"Ya memang betul, menyeramkan," kata Chatib Basri, Ekonom Senior saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Kamis (6/10/2022)
Biang keladi persoalan ini memang tidak satu. Berawal dari pandemi covid-19 yang belum sepenuhnya selesai. Ada beberapa negara masih berkutat dengan penyebaran kasus dan ekonomi yang sulit merangkak naik menuju level sebelum pandemi. Belum lagi luka memar selepas pandemi yang belum sembuh.
Negara yang sudah pulih pun menimbulkan masalah. Ekonomi meningkat mendorong tingginya permintaan. Tapi sayangnya produsen tak mampu mencukupi. Belum lagi ada permasalahan logistik seperti ketersediaan kapal dan kontainer. Hal ini menyebabkan inflasi melonjak drastis di beberapa negara.
Tak sampai di situ. Februari 2022, perang meletus antara Rusia dan Ukraina. Situasi menjadi semakin kacau. Lonjakan harga komoditas energi dan pangan mengantarkan banyak negara ke zona krisis. Negara yang tak kuat terpaksa jatuh bangkrut. Sri Lanka, Pakistan hingga Argentina adalah salah tiga di antaranya.
Negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa tentu masih kuat. Mereka mengambil arah baru dalam kebijakan moneter, melalui kenaikan suku bunga acuan untuk meredam inflasi. Dari sini muncul gejolak dahsyat di pasar keuangan.
Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers dalam sebuah diskusi publik beberapa waktu silam mengungkapkan Amerika Serikat (AS) butuh resesi agar inflasi bisa kendalikan.
Salah satu faktornya adalah terdapat tingkat pengangguran alami sebesar 5% atau istilah tingkat pengangguran alami ini dikenal sebagai the natural rate of unemployment (Nairu).
Nairu adalah tingkat pengangguran terendah yang dapat dipertahankan tanpa menyebabkan pertumbuhan upah dan inflasi meningkat. Dengan kata lain, jika pengangguran berada pada tingkat alami, maka inflasi adalah konstan. Nairu sering mewakili kesimbangan antara keadaan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
"Sekarang bayangkan kalau suatu perekonomian permintaannya tinggi, sehingga perusahaan butuh tenaga kerja baru... Kalau terjadi di seluruh perekonomian, pasti upah naik, kalau upah naik inflasi terjadi," jelas Chatib.
"Pilihannya itu dua tahun tingkat pengangguran 7,5% atau 5 tahun dengan tingkat pengangguran 6%, atau 1 tahun tingkat pengangguran 10%. Baru inflasi bisa dikendalikan," kata Chatib lagi.
Oleh karena itu, untuk menekan permintaan yang melonjak yang akan mengerek inflasi, maka Bank Sentral AS harus menaikan suku bunga kebijakan. Inflasi Amerika Serikat (AS) per September 2022 sebesar 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy), dengan inflasi inti sebesar 6,3%.
Melihat data inflasi di AS tersebut, Chatib bahkan memperkirkarakan The Federal Reserve saat ini tidak memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga.
"Dia akan masih menaikan 50 hingga 75 basis point. Bahkan saya tidak akan surprise kalau di akhir tahun itu bisa ke arah pada kisaran 3,1% hingga 3,5%. Bayangkan, kalau itu terjadi, implikasinya US akan masuk resesi," jelas Chatib.
Musim dingin segera tiba. Jerman kini menjadi sorotan dunia karena tidak memiliki cukup energi ketika musim dingin pasca penghentian aliran gas Rusia ketika perang di Ukraina terjadi.
Jerman sendiri telah melakukan penampungan gas alam untuk menghadapi musim dingin. Hingga saat ini, penampungan yang dimiliki negara itu telah mencapai level di atas 85%.
Sementara itu, kekurangan energi ini juga memaksa Negeri Rhein itu untuk memotong ekspor listrik ke negara seperti Prancis. Media Financial Times melaporkan tindakan tersebut dapat diterapkan sebagai upaya terakhir untuk menghindari pemadaman listrik di Jerman.
Jerman adalah motor ekonomi Eropa. Inflasinya sudah menyentuh level 10,9% dan perekonomiannya terus menyusut.
Institut Riset Ekonomi Ifo, think-tank terkemuka berbasis di Munich, memperkirakan ekonomi terbesar Eropa ini akan menyusut 0,3% pada 2023 alias jatuh ke jurang resesi. Angka ini memangkas perkiraannya sebesar empat poin persentase dari prediksi sebelumnya pada Juni lalu.
Sementara inflasi diperkirakan mencapai 8,1% tahun ini dan 9,3% tahun depan. Situasi akan lebih buruk apabila musim dingin kali tidak tertangani dengan baik.
Eropa keseluruhan pun akan bernasib sama. Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga dengan rekor 75 basis poin karena berusaha untuk memerangi inflasi yang tinggi di seluruh zona euro. Di mana mereka mengatakan akan lebih banyak kenaikan akan muncul di masa depan.
Head of Asia-Pacific Sovereigns Fitch Ratings, Thomas Rookmaaker dalam wawancara di CNBC Indonesia TV, Rabu (5/10/2022) mengatakan pihaknya memproyeksi Eropa dan Inggris akan mengalami resesi bersamaan di tahun ini.
AS dan Eropa resesi, maka ekonomi global juga akan menuju ke arah sana. Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah mengemukakan proyeksi tersebut.
Bank Dunia menyebut, perekonomian global saat ini mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca resesi sejak tahun 1970. Kepercayaan konsumen global telah mengalami penurunan yang jauh lebih tajam dibandingkan resesi global sebelumnya.
Terbukti dari tiga ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat, China dan kawasan Eropa telah melambat tajam. "Dalam keadaan seperti itu, bahkan pukulan moderat terhadap ekonomi global selama tahun depan dapat membawanya ke dalam resesi," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini, menurut Bank Dunia memerlukan kebijakan countercyclical untuk melindungi aktivitas masyarakat dan ekonomi.
Melengkapi ramalan Bank Dunia, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva ikut buka suara terkait ancaman resesi yang melanda dunia.
Dia menyebut bahwa pelemahan ekonomi itu kemungkinan besar terjadi. Kristalina mengungkapkan bahwa prospek ekonomi global telah "gelap secara signifikan" sejak April lalu. Alhasil, IMF pun prediksi pertumbuhan ekonomi global di angka 3,6% untuk tahun 2022.
OECD memperkirakan pertumbuhan global diproyeksikan akan tetap lemah pada paruh kedua tahun 2022, sebelum melambat lebih lanjut pada tahun 2023 menjadi pertumbuhan tahunan hanya 2,2%.
"Ekonomi global telah kehilangan momentum setelah perang agresi Rusia yang tidak beralasan, tidak dapat dibenarkan dan ilegal terhadap Ukraina. Pertumbuhan PDB telah terhenti di banyak ekonomi dan indikator ekonomi menunjukkan perlambatan yang berkepanjangan," kata Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann pada konferensi pers proyeksi OECD.
"Dengan dampak pandemi Covid-19 yang masih ada, perang menyeret turun pertumbuhan dan memberi tekanan tambahan pada harga, terutama untuk makanan dan energi."
Asian Development Bank (ADB) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia dan Pasifik.
Perekonomian kawasan ini diperkirakan tumbuh 4,3% tahun ini, dibandingkan dengan proyeksi ADB pada April sebesar 5,2%. Perkiraan pertumbuhan untuk tahun depan pun telah diturunkan menjadi 4,9% dari 5,3%, sementara perkiraan inflasi kawasan telah dinaikkan.
Namun, tidak termasuk China, negara berkembang lainnya di Asia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini dipengaruhi pertumbuhan di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang masing-masing diperkirakan tumbuh 6,5% dan 5,1-5% pada 2022 dan 2023.
Adapun, ADB mencatat inflasi di negara berkembang Asia sedang meningkat. Rata-rata tingkat inflasi di wilayah tersebut meningkat menjadi 5,3% di bulan Juli dari 3,0% di bulan Januari.
"Ekonomi Indonesia pasti akan kena," jelas Chatib. Khususnya ketika harga komoditas alami penurunan harga dan permintaan.
Indikasinya sudah terlihat, harga minyak dunia, minyak kelapa sawit, nikel dan lainnya sudah turun. Batu bara masih stabil karena permintaan Eropa naik drastis.
Kendati demikian, Chatib berpandangan meskipun ekspor Indonesia akan terkena dampaknya, namun secara keseluruhan tidak akan membuat ekonomi Indonesia terkena resesi.
"Tahun ini kita bisa tumbuh di 5,2%, tahun depan mungkin sekitar 4%," ujarnya.
Hal itu lantaran, porsi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%. Sehingga ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.
"Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slow down, tapi tidak resesi. Makanya somehow, kita butuh domestic demand kalau ekonomi global kena," jelas Chatib.
Indonesia tapi tidak boleh jumawa, karena menurut Chatib permasalahan ekonomi domestik di dalam negeri masih dibayangi dengan inflasi dan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tinggi.
Artinya, permintaan ekonomi domestik diperkirakan akan melambat. Dikala sektor moneter tidak bisa mendukung permintaan domestik, maka kata Chatib fiskal dalam hal ini APBN lagi-lagi harus menjadi garda terdepan.
Masalahnya, menurut Chatib APBN Indonesia di tahun depan, juga akan menghadapi sejumlah tantangan.
"APBN tahun depan defisitnya harus di bawah 3%. Harga komoditas energi turun, kecuali batubara. Berarti penerimaan pajak kita di 2023 tidak akan setinggi 2022.... Bayangkan kalau penerimaan turun, defisit harus turun, cara yang bisa dilakukan adalah memotong spending (pengeluaran)," jelas Chatib.
Apabila pengeluaran APBN harus 'dihemat' maka APBN akan terkena kontraksi.
"Nah bayangkan, kalau moneter kontraktif, fiskal kontraktif, eksternal kontraktif, pasti slow down dari ekonominya. Precaution effect, ekspor kita akan terpukul sangat dalam," jelas Chatib.