Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Amerika Serikat (AS) masih 'panas' dan masih berada di luar perkiraan ekonom. Padahal The Fed sejauh ini sudah menaikkan suku bunga sebanyak empat kali dengan total 225 basis poin (bp) menjadi 2,25%-2,5%,
Dalam laporannya, Biro Statistik Tenaga Kerja AS, inflasi pada Agustus 2022 naik 0,1% menjadi 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Selasa. Angka ini meleset dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang memperkirakan penurunan bulanan sebesar 0,1%, dan tahunan sebesar 8%.
Seperti diketahui, penyebab kencangnya laju inflasi yang melanda AS dan sejumlah negara maju di Eropa ialah gangguan rantai pasok (supply chain) akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, bencana kekeringan di sejumlah negara. Namun, inflasi bulan ini turun dibandingkan pada Juli sebesar 8,5% dan 9,1% pada Juni.
Meski demikian, angka di atas 8% masih termasuk kategori tinggi. Apalagi, tekanan inflasi dari sektor energi sebenarnya sudah mereda, di mana harga bahan bakar minyak (BBM) merosot lebih dari 10% pada Agustus dari Juli dan membuat indeks harga energi ikut turun sebesar 5% secara bulanan.
Mengapa?
Masalahnya ada di kenaikan harga jasa dan pengeluaran lainnya. Itu menjadi salah satu penyebab inflasi susah turun.
Hal ini terlihat dari inflasi inti. Walau tidak memasukkan sektor energi dan makanan, ia melesat 6,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan Juli 5,9%.
Secara bulanan inflasi inti juga naik 0,6%. Hal ini menjadi indikasi inflasi sudah "mendarah daging" di Paman Sam.
"Angka inflasi inti sangat panas di seluruh wilayah. Meluasnya kenaikan harga mulai dari kendaraan baru, layanan perawatan medis hingga pertumbuhan sewa, semuanya naik dengan kuat, "kata Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi yang dikutip dari CNBC International
Laporan inflasi ini semakin meningkatkan ekspektasi bahwa bank sentral Amerika, The Fed, akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) pada pertemuan 20-21 September. Bahkan pasar melihat ada peluang kenaikan 100 basis poin (bps).
"Laporan CPI adalah negatif tegas untuk pasar ekuitas. Laporan yang lebih panas dari yang diharapkan berarti kita akan mendapatkan tekanan lanjutan dari kebijakan Fed melalui kenaikan suku bunga," kata Direktur Penelitian di Janus Henderson Investors, Matt Peron.
Semakin tinggi suku bunga maka risiko resesi akan semakin meningkat. Ketika AS resesi, maka dunia terancam terseret.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Suku Bunga Jumbo Jadi 'Obat', Meskipun Tantangannya Resesi!
The Fed sejauh ini sudah mengeluarkan 'obat mujarabnya', menaikkan suku bunga. Bahkan ini telah dilakukan sebanyak empat kali dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.
Namun nyatanya belum mampu membuat inflasi mendingin. Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 75 bp menjadi 3,00% - 3,25% adalah 67,0% sementara peluang kenaikan suku bunga acuan sebesar 100 bp menjadi 3,25% - 3,50% adalah 33%.
AS sendiri kini mengalami 'resesi teknis'. Meski pemerintah Biden menolaknya karena merujuk data tenaga kerja yang kuat, pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,6% di kuartal II-2022.
Laju ekonomi itu melanjutkan kontraksi pada kuartal I-2022 yang tercatat minus 1,6%. Resesi sendiri adalah situasi di mana pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif dua kuartal berturut-turut atau lebih selama satu tahun.
Secara resmi, NBER mendefinisikan resesi sebagai "penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan". Para ekonom biro tersebut bahkan mengaku tidak menggunakan produk domestik bruto sebagai barometer utama.
Dalam pernyataan terbarunya pekan ini, Menteri Keuangan AS Janet Yellen sendiri membenarkan adanya risiko resesi di negeri Adi Kuasa tersebut. Hal tersebut karena pertempurannya melawan inflasi dapat memperlambat ekonomi AS.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kalau The Fed Makin Agresif! Ini Sederet Dampak Buat RI
Inflasi AS yang masih memanas perlu diwaspadai. Sebab akan memberikan pengaruh terhadap kondisi pasar keuangan Indonesia serta perekonomian secara keseluruhan.
"Berbagai skenario inflasi global yang melonjak tinggi dan memberikan kemungkinan kinerja ekonomi negara-negara maju harus kita perhatikan sebagai dinamika yang memiliki potensi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah" ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Banggar DPR, Rabu (14/9/2022).
Ada dua jalur transmisi. Pertama adalah jalur moneter, di mana inflasi yang kian meninggi akan menciptakan tingkat suku bunga yang semakin meningkat .
The Fed yang diperkirakan siap menaikkan suku bunga jumbo pada akhirnya akan membuat dolar AS kian perkasa. Sehingga rupiah pun akan di prediski melemah membuat arus modal asing akan semakin deras keluar.
The Fed yang semakin agresif juga akan mendorong Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya. Karena dengan kenaikan suku bunga AS berarti selisih antara FFR dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan semakin menyempit.
Menyempitnya selisih tersebut dapat menjadi ancaman karena membuat investasi di pasar keuangan Indonesia menjadi relatif kurang menarik. Ini khususnya di pasar obligasi.
Diketahui, pada 22-23 Agustus 2022 BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%. Ini dilakukan dalam rangka langkah pre-emptive dan forward looking.
Langkah diambil apalagi kalau bukan untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi. Itu sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Saat suku bunga naik maka perbankan hanya akan melakukan penyesuaian dari sisi Asset Liability Management (ALMA). Dampak yang harus diperhatikan kestabilan pasar keuangan dan likuiditas perbankan, serta penyaluran kredit agar pemulihan akan terjaga.
Tak hanya pengusaha, kenaikan bunga juga akan berdampak pada konsumen. Mereka yang memiliki kredit konsumsi, termasuk KPR di bank juga berpotensi membayar cicilan lebih mahal dengan kenaikan bunga acuan.
Ada sisi positif dan negatif dari kenaikan suku bunga BI. Kenaikan suku bunga akan membuat biaya pinjaman makin mahal, tetapi dapat menekan inflasi sehingga harga-harga bisa terjangkau. Dengan inflasi yang terjaga, maka daya beli rumah tangga juga terjaga.
Kedua, ini akan berdampak jalur perdagangan. Jika inflasi AS masih 'panas', AS akan masuk ke jurang resesi. Ini menyebabkan kinerja ekspor untuk tujuan AS bisa terganggu, daya beli konsumen akan tergerus sehingga mempengaruhi permintaan barang-barang yang ada di Indonesia.
Sementara itu, memasuki perdagangan minggu ketiga September. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih gamang menentukan pergerakannya di tengah kondisi investor yang masih menanti pengumuman kenaikan suku bunga The Fed.
Kaburnya dana asing dapat merembes hingga ke pasar ekuitas, mengingat tingginya suku bunga AS memberikan tekanan likuiditas bagi investor Barat yang sebagian mungkin terpaksa keluar dari bursa domestik. Jika aksi jual asing terjadi secara signifikan, artinya ini dapat memberikan tekanan bagi IHSG.
TIM RISET CNBC INDONESIA