Ancaman inflasi, kenaikan harga pangan, kenaikan harga energi, pengetatan kebijakan The Fed, perang, hingga pandemi membayangi ekonomi Indonesia bahkan ketiga baru masuk bulan ketiga.
Banyaknya rintangan pada tahun ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 23 Februari 2022 "menurunkan" proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi dengan kisaran 4,8-5,5%. Sri Mulyani menyebut pemulihan ekonomi masih berjalan on the track meskipun ada ancaman varian Omicron.
Namun, peta perekonomian global berubah drastis saat Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari. Dengan cepat,serangan tersebut membuat harga komoditas meroket. Tidak hanya energi, komoditas harga pangan juga melonjak drastis mengingat Rusia dan Ukraina adalah pemasok bahan pangan dunia, terutama gandum.
Kenaikan harga komoditas ini akan berimplikasi besar terhadap perdagangan, inflasi, serta APBN Indonesia.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyebutkan dari sejumlah persoalan berat yang harus dihadapi Indonesia pada tahun ini, inflasi menjadi momok utama.
Inflasi tahun ini bisa melonjak karena dirongrong sejumlah persoalan dari pengetatan kebijakan moneter, kenaikan harga energi dan pangan, kesulitan pasokan bahan pangan karena perang, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), persoalan logistik, serta pemulihan ekonomi.
"Inflasi yang akan menjadi tantangan karena meningkatkan kebutuhan subsidi, menurunkan daya beli masyarakat, dan dapat memicu Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan lebih cepat di mana ini kurang favorable untuk kegiatan investasi," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Inflasi sudah meroket sejak November tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi November (month-to month/mtm) 2021 berada di angka 0,37%. Torehan ini termasuk sangat tinggi mengingat November, secara historis, adalah bulan di mana Indonesia mencatatkan inflasi rendah.
Namun, mahalnya cabai membuat inflasi Indonesia meningkat. Harga cabai merah masih menjadi momok inflasi di bulan Desember hingga inflasi di bulan tersebut menyentuh level 0,57%. Di bulan Desember, harga cabai sudah menembus Rp 100.000/kg.
Habis lonjakan cabai terbitlah kenaikan harga minyak goreng dan kedelai. Harga minyak goreng menjadi sangat mahal sejak Desember hingga menembus di atas Rp 22.000/kg. Minyak goreng bahkan terus menjadi pengungkit inflasi hingga Februari karena kelangkaan pasokan. Sementara itu, harga kedelai yang terus melonjak membuat produsen tempe dan tahu mogok di pertengahan Februari.
Inflasi masih bertahan tinggi di Januari yakni menyentuh 0,56%. Pada Februari, Indonesia memang mencatatkan deflasi karena harga-harga yang sudah naik drastis di bulan sebelumnya.
Bank Mandiri memperkirakan inflasi masih akan bergerak naik ke depan, terutama jika ada kenaikan harga BBM dan listrik.
Perhitungan Bank Mandiri menunjukkan 10% peningkatan harga listrik menyebabkan kenaikan 0,4 poin persentase (ppt) pada laju inflasi. Asumsi 10% peningkatan harga BBM (bensin dan diesel) menyebabkan kenaikan 0,4 ppt pada laju inflasi.
Asumsi 10% peningkatan BBM Rumah Tangga menyebabkan kenaikan 0,2 ppt pada laju inflasi. Asumsi 10% peningkatan harga minyak goreng menyebabkan kenaikan 0,1 ppt pada laju inflasi.
Sementara itu, setiap 1% peningkatan pada laju inflasi akan mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar -0,21%.
Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja memperkirakan setiap 1 ppt kenaikan inflasi maka akan menurunkan pertumbuhan 0,08 ppt. UOB sudah merevisi proyeksi inflasi mereka untuk tahun ini menjadi 3,3% dari sebelumnya 2,4%. Kenaikan inflasi juga membuat mereka menurunkan proyeksi pertumbuhan menjadi 4,6-5,0% dari 4,7-5,3% pada tahun ini.
Seolah belum selesai, inflasi masih menghadapi ancaman dari kenaikan PPN mulai April. Kenaikan tersebut akan berdampak langsung terhadap harga karena peningkatan tarif langsung dibebankan kepada masyarakat. Padahal, tanpa kenaikan PPN, inflasi diperkirakan tinggi di April karena pada bulan tersebut ada momen Puasa.
Lonjakan harga ini sudah membuat Presiden Joko Widodo was-was. "Harga minyak dunia naik dua kali lipat, belum gas, belum lagi kelangkaan pangan, yang menyebabkan harga-harga juga akan melonjak," kata Jokowi dalam Pengarahan kepada Gubernur-gubernur di Hotel Novotel Balikpapan, Senin (14/3/2022).
Di sektor moneter, inflasi juga bisa membuat Bank Indonesia mempercepat kenaikan suku bunga. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berkali-kali menegaskan BI hanya akan menaikkan suku bunga jika sudah ada tanda-tanda tekanan inflasi. Sejauh ini, kata Perry, inflasi memang belum akan mengalami tekanan, dan diperkirakan masih dalam kisaran 3%.
Sebagai catatan, inflasi Indonesia pada tahun 2020 hanya tercatat 1,68% sementara pada tahun 2021 tercatat 1,87%. Inflasi melorot tajam karena lemahnya daya beli akibat pandemi.
Jika BI menaikkan suku bunga, kondisi tersebut dikhawatirkan akan semakin menurunkan pertumbuhan karena melemahnya pertumbuhan kredit.
Kenaikan inflasi juga bisa mengurangi daya tarik surat utang Indonesia karena menyempitnya bunga real buat investor.
Selain inflasi, perang dikhawatirkan akan menghambat pemulihan ekonomi global yang juga akan berimbas kepada ekonomi domestik. Perdagangan global yang sempat bergairah setelah pandemi bisa kembali terhantam karena perang membuat berkurangnya pasokan serta persoalan logistik.
Pada 15 Februari lalu, Direktur Pelaksana Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF), Kristalina Georgieva, mengatakan perang yang terjadi di Ukraina memberikan risiko yang signifikan ke kawasan tersebut dan ke perekonomian dunia.
Pada Januari lalu, IMF sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 4,4% dibandingkan proyeksi yang diberikan sebelumnya 4,9%. Pemangkasan tersebut dilakukan karena adanya "hambatan" yang disebabkan penyebaran virus corona varian Omicron.
Kenaikan harga subsidi BBM juga telah melambungkan harga BBM sehingga dikhawatirkan bisa membebani APBN karena pembengkakan subsidi.
Harga minyak mentah sudah menembus US$100/barel lebih, jauh di atas harga ICP yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2022 sebesar US$63/barel.
Kenaikan harga minyak bisa membuat subsidi BBM pada tahun ini yang ditetapkan Rp 77,55 triliun membengkak berkali lipat. Pasalnya berdasarkan hitungan, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun. Artinya, bisa berdampak pada kenaikan beban APBN sebesar Rp 4,17 triliun setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA