Internasional

Awas Resesi! Inflasi Negara Ini Rekor Tertinggi 21 Tahun

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
27 July 2022 14:34
TONGA-AUSTRALIA-VOLCANO-TSUNAMI
Foto: AFP/CPL ROBERT WHITMORE

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Australia mencapai 6,1% pada kuartal II-2022. Peningkatan inflasi ini tercatat sebagai yang tercepat dalam 21 tahun terakhir berdasarkan laporan Biro Statistik Australia pada Rabu (27/7/2022).

Konsumen di Australia harus menerima lonjakan harga pangan hingga bahan bakar. Namun, Angka Inflasi ini tercatat lebih rendah dari konsensus yang dihimpun Trading Economics yang menunjukkan inflasi diperkirakan tumbuh 1,8% pada kuartal II-2022 dari kuartal I-2022.

Sementara jika dibandingkan kuartal II-2021, inflasi diprediksi melesat 6,1%, dibandingkan tiga bulan sebelumnya 5,1%.

Secara keseluruhan, inflasi tersebut dipicu oleh kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang terus berlanjut. Harga makanan pada kuartal II-2022 mencatatkan kenaikan tertinggi sejak kuartal III-2011, mencapai 5,9% dibandingkan dengan 4,3% pada kuartal I-2022.

Kenaikan juga terjadi pada harga perumahan (9% vs 6,7%), alkohol dan tembakau (2,2 % vs 1,8%), perabot (6,3% vs 4,9%), rekreasi (4,5% vs 3%), dan asuransi & jasa keuangan (3,4% vs 2,7%).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Australia Jim Chalmers memperingatkan Negeri Kanguru sedang duduk dalam posisi keuangan yang genting dan "kurang tangguh" daripada sebelumnya. Dengan tingginya inflasi tersebut akan semakin memicu ekspektasi kenaikan suku bunga pada pertemuan yang akan diagendakan Selasa depan.

"Tidak ada cara lain untuk menghadapi inflasi yang sangat panas di Australia saat ini dan RBA akan merespons dengan menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan dewan bulan Agustus minggu depan," kata Gareth. Aird, kepala ekonomi di CBA dikutip dari The Guardian.

"Skenario utama kami untuk RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,85% pada rapat dewan Agustus tidak berubah," tambahnya.

Sebelumnya, bank sentral Australia kembali menaikkan suku bunga acuan guna menekan inflasi yang terus melambung. Kenaikan tersebut menjadi yang ketiga kali secara berturut-turut dalam pertemuan bulanan Reserve Bank of Australia (RBA).

RBA menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 1,35%, menandai kenaikan 125 basis poin sejak Mei dan rangkaian pergerakan tercepat sejak 1994.

"Dewan akan mengambil langkah lebih lanjut dalam proses normalisasi kondisi moneter di Australia selama beberapa bulan ke depan," kata Gubernur RBA Philip Lowe dalam sebuah pernyataan, dikutip Reuters.

Tingginya inflasi tersebut membuat RBA diperkirakan akan mengerek suku bunga 75 basis poin (bps) di bulan Agustus. Kenaikan tersebut akan sama besarnya dengan yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) bulan lalu.

Banyak ekonom memprediksi Australia menjadi salah satu negara yang diprediksi akan mengalami resesi akibat inflasi yang tinggi serta kenaikan suku bunga yang agresif. Ketika suku bunga naik, maka dunia usaha akan menahan ekspansinya akibat suku bunga kredit yang naik lebih tinggi, begitu juga dengan masyarakat yang menunda konsumsi. Hal ini akan berdampak pada pelambatan ekonomi, hingga resesi.

Bagaimanapun juga kenaikan suku bunga akan berdampak pada harga perumahan, belanja konsumen dan investasi perumahan yang bisa menekan tingkat keyakinan konsumen. Sementara inflasi yang tinggi akan membuat daya beli masyarakat tergerus. Alhasil risiko resesi semakin membesar.

Isu resesi masih akan terus menghantui negara-negara di dunia. Bagaimanapun juga laju inflasi yang tinggi disertai dengan kebijakan moneter yang agresif telah membuat perekonomian global bergejolak di sepanjang tahun ini.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Australia akan diprediksi mengalami resesi. Rob Subbraman, Kepala Ekonom Nomura, memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan Zona Euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada, dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.

Perekonomian Australia terancam sejak inflasi merajalela dan memotong belanja konsumen dan pendapatan perusahaan. Ditambah lagi dengan naiknya harga energi yang diperburuk oleh serangan Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022 lalu.

Perlu diketahui, perekonomian Negeri Kanguru tersebut telah terpukul sejak pandemi Covid-19.

Potensi resesi kian nyata jika melihat beberapa indikator makro Australia yang melemah. Adanya potensi tindakan agresif dari Reserve Bank of Australia (RBA) dalam menaikkan suku bunga acuan yang bisa menyebabkan perlambatan ekspansi dan pemulihan.

Indeks Keyakinan Konsumen/IKK Australia masih di bawah 100. Kondisi ini menggambarkan Secara keseluruhan, penilaian konsumen terhadap kondisi bisnis dan kondisi pasar tenaga kerja saat ini terlihat pesimistis.

Sebagai informasi, IKK merupakan rata-rata sederhana dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen.

Di sisi lain, pemerintah Australia yakin ekonomi dapat menahan guncangan karena tingkat pengangguran berada di posisi terendah dalam lima dekade, yakni 3,9% seiring dengan adanya lowongan pekerjaan tertinggi sepanjang masa. Permintaan rumah tangga juga bertahan dengan baik, sebagian berkat penghematan ekstra sebesar 260 miliar dolar Australia (US$ 178,59 miliar) yang terakumulasi selama penguncian pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular