Jakarta, CNBC Indonesia - Data inflasi Amerika Serikat (AS) bikin kaget. Pelaku pasar pun terpaksa mengubah proyeksi mereka soal nasib perekonomian ke depan.
US Bureau of Labor Statistics melaporkan inflasi Negeri Adidaya pada Mei 2022 mencapai 8,6% berbanding periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 8,3% sekaligus menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Harga energi membuat inflasi meninggi. Inflasi komponen energi tercatat 34,6% yoy, tertinggi sejak 2005. Penyebabnya adalah kenaikan harga bensin, gas, dan listrik.
Inflasi kelompok pangan pun melesat, mencapai 10,1% yoy. Rekor tertinggi sejak 1981. Pendorongnya adalah daging, ikan, dan telur.
Meski inflasi umum melesat, tidak demikian dengan inflasi inti. Pada Mei 2022, inflasi inti berada di 6% yoy. Inflasi inti melambat selama dua bulan beruntun.
Padahal inflasi inti menggambarkan kekuatan daya beli. Perlambatan laju inflasi inti menjadi pertanda daya beli rakyat Negeri Paman Sam mulai berkurang.
Halaman Selanjutnya --> The Fed Naikkan 'Persneling"
"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.
Data inflasi terbaru membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Lebih gila lagi, kenaikan 75 bps ke 1,5-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
 Sumber: CME FedWatch |
"Kami meyakini bahwa rilis data ini akan membuat The Fed menaikkan posisi 'persneling'. Suku bunga akan naik lebih tinggi dan lebih cepat," tegas Aneta Markowska, Ekonom Barclays, seperti diberitakan Reuters.
"Kemungkinan The Fed untuk menurunkan kecepatan kenaikan suku bunga pada Juni dan Juli sepertinya tinggal kenangan," tambah Greg McBride, Chief Finacial Analyst Bankrate, juga dikutip dari Reuters.
Tidak cuma AS, bank sentral Uni Eropa (ECB) juga bakal menaikkan suku bunga acuan mulai bulan depan. Dalam rapat pekan ini, Presiden Christine Lagarde dan kolega tetap mempertahankan suku bunga acuan deposit rate -0,5%. Suku bunga acuan berada di teritori negatif sejak 2014.
Namun nada hawkish sangat kentara dalam rapat tersebut. Program pembelian aset alias quantitative easing akan berakhir pada 1 Juli, dan dalam rapat 21 Juli ECB menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps.
"Dewan berencana kenaikan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps dalam rapat Juli. Dewan juga memperkirakan ada kenaikan lagi pada September. Jika inflasi diperkirakan masih tinggi, maka kenaikan suku bunga acuan yang lebih tinggi pada September menjadi layak," sebut keterangan tertulis ECB.
"Kami akan memastikan inflasi kembali sesuai target 2% dalam jangka menengah. Ini bukan langkah, tetapi perjalanan," kata Lagarde dalam konferensi pers usai rapat, sebagaimana diwartakan Reuters.
Dalam proyeksi terbarunya, ECB memperkirakan inflasi di Zona Euro pada 2022 mencapai 6,8%. Naik ketimbang proyeksi sebelumnya yakni 5,1%.
"Jika Anda ingin (inflasi) bisa 2,1% pada 2024 dan seterusnya, apakah penyesuaian (suku bunga acuan) akan lebih tinggi? Jawabannya adalah ya," lanjut Lagarde.
Halaman Selanjutnya --> Bunga Naik, Ekonomi Melambat
Inflasi memang menyakitkan, dia adalah 'copet' yang membuat kantung berlubang. Harga barang dan jasa yang naik gila-gilaan pasti sangat memberatkan, terutama bagi mereka yang berpendapatan tetap.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya ekstra dalam menjangkar ekspektasi inflasi agar tidak bergerak liar. Kenaikan suku bunga adalah salah satunya. Dengan kenaikan suku bunga, maka uang beredar akan berkurang dan saat jumlahnya turun maka nilai uang bisa relatif lebih terjaga.
Namun kenaikan suku bunga harus dibayar mahal. Seperti punya bodyguard yang melindungi kita dari copet, ada biaya yang harus dikeluarkan.
Kenaikan suku bunga akan membuat biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha menjadi ikut terkerek. Akibatnya, konsumsi dan investasi akan melambat sehingga ikut menahan pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia pun memberi wanti-wanti. Pada 1970-an, saat dunia mengalami inflasi tinggi akibat kenaikan harga minyak (oil boom), bank sentral di berbagai negara juga menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
Efek sampingnya luar biasa, ekonomi bukannya tumbuh malah terkontraksi alias minus. Bahkan sampai menyebabkan resesi global.
"Upaya pemulihan saat itu membutuhkan kenaikan suku bunga acuan secara tajam. Akan tetapi, dampaknya adalah memicu resesi global dan krisis keuangan di negara berkembang," tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospect edisi Juni 2022.
TIM RISET CNBC INDONESIA