Beda 5 Ekonom RI Soal Inflasi RI, Gawat atau Biasa Saja Sih?

Cantika Adinda Putri & MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
05 July 2022 06:01
Harga Cabai Di Pasar Kebayoran Lama (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Harga Cabai Di Pasar Kebayoran Lama (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lampu kuning perekonomian Indonesia sudah menyala. Hal ini terlihat dari realisasi inflasi yang baru saja diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) akhir pekan lalu.

Inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.

Sementara itu, inflasi inti mencapai 2,63% dan harga yang diatur pemerintah 5,33% serta yang bergejolak 10,3%.

Perkembangan tersebut terutama dipengaruhi oleh inflasi aneka cabai, bawang merah, dan telur ayam ras akibat kondisi cuaca dengan curah hujan tinggi di sejumlah sentra produksi yang mengganggu produksi dan peningkatan harga pakan.

Simak pandangan sederet ekonom tersebut:

1. David Sumual, Kepala Ekonom PT BCA Tbk

Menurut David, realisasi inflasi terakhir sudah berada di atas asumsi pemerintah yaitu 2-3%. Begitu juga dengan Bank Indonesia (BI) yang tadinya memperkirakan inflasi mencapai 4,2%.

"Ini sudah lebih tinggi dan perlu jadi perhatian khusus, khawatir inflasi seperti di AS (Amerika Serikat)," ungkapnya kepada CNBC Indonesia.

AS mulai alami kenaikan inflasi sejak tahun lalu. Kondisi tersebut tadinya dianggap wajar, namun berjalan waktu, inflasi terus menanjak hingga ke level 8,6%. Bahkan ketika suku bunga acuan naik secara agresif, inflasi pun tak berhasil dijinakkan.

Komoditas yang perlu diperhatikan, kata David adalah energi dan pangan. Namun kekhawatiran akan energi lebih rendah sebab pemerintah sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 520 triliun untuk subsidi.

"Tapi memang sulit dikendalikan pangan. Pupuk juga udah naik, di global akan mempengaruhi harga beras, dan sekarang masih relatif stabil," ujarnya.

David memandang inflasi bisa bergerak ke level 5%. Secara historical, 5 tahun terakhir inflasi tersebut terbilang tinggi. Akan tetapi memang dibandingkan sederet negara lain, inflasi Indonesia masih terkendali.

2. Eko Listiyanto, INDEF

Eko menuturkan inflasi Indonesia belum dalam level bahaya. Walaupun pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga perlu waspada akan kemungkinan harga pangan.

Selain ada efek menipisnya pasokan, harga pangan juga bisa melonjak karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Beberapa komoditas pangan tanah air mengandalkan impor, seperti kedelai, bawang putih, daging sapi, hingga pakan ternak.

"Sehingga mengendalikan nilai tukar sesuai target APBN 2022 sebesar 14.350/USD juga penting," jelasnya.

Eko merekomendasikan agar ada kenaikan suku bunga acuan secara bertahap untuk meredam inflasi. Di sisi lain, ketersediaan pangan harus cukup dan merata di seluruh Indonesia.

3. Josua Pardede, Ekonom PT Bank Permata

Josua tidak melihat adanya kemungkinan lonjakan inflasi selama harga energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) tidak ada kenaikan. Hal itu sudah diwujudkan oleh pemerintah.

"Kalau ke depan apakah melonjak seperti negara maju, tidak," ungkap Josua.

Inflasi saat ini kata Josua didorong oleh pasokan, bukan permintaan. Inflasi inti juga masih terkendali karena di bawah 3%.

"Indonesia dengan pemerintah memastikan sampai akhir tahun tidak ada kenaikan harga energi. Kalau dinaikan itu inflasi akan melonjak," imbuhnya.

Meski terkendali, Josua menekankan agar pemerintah juga harus memikirkan daya beli masyarakat di kelas bawah. Bisa memberikan tambahan bantalan sosial agar tekanan tidak terasa terlalu berat.

"Ini perlu cermati dampaknya kepada masy menengah ke bawah kalau terjadi kenaikan harga berlanjut, apalagi bahan baku impor gandum turunannya, beberapa produk tanaman. pupuk juga naik. ini pasti akan mempengaruhi daya beli," jelas Josua.

4. Yusuf Rendy Manilet, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia

Potensi lonjakan inflasi, kaya Yusuf masih terbuka lebar mengingat faktor penyebabnya belum teratasi hingga sekarang. Salah satunya adalah perang Rusia dan Ukraina.

"Potensi inflasi berada di level yang lebih tinggi jika dibandingkan tahun lalu masih terbuka lebar," ujarnya.

Perang Rusia dan Ukraina berlangsung sejak Februari 2022. Sederet harga energi dan komoditas beserta pangan melesat tinggi di berbagai negara. Sehingga harus menghadapi lonjakan inflasi.

"Yang perlu diwaspadai Saya kira lebih banyak kepada harga komoditas yang bisa mendorong kenaikan harga pangan nah harga pangan ini yang perlu dipantau Apakah kemudian jenis pangan ini adalah pangan yang biasanya kita impor dari luar," ujarnya.

5. Irman Faiz, Analis Makroekonomi Bank Danamon

Bank Danamon baru saja merevisi perkiraan inflasi akhir tahun dari 4% menjadi 4,2%. Hal ini dikarenakan realisasi inflasi pada periode Juni yang di luar perkiraan, meskipun tidak ada kenaikan harga energi.

Namun di sisi lain, produsen tidak serta merta menaikkan harga meskipun bahan baku semakin mahal.

"Kami juga berpikir bahwa produsen berhati-hati dalam memberikan tekanan biaya kepada konsumen, yang tercermin dalam inflasi inti yang meningkat secara bertahap namun terus-menerus," kata Irman.

"Dan jika pembuat kebijakan moneter berdiri teguh dengan keyakinan mereka pada tingkat kebijakan yang disesuaikan dengan inflasi inti, maka hasil hari ini dapat memberikan ruang untuk menunda rencana kenaikan suku bunga," jelasnya lagi.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular