdagangan barang, jasa, dan investasi dengan tariff yang rendah dan prosedur perdagangan yang simple.
"Berbeda dengan India yang memilih tidak bergabung dengan blok ini sedangkan restriksi dalam kebijakan perdagangan India masih relatif tinggi dibanding China terutama untuk impor bahan baku Industri," imbuhnya.
Posisi China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua dan eksportir barang terbesar di dunia juga membuat posisi Negara Tirai Bambu sulit digantikan negara lain.
Produk Domestik Bruto (PDB) China tercatat US$ 17,7 triliun. Hanya kalah dari Amerika Serikat yang tercatat US$ 22,99 triliun. India berada di tempat kelima dengan nilai US$ 3,17 triliun.
Dengan size perekonomian yang besar, dibutuhkan pula barang impor dalam jumlah besar. Nilai impor China pada 2021 menembus US$ 2,7 triliun pada 2021, termasuk dari Indonesia yang mencapai US$ 53,8 miliar.
Barang impor yang didatangkan China dalam jumlah besar adalah komponen integrated circuit (IC), minyak mentah, emas, gas, bijih besi, hingga batu bara.
Impor batu bara China pada tahun lalu mencapai 323,22 juta ton di mana 123 juta ton disumbang dari Indonesia. China juga menjadi pasar utama Indonesia untuk besi baja, nikel dan feronikel, pulp dan kayu, serta minyak sawit mentah.
Hasran menjelaskan perekonomian India tumbuh pesat setelah dihantam pandemi Covid-19. S&P Global dan Morgan Stanley juga memperkirakan India akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia pada 2030, membuntuti dua negara adidaya, yakni Amerika Serikat (AS) dan China.
Ekonomi India sempat tumbuh 13,5% (yoy) pada kuartal I-2022/2023 sebelum melandai ke 6,3% (yoy) pada kuartal II-2022/2023.
"India juga memiliki bonus demografi yang melimpah yang dapat meningkatkan konsumsi dalam negeri. India juga merupakan tujuan ekspor tebesar ke dua bagi Indonesia. Potensi ekspor kita ke India akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan," ujarnya.
Menurut data BPS, India adalah pasar ekspor terbesar keempat pada 2021 setelah China, AS, dan Jepang. Ekspor terbesar Indonesia ke India adalah batu bara, minyak nabati seperti minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, serta produk besi dan baja.
India mengimpor CPO sekitar 8,5 juta ton pada 2021 di mana 45% disuplai dari Indonesia.
"Berdasarkan komoditas-komoditas tersebut, apabila ekpsor ke China melamban, maka pangsa pasar bisa dialihkan ke India, dan begitu juga sebaliknya," tutur Hasran.
Namun, dia mengingatkan ada beberapa komoditas ekspor Indonesia yang hanya unggul di India seperti alkohol, fenol, fenol-alkohol, dan halogenasi daripadanya, karet alam, serta pupuk.
Produk ekspor yang hanya unggul di China dan tidak di India seperti briket, lignit dan gambu, biji aluminium, semen, gas alam, dan produk kertas.
Data BPS menunjukkan China dan India menempat posisi pertama dan kedua untuk ekspor industri kimia dan produk-produk kimia serta pertambangan batu bara dan lignit.
Artinya, ada kesempatan keduanya bisa saling menggantikan.
Kondisi China dan India berbeda dengan AS. Negeri Paman Sam memang menjadi pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Namun, produk yang diekspor ke AS sangat berbeda, yakni alas kaki dan pakaian.
Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto mengatakan masih sulit untuk menjadikan India sebagai tujuan ekspor utama walaupun peluang itu tetap ada di masa depan.
"Mungkin (bisa menggantikan) secara perlahan. Memang saat ini China sedang melambat sedangkan India growthnya cukup kuat," tutur Rully, kepada CNBC Indonesia.
Hasran menambahkan jika ekonomi India tetap tumbuh pesat seperti saat ini maka Negara Bollywood membutuhkan pasokan energi yang cukup. Indonesia bisa menjadi penyuplai komoditas tersebut.
"Jika ekonomi India tumbuh lebih cepat dibandingkan China maka energi yang dibutuhkan untuk menstimulus ekonomi juga akan semakin tinggi. Dalam hal ini, ekspor batu bara akan meningkat ke India," tuturnya.
Di sisi lain, ekspor batu bara ke China akan berkurang seiring dengan kebijakan Beijing yang meningkatkan kapasitas listrik dari energi terbarukan.
Namun, dia mengingatkan ada perbedaan besar dari struktur perekonomian India dan China.
"Saat ini, perekonomian India ditopang kuat oleh sektor jasa terutama teknologi digital. Tumbuhnya perekonomian mengharuskan keterlibatan yang lebih tinggi dalam rantai pasok global terutama pada sektor manufaktur berteknologi tinggi," ujarnya.
Industri tersebut membutuhkan pasokan besi dan baja, biji aluminium, dan juga nikel sebagai penggeraknya. Indonesia bisa berperan dalam pertumbuhan tersebut dengan memasok bahan yang dibutuhkan.
"Selain itu, konsumsi dalam negeri akan meningkat, sehingga membutuhkan bahan baku untuk industri makanan dan minuman. Dalam hal ini, Indonesia dapat meningkatkan ekspor CPOnya sebagai bahan baku utama industri makanan dan minuman di India," tutur Hasran.
Bila ekonomi India banyak menggantungkan ekonominya pada sektor jasa teknologi maka China bertumpu pada manufaktur, terutama produk kimia, baja, dan elektronik.
Bila dari sisi ekspor, India dan China merupakan pasar besar Indonesia. Lain halnya di sektor investasi. Pada kuartal III-2022, China menjadi investor asing terbesar kedua dengan nilai investasi mencapai US$ 1,6 miliar dengan 1.159 proyek. Mereka hanya kalah dari Singapura di tempat pertama.
Investasi China pada Januari-September 2022 tercatat US$ 5,2 miliar, hanya kalah dari Singapura di tempat teratas.
Sebaliknya, investasi di India masih sangat kecil. Nilai investasi India pada Januari-September 2022 menembus US$ 86,4 juta. India hanya berada di peringkat 21 dalam rangking investasi di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA