Jika Minyak US$ 300/Barel: Utang RI Bengkak, Rupiah Tumbang!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 March 2022 07:45
Pertamina
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang di Ukraina berdampak ke segala penjuru. Salah satu ekses yang terlihat adalah lonjakan harga komoditas.

Amerika Serikat (AS) dan sekutunya masih membuka opsi penjatuhan sanksi kepada Rusia, pihak yang menyerang Ukraina, berupa larangan ekspor. Jika sanksi ini berlaku, maka AS dkk akan menghukum siapa saja yang berani membeli barang dari Negeri Beruang Merah.

Salah satu produk andalan ekspor Rusia adalah minyak bumi. International Energy Agency mencatat, Rusia adalah eksportir minyak mentah kedua terbesar di dunia, hanya kalah dari Arab Saudi. Namun untuk minyak secara keseluruhan (dengan produk-produk turunannya), ekspor Rusia adalah nomor satu dunia.

Pada 2021, ekspor minyak Rusia tercatat 7,8 juta barel/hari. Terbanyak adalah minyak mentah dan kondensat 5 juta barel/hari, atau 64% dari total ekspor.

Kemudian ekspor produk minyak Rusia tahun lalu adalah 2,85 juta barel/hari. Terdiri dari 1,1 juta barel/hari gasoil, 650.000 barel/hari bahan bakar minyak, dan 500.000 barel/hari naphta, 280.000 barel/hari vacuum gas oil (VCO). Plus liquefied petroleum gas (LPG), avtur, dan petroleum coke dengan total 350.000 barel/hari.

crudeSumber: IEA

Oleh karena itu, kalau sampai Rusia kena sanksi dan tidak bisa menjual minyak ke negara-negara lain, dampaknya akan luar biasa. Sebab, Rusia adalah salah satu pemain utama di pasar minyak dunia.

Kekhawatiran akan seretnya pasokan ke pasar dunia membuat harga si emas hitam melonjak. Pada Selasa (8/3/2022) pukul 19:56 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 126,57/barel. Naik 2,73% ketimbang hari sebelumnya sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 2008.

Di tengah ancaman sanksi, Kremlin buka suara. Alexander Novak, Wakil Perdana Menteri Rusia, mengungkapkan harga minyak dunia bisa lebih 'menggila' tanpa pasokan dari negaranya.

"Penolakan terhadap minyak dunia akan menjadi bencana bagi pasar dunia. Harga bisa naik dua kali lipat menjadi US$ 300/barel," tegasnya, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Awas, Barang Made in China Naik Harga

Apa yang terjadi kalau harga minyak benar-benar menyentuh US$ 300/barel? Well, yang jelas dampaknya akan luar biasa.

Dampak ini akan sangat dirasakan oleh negara-negara dengan ketergantungan akan minyak impor. Mengutip Statista, adalah China yang menjadi importir minyak terbesar dunia. Pada 2020, Negeri Tirai Bambu mendatangkan 11,16 juta barel/hari minyak mentah dan 1,71 juta barel/hari produk minyak.

Kalau harga minyak sampai ke US$ 300/barel, maka biaya produksi barang bikinan China pasti akan naik. Hasilnya, harga jual barangnya pun bakal ikut terkerek.

Masalahnya, China adalah negara eksportir terbesar dunia. Produk-produk China menjadi pemandangan sehari-hari, mulai dari peniti sampai komponen pesawat terbang. Sampai ada pameo "bumi dan seisinya adalah ciptaan Tuhan, sisanya made in China".

Pada 2020, nilai ekspor China mencapai US$ 2,59 triliun. Angka ini setara dengan 13,2% total ekspor dunia.

Jadi saat barang-barang China naik harga, dampaknya akan terasa ke seluruh dunia. Seluruh negara bisa mengalami tekanan inflasi.

"Pasar sangat khawatir dengan kenaikan harga yang terjadi di China. Jika pembeli membayar produk China dengan harga yang lebih tinggi, maka China 'mengekspor' inflasi ke seluruh dunia," sebut Chi Lo, Senior Market Strategist di BNP Paribas Asset Management, dalam risetnya.

Padahal dunia baru mencoba pulih dari pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang meneror selama dua tahun terakhir. Lonjakan inflasi tentu berisiko menahan proses pemulihan ini, karena inflasi akan menggerus daya beli dan pada akhirnya menekan konsumsi rumah tangga.

Halaman Selanjutnya --> Utang Indonesia Bisa Bengkak

Bagaimana dengan Indonesia? Kira-kira bagaimana dampaknya ke Tanah Air kalau harga minyak betul-betul menyentuh US$ 300 barel/hari?

Dari sisi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kenaikan harga minyak justru bisa mendatangkan keuntungan. Mengutip Nota Keuangan dan APBN 2022, kenaikan harga minyak justru berdampak positif.

Asumsi rata-rata harga minyak di APBN 2022 adalah US$ 63/barel. Setiap harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) naik rata-rata US$ 1/barel, maka belanja negara akan naik Rp 2,6 triliun. Namun pendapatan negara naik lebih tinggi yakni Rp 3 triliun. Jadi secara neto ada 'untung' Rp 0,4 triliun. Semakin tinggi harga minyak, pundi-pundi kas negara akan bertambah banyak.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa perhitungan itu adalah ceteris paribus, mengasumsikan faktor lain tidak berubah. Padahal kalau harga minyak naik, pasti asumsi makro lainnya juga akan terpengaruh.

Seperti yang disebut sebelumnya, kenaikan harga minyak akan memicu inflasi global. Percepatan laju inflasi tentu akan ikut mendorong kenaikan suku bunga, termasuk imbal hasil (yield) obligasi.

Pada 8 Maret 2021, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor tahun ditutup 6,798%. Ini adalah yang tertinggi sejak Maret 2021.

APBN 2022 mengasumsikan rata-rata bunga SUN tenor 10 tahun sebesar 6,8%. Sejak awal 2022 hingga 8 Maret, rata-ratanya sudah di 6,47%.

"Yield surat utang Indonesia sangat mungkin untuk terus naik. Kami memperkirakan yield SUN valas tenor 10 tahun akan naik menuju 6,75% pada pekan atau bulan-bulan ke depan," tulis riset Citi.

Dokumen Nota Keuangan dan APBN 2022 mencantumkan setiap kenaikan rata-rata yield SUN 10 tahun sebesar 1%, maka belanja negara akan bertambah Rp 0,9 triliun untuk pembayaran kupon. Sementara kenaikan yield tidak menyumbang apapun di sisi penerimaan, sehingga total akan menyebabkan kerugian Rp 0,9 triliun.

Pada 2021, anggaran untuk pembayaran bunga utang tercatat Rp 366,23 triliun. Tahun ini anggarannya naik menjadi Rp 405,87 triliun. Angka ini bisa bertambah jika yield SUN terus naik.

Halaman Selanjutnya --> Rupiah Bisa Lemah

Dampak lain yang bisa dirasakan Indonesia adalah tingginya biaya impor minyak. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor minyak mentah sepanjang 2021 adalah US$ 7,05 miliar. Melonjak 107,96% dibandingkan tahun sebelumnya.

Jika harga minyak semakin mahal maka bisa dipastikan biaya impor ikut terdongkrak. Ini akan semakin menekan transaksi berjalan (current account) Indonesia.

Pada 2021, neraca migas Indonesia mengalami defisit US$ 12,96 miliar. Jauh lebih dalam ketimbang 2020 yang defisit US$ 5,39 miliar.

Untungnya pos lain mampu menutup defisit neraca migas sehingga keseluruhan transaksi berjalan sepanjang 2021 bisa surplus US$ 3,33 miliar. Ini menjadi surplus transaksi berjalan pertama sejak 2011.

Namun kalau harga minyak naik terus, apalagi tembus US$ 300/barel, maka bisa dipastikan neraca migas Indonesia bakal kian 'jebol'. Belum lagi kenaikan harga minyak tentu akan ikut mengangkat biaya logistik, yang akan membuat defisit neraca jasa-jasa akan semakin parah karena kenaikan biaya pengangkutan (freight).

Sepanjang 2021, neraca jasa-jasa Indonesia mengalami defisit US$ 14,78 miliar. Lebih dalam ketimbang 2020 yang minus US$ 3,73 miliar.

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan valas dan ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari transaksi berjalan lebih berdimensi jangka panjang, lebih awet ketimbang arus modal dari pasar keuangan alias hot money.

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Ketika transaksi berjalan sehat, maka mata uang menjadi lebih kuat, tidak mudah 'digoyang'.

Namun saat transaksi berjalan ambles, maka mata uang menjadi pesakitan. Mudah melemah, mudah terombang-ambing oleh sentimen eksternal. Risiko inilah yang bisa dihadapi rupiah, andai harga minyak benar-benar mencapai US$ 300/barel.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular