
Pajak Karbon RI Rp 75/kg Jauh dari Rekomendasi Bank Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, usulan besaran pajak karbon minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF).
Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 - US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 - Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.
"Dari sisi harga, sejumlah rekomendasi menyatakan untuk carbon pricing yang ideal berkisar antara US$ 35 sampai dengan US$ 100/ton, sehingga benar-benar efektif dampaknya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/06/2021).
"Jadi, dengan harga Rp 75/kg seperti yang diusulkan, sepertinya masih jauh dari rekomendasi World Bank atau IMF untuk negara berkembang," ujarnya.
Fabby menyarankan agar harga karbon disesuaikan dengan target untuk mencapai emisi nol (net zero emission) Indonesia pada 2050 dan kebutuhan investasi untuk melakukan transformasi sistem energi menuju net zero emission.
Dia pun meminta agar pajak karbon ini tidak hanya semata-mata untuk menambal APBN, tapi tidak efektif, tidak sesuai dengan tujuannya untuk mengurangi emisi karbon.
"Jangan kebijakan pajak karbon semata-mata hanya untuk menambal APBN tapi tidak efektif. Ini artinya hanya akan membebani rakyat saja, tapi manfaat sosial dan lingkungan dari penerapan pajak karbon tersebut tidak dapat diraup," paparnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dalam membahas pajak karbon pemerintah harus terbuka dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, organisasi non-pemerintah (NGO), akademisi, dan para ahli.
"Pemerintah harus terbuka membahas rencana penerapan pajak karbon, melibatkan masyarakat, NGO, akademisi, dan para ahli, tidak hanya terbatas dibahas oleh Kementerian Keuangan saja. Saya lihat kecenderungan pemerintah seperti ini," sesalnya.
Meski demikian, Fabby mengapresiasi rencana pajak karbon yang akan dibuat pemerintah. Salah satu instrumen harga karbon (carbon pricing) bisa diterapkan melalui pajak karbon dan diharapkan bisa mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon, serta transformasi sistem energi menuju sistem energi terbarukan, mendorong penerapan teknologi rendah emisi, sekaligus menambah penerimaan negara.
"Yang perlu diperhatikan adalah desain dari regulasi pajak karbon ini, sehingga kebijakannya efektif mendorong transformasi yang direncanakan," imbuhnya.
Sebelumnya, rencana pajak karbon ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rencana ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama Komisi XI DPR RI, Senin (28/06/2021).
Dari paparan Sri Mulyani yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (28/6/2021), ada beberapa alasan pengenaan tarif karbon ini, salah satunya adalah isu lingkungan.
Sebab, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% pada tahun ini dan 29% pada tahun 2030. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan ini, maka regulasi untuk pungutan atas emisi karbon diperlukan.
"Salah atau instrumen untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca adalah diperlukan ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon," tulis paparan Sri Mulyani.
Selain itu, juga dijelaskan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan kerugian cukup besar setiap tahunnya. Bahkan, untuk mengendalikan perubahan iklim, Indonesia selalu kekurangan biaya.
Hal ini tercermin dari gap pembiayaan yang dibutuhkan dengan besaran anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Pada tahun 2016 jumlah belanja yang disediakan pemerintah dalam APBN sebesar 19,7% dan kekurangan pembiayaan 80,3%.
Lalu pada tahun 2019 pendanaan yang tersedia 31,4% saja dan kekurangan pendanaan sekitar 68,6% dari total anggaran penanganan perubahan iklim yang dibutuhkan.
Oleh karenanya, penerimaan dari pajak karbon sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim ini.
"Pajak karbon untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca," tulis Kemenkeu.
Di dalam draf RUU KUP yang diterima CNBC Indonesia, rencananya tarif pajak yang ditetapkan, minimal Rp 75/kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Dijelaskan juga subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Adapun pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tekan Emisi, Pemerintah Siapkan Aturan Nilai Ekonomi Karbon
