Orang Amerika Mulai Takut Belanja, Pertanda Krisis...?

Maesaroh, CNBC Indonesia
13 June 2022 13:05
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar buruk terus datang dari Amerika Serikat (AS). Setelah melaporkan kontraksi pertumbuhan ekonomi dan jebloknya sentimen konsumen, AS juga mengabarkan jika inflasi mereka mencapai rekor tertinggi 41 tahun.

Di tengah inflasi umum yang melesat, AS melaporkan inflasi inti di negara tersebut justru stagnan dan cenderung melambat. Inflasi umum AS tercatat sebesar 8,6% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, atau menjadi yang tertinggi sejak Desember 1981. Inflasi dipicu lonjakan harga energi dan bahan pangan.

Pada Mei, harga energi terbang 34,6% yang merupakan rekor tertinggi sejak September 2005. Sementara itu, harga bahan pangan melesat 10,1%. Ini adalah kali pertama kenaikan harga pangan AS melewati 10% dalam 41 tahun terakhir.

Sementara itu, inflasi inti-di luar makanan dan energi- menyentuh 6% (yoy), tidak berubah dibandingkan April. Inflasi inti terus bergerak ke arah perlambatan.


Laju inflasi umum dan inti sebenarnya masih seiring sejalan hingga Maret tahun ini. Saat inflasi umum melonjak 7,5% pada Januari 2022, inflasi inti juga melesat 6%. Pada Februari dan Maret, baik inflasi inti dan umum juga sama-sama melonjak.

Namun, inflasi umum dan inti justru dalam kondisi yang saling bertolak belakang pada Mei. Inflasi umum tetap menjulang pada Mei tetapi inflasi inti melambat.

Kondisi tersebut tentu saja membawa kekhawatiran tersendiri karena inflasi inti mencerminkan seberapa kuat permintaan. Lonjakan inflasi umum yang tinggi tanpa dibarengi tingginya inflasi inti bisa menjadi sinyal bahwa laju inflasi lebih karena cost push inflation semata.

Pemenang Nobel Ekonomi dan professor Yale Robert Shiller mengatakan jika harga terus melambung tinggi maka konsumen akan semakin kesulitan untuk membelinya. Konsumen kemudian akan mengerem pengeluaran sehingga permintaan pun turun.

"Inflasi mempengaruhi semua orang. Setiap kali mereka pergi ke toko, mereka akan melihat dampak inflasi dan membuat mereka marah," tutur Shiller, seperti dikutip oleh Fortune.

Data Adobe Analytics menunjukkan adanya perlambatan inflasi untuk belanja online yang tercermin melalui semakin turunnya harga. Kenaikan harga produk online terus melambat dari 3,6% pada Maret menjadi 2,9% pada April dan 2,06% pada Mei.

Perlambatan didorong oleh turunnya penjualan barang elektronik dan apparel, yakni masing-masing menyusut 6,5% dan 9% (yoy). Jebloknya sentimen konsumen bisa menjadi sinyal buruk lain bagi laju konsumsi AS.


Data awal dari survei Universitas Michigan menunjukkan sentimen konsumen AS ada di angka 50,2 pada Juni tahun ini. Catatan tersebut adalah yang terendah sepanjang masa atau sejak survei dilakukan pada November 1952.

Sentimen konsumen bahkan lebih buruk dibandingkan pada saat AS dilanda resesi pada tahun 1980an. Pada Mei 1980, sentimen konsumen ada di angka 51,7. Rendahnya sentimen karena responden melihat outlook bisnis dan kondisi keuangan mereka belum akan membaik.

"Konsumen kemungkinan akan memilih apakah akan tetap berbelanja di tengah kenaikan harga atau menahan belanja sebagai respon lonjakan inflasi. Mereka hanya akan belanja untuk kebutuhan penting dan sehari-hari," tutur Kurt Rankin, ekonom dari PNC, seperti dikutip CNN.

Rankin menjelaskan bila konsumen tidak mengerem belanja maka hal itu bisa menjadi tantangan besar bagi The Fed dalam memerangi inflasi. Sebaliknya, jika konsumen mengerem belanja maka pemulihan ekonomi AS makin berjalan lambat. Sebagai catatan, pada kuartal I tahun ini, perekonomian Negara Paman Sam terkontraksi 1,5%.

Ekonom hingga analis mengingatkan jika pertumbuhan AS semakin melambat sementara inflasi masih melambung tinggi maka resesi tinggal menunggu waktu.
Polling yang dilakukan The Financial Time, menunjukan 60% dari ekonom kenamaan AS yakin AS akan jatuh ke resesi tahun depan. Survei tersebut dilakukan berkerja sama dengan Initiative on Global Markets dari the Booth School of Business, Universitas Chicago.

Sebanyak 40% dari 49 responden mengatakan resesi akan terjadi pada kuartal I atau II tahun depan sementara sepertiga responden meyakini resesi akan terjadi pada semester II-2023.

Sebanyak 40% responden juga menilai The Fed akan gagal mengontrol inflasi. Kondisi akan sedikit berbeda jika suku bunga acuan menjadi 2,8% pada akhir 2022, dari saat ini sebesar 0,75-1,%.

Survei yang dilakukan CNBC kepada puluhan dewan direktur keuangan (CFO) juga menunjukan kekhawatiran besar akan terjadinya resesi. Sebanyak 68% responden percaya bahwa resesi akan terjadi pada semester pertama tahun 2023. Tidak ada satupun CFO yang memperkirakan resesi akan datang setelah semester dua tahun depan. Tidak ada satu juga CFO yang percaya bahwa perekonomian AS akan bebas dari resesi.

Survei dilakukan pada 22 CFO pada institusi top dunia pada periode 12 Mei- 6 Juni.

Shiller pun mengatakan ada kemungkinan jika Amerika Serikat (AS) akan mengalami resesi pada beberapa tahun mendatang. "Kemungkinannya lebih dari 50%," tuturnya kepada Fortune.


Peringatan resesi juga disampaikan Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects. Kekhawatiran didasari fakta bahwa inflasi melambung pada tahun ini sementara pertumbuhan ekonomi justru melambat.

"Perang, lockdown di China, gangguan rantai pasok dan risiko stagflasi tengah mengancam pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," tutur Presiden Bank Dunia David Malpass, dalam keterangan resmi, Selasa (7/6/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular