
Jokowi Cetak Rekor Baru, Diramal Tak Tahan Lama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menorehkan kinerja spektakuler sepanjang 2022. Tidak hanya ekonomi yang bisa tumbuh 5,31%, tertinggi sepanjang kepemimpinannya, Indonesia berhasil mencetak rekor baru transaksi berjalan mencetak rekor baru pada tahun lalu.
Data riset CNBC Indonesia menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam 42 tahun, transaksi berjalan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 13,22 miliar. Secara nilai, ini adalah surplus terbesar sepanjang masa.
Adapun bila disandingkan dengan Produk domestik Bruto (PDB), transaksi berjalan pada tahun ini setara dengan 1% dari PDB. Catatan tersebut menjadi yang terbaik sejak 2009 (1,97% dari PDB).
Kinerja brilian tersebut ditopang oleh ekspor Indonesia. Dari data BPS, ekspor barang tercatat US$ 292,55 miliar pada 2022 sementara impor tercatat US$ 229, 87 miliar. Dengan demikian, neraca ekspor impor barang mencatat surplus US$ 62,68 miliar.
Catatan ekspor, terutama windfall profit batu bara, inilah yang membuat neraca transaksi berjalan Indonesia menggemuk. Namun, kelanggengan surplus transaksi berjalan ini diragukan.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri melihat ada kemungkinan besar tidak lagi terjadinya ledakan komoditas di tahun ini karena melihat terjadinya tren penurunan harga komoditas.
"Neraca pembayaran kita memang masih surplus dan masih cukup baik, tetapi itu lebih banyak disumbangkan karena windfall profit yang ada, windfall profit ini yang membuat neraca perdagangan kta cukup kuat. Oleh karena itu kalau windfall enggak ada akan seperti apa?" katanya dalam Media Briefing di CSIS, Senin (20/2/2023).
Selain itu, Yose melihat kinerja ekspor tahun ini juga berisiko menurun mengingat produk-produk andalan ekspor Indonesia mengalami penurunan permintaan. Hal ini sebagai akibat dari kondisi perekonomian mitra dagang Indonesia yang melemah akhir-akhir ini.
"Produk-produk manufaktur yang dulu menjadi andalan seperti ekspor makanan, ekspor alas kaki, garmen dan furniture itu trennya malah menurun. Memang sudah membaik dibandingkan ketika pandemic, tapi trennya malah mengalami penurunan lagi dan ini akan jadi permasalahan di sisi neraca perdagangannya," jelasnya.
Di sisi lain, dia melihat tekanan capital outflow juga akan menghantui.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Faisal Rachman melihat ada sejumlah faktor yang akan mengembalikan transaksi berjalan menjadi defisit pada tahun ini.
Pertama, impor akan meningkat lebih tinggi dari ekspor pada tahun ini.
"Hal ini karena kami melihat permintaan domestik terus menguat, seiring dengan pencabutan PPKM pada akhir 2022 dan keputusan untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional," jelas Faisal.
Namun, impor pada tahun ini bisa melemah dari pertumbuhan tahun 2022, karena harga minyak yang lebih rendah dan antisipasi penurunan ekspor. Sebagian bahan baku untuk memproduksi barang ekspor diperoleh dari impor.
Kendati demikian pembukaan kembali ekonomi China, ekonomi terbesar kedua di dunia, juga dapat menarik investor untuk mencari penyeimbangan portofolio kawasan Asia.
Adapun sebagian besar bank sentral utama diperkirakan akan mempertahankan suku bunga kebijakan global yang lebih tinggi, untuk jangka waktu yang lebih lama untuk menjinakkan inflasi.
Suku bunga bank sentral yang tinggi, tentu akan membuat para investor untuk berburu mencari safe heaven untuk berinvestasi, yakni pada aset berdenominasi dolar AS, serta pasar modal di negara yang menawarkan imbal hasil cukup baik.
"Kami melihat kenaikan suku bunga mencapai puncaknya pada paruh pertama 2023," ujar Faisal.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo: Ada yang Mau Pisahkan Saya dan Jokowi
