Transaksi Berjalan RI Surplus di 2021, Thanks Batu Bara!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2022 13:35
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik datang dari dalam negeri yang menunjukkan perekonomian semakin membaik dan kuat di tahun 2021. Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus begitu juga dengan transaksi berjalan (current account) yang sebelumnya selalu defisit dalam satu dekade terakhir.

"Perkembangan NPI secara keseluruhan tahun 2021 mencatat surplus tinggi, sehingga ketahanan sektor eksternal tetap terjaga. Surplus NPI tahun 2021 tercatat sebesar 13,5 miliar dolar AS, jauh meningkat dibandingkan capaian surplus pada tahun sebelumnya sebesar 2,6 miliar dolar AS," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (18/2).

Secara kuartalan, NPI memang mengalami defisit US$ 0,8 miliar pada periode Oktober-Desember. Hal ini terjadi akibat defisit transaksi modal dan finansial sebesar US$ 2,4 miliar, tetapi kabar baiknya transaksi berjalan masih mencatat surplus. 

Pos transaksi berjalan mencatat surplus US$ 3,3 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2021. Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.

Jika dilihat secara kuartalan, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 1,4 miliar (0,4% dari PDB) di kuartal IV-2021, lebih rendah dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.

Turunnya surplus tersebut mengikuti penurunan surplus neraca perdagangan barang akibat peningkatan impor di kuartal IV. Meski demikian, hal itu bukan berarti kabar buruk, sebab peningkatan impor yang didominasi barang modal dan bahan baku/penolong berarti roda perekonomian di dalam negeri berputar lebih kencang.

Surplus neraca perdagangan menjadi penopang transaksi berjalan pada tahun lalu. Neraca perdagangan Indonesia hingga Januari lalu bahkan mencatat surplus 21 bulan beruntun. Faktor utamanya yakni tingginya harga komoditas ekspor andalan Indonesia, khususnya batu bara.

Sepanjang tahun 2021 rata-rata harga batu bara acuan Ice Newcastle mencatat kenaikan sebesar 120% dibandingkan rata-rata harga di 2020, berdasarkan data Refinitiv.

Berdasarkan laporan BI, nilai ekspor batu bara melesat 166,4% year-on-year (yoy) di kuartal IV-2021. Tingginya nilai tersebut terjadi akibat harga ekspor yang dilaporkan naik 157,4% (yoy).

Sementara itu komoditas ekspor utama lainnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), justru mengalami pelambatan cukup dalam dengan tumbuh 22% (yoy) di kuartal IV, dari kuartal sebelumnya 95,5% (yoy).

Meski demikian, rata-rata harga CPO juga tercatat naik naik 53% di tahun lalu dari tahun sebelumnya.

Menurut laporan BI, surplus neraca perdagangan barang di kuartal IV-2021 menurun menjadi US$ 12,4 miliar dari kuartal sebelumnya US$ 15,4 miliar.

Penurunan tersebut terjadi akibat defisit neraca migas yang melebar menjadi US$ 5 miliar karena kenaikan harga minyak mentah. Sementara surplus neraca perdagangan non-migas tercatat sebesar 17,5 miliar.

Sepanjang 2021, neraca perdagangan barang tercatat sebesar US$ 43,8 miliar, lebih tinggi dari 2020 sebesar US$ 28,3 miliar.

Sementara itu neraca pendapatan sekunder juga membantu transaksi berjalan mencatat surplus di kuartal IV-2021. Sektor ini mencatat surplus sebesar US$ 1,9 miliar, lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya US$ 1,4 miliar.

Kenaikan terutama ditopang oleh hibah yang diterima pemerintah guna bantuan kesehatan dalam rangka penanganan pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Sepanjang 2021 neraca pendapatan sekunder tercatat surplus US$ 6,3 miliar lebih tinggi dari 2020 sebesar US$ 5,9 miliar.

Sebaliknya neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan primer menjadi penekan transaksi berjalan.

Sepanjang 2021 neraca perdagangan jasa tercatat defisit sebesar US$ 14,8 miliar, lebih tinggi ketimbang 2020 sebesar US$ 9,8 miliar. Wajar saja, di tahun 2021 lalu pemerintah berkali-kali mengetatkan pembatasan sosial yang membuat mobilitas warga menurun.

Kemudian neraca pendapatan primer sepanjang 2021, defisit transaksi primer tercatat sebesar US$ 32 miliar naik dari tahun sebelumnya US$ 28,9 miliar.

Di kuartal IV-2021 defisit tercatat sebesar US$ 8,9 miliar, lebih tinggi dari sebelumnya US$ 8,3 miliar.

BI melaporkan defisit tersebut terjadi akibat meningkatnya pembayaran imbal hasil investasi langsung menjadi US$ 5,9 miliar begitu juga investasi portofolio terutama pembayaran bunga swasta nonbank.

Secara keseluruhan, transaksi berjalan yang mencatat surplus 0,3% dari PDB bisa menjadi kabar bagus terutama bagi nilai tukar rupiah. Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos NPI lainnya, yakni Transaksi Modal dan Finansial.

Surplus transaksi berjalan bisa membuat pergerakan rupiah lebih stabil, yang tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Agresif Transaksi Modal dan Finansial Defisit

Transaksi Modal dan Finansial mencatat defisit di kuartal IV-2021 sebesar US$ 2,4 miliar (0,7% dari PDB) setelah mencatat surplus US$ 6,7 miliar (2,2% dari PDB) di kuartal sebelumnya. Berbaliknya salah satu pos NPI ini menjadi defisit akibat aliran modal keluar yang terjadi merespon normalisasi kebijakan moneter The Fed (Bank sentral Amerika Serikat).

Hal ini menujukan bagaimana mudahnya keluar masuknya devisa di pos transaksi modal dan finansial yang terdiri dari investasi langsung, investasi portofolio dan lainnya.

Investasi langsung masih mencatat surplus US4 3,4 miliar di kuartal IV, tetapi investasi portofolio defisit US$ 4,8 miliar, begitu juga dengan investasi lainnya defisit US$ 1,1 miliar.

Aliran modal keluar dari pasar obligasi Indonesia menjadi pemicu besarnya defisit investasi portofolio. BI mencatat investor asing melakukan jual bersih (net sell) Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi Rupiah senilai US$ 4,5 miliar di kuartal IV, jauh lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya US$ 1,4 miliar.

Akibatnya kepemilikan asing di SUN saat ini menjadi US$ 61,2 miliar atau 22,9% dari total SUN, dibandingkan sebelumnya US$ 65,5 miliar atau 26.1%.

Seperti diketahui The Fed pada kuartal IV-2021 lalu mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Tapering pertama diumumkan pada bulan November, tetapi di bulan Desember The Fed melipatgandakan nilainya sehingga QE bisa selesai lebih awal di bulan Maret 2021 dari rencana sebelumnya pertengahan tahun ini.

Selain itu, The Fed juga mengindikasikan akan menaikkan suku bunga di bulan Maret dan diikuti kenaikan selanjutnya plus pengurangan nilai neraca.

Agresifnya The Fed dalam menormalisasi kebijakan moneternya membuat yield Treasury AS melesat naik yang memicu aliran modal keluar dari dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular