Rusia, Ukraina, Indonesia, dan Penyakit Belanda...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 April 2022 14:20
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memeriksa lokasi pertempuran baru-baru ini di Bucha dekat dengan Kyiv, Ukraina, Senin, (4/4/2022). (AP/Efrem Lukatsky)
Foto: Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memeriksa lokasi pertempuran baru-baru ini di Bucha dekat dengan Kyiv, Ukraina, Senin, (4/4/2022). (AP/Efrem Lukatsky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia versus Ukraina membawa dampak yang luar biasa. Di bidang ekonomi, salah satu dampak paling nyata adalah lonjakan harga komoditas global.

Harga minyak bumi dan gas alam naik tinggi sejak serangan Rusia ke Ukraina pada Februari lalu. Sejak akhir 2021 hingga kemarin, harga minyak jenis brent melonjak 38,25% secara point-to-point.

Kenaikan harga si emas hitam terjadi karena perang tentu menghambat produksi dan distribusi minyak Rusia. Selain itu, serangan ke Ukraina membuat Negeri Beruang Merah diganjar berbagai sanksi, salah satunya larangan ekspor minyak ke Amerika Serikat (AS).

Teranyar, berbagai negara mengutuk keras serangan Rusia ke Ukraina, terutama di kota Bucha. Di kota tetangga Kyiv tersebut, ditemukan kuburan massal dan mayat-mayat yang terikat dengan bekas tembakan jarak dekat. Pembantaian terhadap warga sipil di Bucha membuat dunia geram terhadap Negeri Beruang Merah.

"Putin (Vladimir Putin, Presiden Rusia) dan para pendukungnya harus menerima konsekuensi," tegas Olaf Scholz, Kanselir Jerman, sebagaimana diwartakan Reuters.

Negara-negara Barat kemungkinan besar akan menambah sanksi terhadap Rusia, Amerika Serikat (AS) bahkan bakal mengumumkan sanksi baru pada pekan ini. Christine Lambrecht, Menteri Pertahanan Jerman, menyebut potensi memboikot komoditas energi asal Rusia harus menjadi pertimbangan.

Padahal Rusia adalah salah satu pemain utama di pasar minyak dunia. Tanpa minyak Rusia, dunia akan benar-benar kehilangan. Sementara permintaan akan meningkat seiring pelonggaran pembatasan sosial usai meredanya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di berbagai negara.

"Permintaan minyak sangat kuat. Nantinya, pasokan akan tersedot sehingga menjadi semakin ketat dan harga bakal terus naik," tutur Phil Flynn, Analis Price Futures Group, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Harga Komoditas Melonjak

Tidak hanya minyak, harga gas alam pun melesat. Harga pembangkitan listrik bertenaga gas alam di Eropa pada perdagangan kemarin ditutup di EUR 108,65/MWh. Secara year-to-date, harga melonjak 57,46%.

Rusia adalah pemasok utama gas alam ke Benua Biru. Pada 2021, negara-negara Uni Eropa mengimpor 155 miliar meter kubik gas alam dari Rusia. Jumlah itu setara dengan 45% dari total impor gas alam.

Tidak hanya komoditas energi, harga bahan pangan pun melonjak. Salah satunya adalah biji bunga matahari, bahan baku minyak nabati yang banyak dikonsumsi di Eropa.

Masalahnya, Rusia dan Ukraina adalah pemain utama di pasar minyak biji bunga matahari. Kedua negara ini menyumbang sekitar 70% dari ekspor minyak biji bunga matahari dunia.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Dapat 'Durian Runtuh'

Untuk minyak bumi, gas alam, atau biji bunga matahari, Indonesia memang bukan pemain utama di pasar dunia. Namun Indonesia kaya akan komoditas penggantinya.

Saat harga minyak dan gas makin mahal, batu bara menjadi pilihan terutama untuk keperluan pembangkit listrik. Di Jerman, pembangkitan listrik dengan batu bara pada pekan yang berakhir 27 Maret 2022 adalah 8.792 MWh/jam. Naik 18% dibandingkan pekan sebelumnya. Dibandingkan pekan yang sama tahun lalu, tumbuh 79,8%.

Nah, di sini Indonesia punya peranan penting. Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar dunia.

Kemudian saat minyak biji bunga matahari susah didapat, maka minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) adalah penggantinya. Seperti halnya batu bara, Indonesia juga pemain utama di pasar CPO dunia.

Pada 2021, US Department of Agriculture memperkirakan volume ekspor CPO Indonesia mencapai 29,5 juta ton. Nomor satu dunia, jarak dengan Malaysia di peringkat kedua pun cukup jauh.

Tingginya permintaan terhadap batu bara dan CPO membuat harga dua komoditas ini melonjak. Secara year-to-date, harga batu bara dan CPO meroket masing-masing 70,44% dan 21,18%.

Melimpahnya kekayaan batu bara dan CPO, plus harga yang sedang naik, membuat Indonesia 'mandi uang'. Buktinya terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Per akhir Februari 2022, APBN membukukan surplus Rp 19,71 triliun atau 0,11% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bulan sebelumnya, APBN juga surplus Rp 28,9 triliun.

Salah satu kontributor penting dalam surplus tersebut adalah penerimaan Bea Keluar (BK). Per 28 Februari 2022, realisasi penerimaan BK adalah Rp 6,57 triliun. Meroket 176,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Tingginya kinerja ini didorong tingginya harga komoditas dan volume ekspor tembaga yang meningkat. Tingginya harga tembaga disebabkan ketatnya pasokan dampak tutupnya bursa Tiongkok (dampak Imlek), merosotnya produksi tambang dunia di Las Bambas Peru, serta kekhawatiran terganggunya pasokan/permintaan imbas krisis Rusia-Ukraina. Selain itu, harga CPO masih tinggi akibat ketatnya persediaan global sebagai dampak turunnya produksi dari Malaysia," papar laporan APBN Kita edisi Maret 2022.

Halaman Selanjutnya --> Awas Penyakit Belanda!

Namun di tengah gelimang harta ini tersimpan bahaya yang luar biasa. Jika terlalu nyaman, terlalu enak, terlalu asyik jualan barang mentah, menjual tanah air, maka Indonesia tidak akan memiliki industri manufaktur yang bernilai tambah.

Jangan sampai Indonesia terjebak terus-terusan mengidap Penyakit Belanda alias Dutch Disease. Penyakit ini ditandai oleh ekonomi suatu negara yang sangat mengandalkan komoditas sehingga lupa mengembangkan sektor yang memiliki nilai tambah seperti industri pengolahan.

Harus diakui, ini terjadi di Indonesia. Peranan sektor manufaktur dalam pembentukan PDB semakin berkurang. Kini sumbangan sektor manufaktur sudah di bawah 20%. Deindustrialisasi.

Indonesia harus berubah. Ke depan, jangan lagi menggantungkan diri dari penjualan bahan mentah. Indonesia mesti mengembangkan industri, yang berdaya saing dan memberikan nilai tambah.

Belanda lama berkuasa Indonesia, dan 'penyakitnya' juga menulari Ibu Pertiwi. Ini harus segera disembuhkan...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular