Internasional

Inflasi di AS 'Mendarah Daging', Resesi Dunia di Depan Mata?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Rabu, 14/09/2022 19:00 WIB
Foto: Bendera Amerika Serikat (AP Photo/Charlie Riedel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) masih 'panas' dan masih berada di luar perkiraan ekonom. Padahal The Fed sejauh ini sudah menaikkan suku bunga sebanyak empat kali dengan total 225 basis poin (bp) menjadi 2,25%-2,5%,

Dalam laporannya, Biro Statistik Tenaga Kerja AS, inflasi pada Agustus 2022 naik 0,1% menjadi 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Selasa. Angka ini meleset dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang memperkirakan penurunan bulanan sebesar 0,1%, dan tahunan sebesar 8%.


Seperti diketahui, penyebab kencangnya laju inflasi yang melanda AS dan sejumlah negara maju di Eropa ialah gangguan rantai pasok (supply chain) akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, bencana kekeringan di sejumlah negara. Namun, inflasi bulan ini turun dibandingkan pada Juli sebesar 8,5% dan 9,1% pada Juni.

Meski demikian, angka di atas 8% masih termasuk kategori tinggi. Apalagi, tekanan inflasi dari sektor energi sebenarnya sudah mereda, di mana harga bahan bakar minyak (BBM) merosot lebih dari 10% pada Agustus dari Juli dan membuat indeks harga energi ikut turun sebesar 5% secara bulanan.

Mengapa?

Masalahnya ada di kenaikan harga jasa dan pengeluaran lainnya. Itu menjadi salah satu penyebab inflasi susah turun.

Hal ini terlihat dari inflasi inti. Walau tidak memasukkan sektor energi dan makanan, ia melesat 6,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan Juli 5,9%.

Secara bulanan inflasi inti juga naik 0,6%. Hal ini menjadi indikasi inflasi sudah "mendarah daging" di Paman Sam.

"Angka inflasi inti sangat panas di seluruh wilayah. Meluasnya kenaikan harga mulai dari kendaraan baru, layanan perawatan medis hingga pertumbuhan sewa, semuanya naik dengan kuat, "kata Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi yang dikutip dari CNBC International

Laporan inflasi ini semakin meningkatkan ekspektasi bahwa bank sentral Amerika, The Fed, akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) pada pertemuan 20-21 September. Bahkan pasar melihat ada peluang kenaikan 100 basis poin (bps).

"Laporan CPI adalah negatif tegas untuk pasar ekuitas. Laporan yang lebih panas dari yang diharapkan berarti kita akan mendapatkan tekanan lanjutan dari kebijakan Fed melalui kenaikan suku bunga," kata Direktur Penelitian di Janus Henderson Investors, Matt Peron.

Semakin tinggi suku bunga maka risiko resesi akan semakin meningkat. Ketika AS resesi, maka dunia terancam terseret.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Suku Bunga Jumbo Jadi 'Obat', Meskipun Tantangannya Resesi!


(aum/sef)
Pages