Ekspor RI Meroket, Awas Kena 'Penyakit Belanda'!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 June 2021 10:50
Bongkar Muat Batu Bara
Foto: Bongkar Muat Batu Bara di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja ekspor Indonesia pada 2021 sangat moncer. Dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan ekspor hingga puluhan persen adalah sesuatu yang akrab dilihat.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Pada Mei 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sebesar US$ 16,6 miliar, melonjak 58,76% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year/yoy. Ini menjadi pertumbuhan tertinggi sejak Januari 2010.

Lonjakan harga komoditas andalan ekspor Indonesia menjadi penyebabnya. Menurut catatan BPS, harga batu bara melejit 103,9% yoy, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) meroket 174% yoy, dan tembaga terdongkrak 93,4%.

"Hampir seluruh komoditas non-migas mengalami kenaikan harga seperti batu bara, minyak kelapa sawit, timah,tembaga, nikel, emas. Meningkatnya permintaan, dibarengi dengan kenaikan harga membuat performa ekspor kita mengalami peningkatan yang menggembirakan," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers secara virtual.

Ya, harga komoditas memang sedang menggila. Sejak awal tahun, harga sejumlah komoditas utama ekspor Indonesia naik sangat tinggi.

Misalnya, harga batu bara di pasar ICE Newcastle sejak awal tahun meroket 47,11%. Kini harga sudah berada di atas US$ 100/ton, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak November 2018.

Halaman Selanjutnya --> Ekspor Indonesia Masih Jualan 'Tanah-Air'

Di satu sisi, ini adalah kabar yang menggembirakan. Pemulihan ekspor tentu akan membantu Indonesia keluar dari 'jurang' resesi ekonomi.

Ekspor merupakan salah satu kontributor utama dalam pembentukan PDB dengan sumbangan 17,17% tahun lalu. Kinerja ekspor yang tentunya lebih baik dari tahun lalu memberi harapan bahwa pada 2021 ekonomi Tanah Air sudah mampu tumbuh positif.

"Ekspor kita meningkat, impor naik tinggi terutama bahan baku dan barang modal. Performa ini berarti keniakan ekspor-impor April-Mei akan memberikan kontribusi positif ke pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021. Kita berharap ekonomi tumbuh tinggi dan meninggalkan zona kontraksi," tambah Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Namun di sisi lain, ekspor yang moncer menyimpan risiko yang tidak bisa dianggap enteng. Ini karena ekspor Indonesia masih sangat bergantung kepada komoditas.

Sepanjang Januari-Mei 2021, ada dua kelompok dengan sumbangan signifikan terhadap ekspor Indonesia yaitu lemak dan minyak hewan/nabati dengan nilai US$ 11,95 miliar (15,04% dari ekspor non-migs) dan bahan bakar mineral yang sebesar US$ 10,25 miliar (129%). Lemak dan minyak hewan/nabati didominasi oleh CPO sedangkan bahan bakar mineral mayoritas adalah batu bara.

Artinya, ekspor Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif. Hanya karena Indonesia memiilki produknya dan negara lain tidak punya, itu pun pemberian Tuhan yang Maha Kuasa karena batu bara dan CPO adalah hasil alam.

Berbeda dengan keunggulan komparatif. Keunggulan ini diraih ketika suatu produk sama-sama dimiliki oleh dua negara, tetapi salah satunya lebih laris karena unggul baik di sisi kualitas, harga, pelayanan, dan sebagainya. Keunggulan komparatif mencerminkan kerja keras, usaha, dan kualitas, bukan sesuatu yang dari sononya.

Helmi Arman, Ekonom Citi, melihat situasi ekspor saat ini mirip dengan 2010-2011. Kala itu, ekonomi beranjak pulih setelah dihantam oleh krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC) dan harga komoditas melonjak pesat.

"Ekspor semacam ini berdiri di atas fundamental yang tidak stabil. Setelah harga komoditas turun, kinerja ekspor akan berbalik dengan cepat. Dalam pandangan kami, risiko pembalikan harga komoditas tidak bisa diabaikan," tegas Helmi dalam risetnya.

Helmi betul. Sejak awal 2010 hingga akhir 2011, rata-rata ekspor tumbuh 33,76% yoy setiap bulannya. Namun pada 2012, rata-rata pertumbuhan ekspor adalah -5,99% per bulan.

Ini karena harga komoditas balik kanan setelah naik tajam. Contoh, sepanjang 2010-2011 rata-rata harga batu bara ada di US$ 110,73/ton. Pada 2012, rata-rata harga si batu hitam turun 12,43% menjadi US$ 96,96/ton.

Pada 2011, ekspor yang melonjak tajam mendorong pertumbuhan ekonomi 2010 hingga 6,22%, tertinggi sepanjang era Reformasi. Namun selepas itu, ketika harga komoditas turun, pertumbuhan ekonomi terus melambat hingga jauh di bawah 6%.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Masih Mengidap 'Penyakit Belanda' 

Oleh karena itu, Indonesia wajib waspada. Jangan sampai ekonomi yang bangkit tahun ini langsung 'tiarap' lagi tahun-tahun berikutnya gara-gara penurunan harga komoditas.

Jangan sampai Indonesia terjebak terus-terusan mengidap Penyakit Belanda alias Dutch Disease. Penyakit ini ditandai oleh ekonomi suatu negara yang sangat mengandalkan komoditas, menjual tanah-air, sehingga lupa mengembangkan sektor yang memiliki nilai tambah seperti industri pengolahan.

Harus diakui, ini terjadi di Indonesia. Peranan sektor manufaktur dalam pembentukan PDB semakin berkurang. Kini sumbangan sektor manufaktur sudah di bawah 20%. Deindustrialisasi.

Kita boleh senang bahwa ekspor tumbuh tinggi, yang pada akhirnya bakal mendongrak pertumbuhan ekonomi. Kita boleh lega ekspor bisa mengangkat derajat Indonesia sampai 'lulus' dari ujian resesi.

Senang dan lega boleh saja, tetapi jangan terlena. Jangan terlalu asyik menjual bahan mentah dan menikmati harga yang sedang tinggi. Ingat, harga tidak selamanya tinggi dan permintaan tidak selalu membeludak.

Indonesia harus berubah. Ke depan, jangan lagi menggantungkan diri dari penjualan bahan mentah. Indonesia mesti mengembangkan industri, yang berdaya saing dan memberikan nilai tambah.

Belanda lama menguasai Indonesia, dan 'penyakitnya' juga menulari Ibu Pertiwi. Ini harus segera disembuhkan...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular