Ekspor RI Meroket, Awas Kena 'Penyakit Belanda'!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 June 2021 10:50
Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Di satu sisi, ini adalah kabar yang menggembirakan. Pemulihan ekspor tentu akan membantu Indonesia keluar dari 'jurang' resesi ekonomi.

Ekspor merupakan salah satu kontributor utama dalam pembentukan PDB dengan sumbangan 17,17% tahun lalu. Kinerja ekspor yang tentunya lebih baik dari tahun lalu memberi harapan bahwa pada 2021 ekonomi Tanah Air sudah mampu tumbuh positif.

"Ekspor kita meningkat, impor naik tinggi terutama bahan baku dan barang modal. Performa ini berarti keniakan ekspor-impor April-Mei akan memberikan kontribusi positif ke pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021. Kita berharap ekonomi tumbuh tinggi dan meninggalkan zona kontraksi," tambah Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Namun di sisi lain, ekspor yang moncer menyimpan risiko yang tidak bisa dianggap enteng. Ini karena ekspor Indonesia masih sangat bergantung kepada komoditas.

Sepanjang Januari-Mei 2021, ada dua kelompok dengan sumbangan signifikan terhadap ekspor Indonesia yaitu lemak dan minyak hewan/nabati dengan nilai US$ 11,95 miliar (15,04% dari ekspor non-migs) dan bahan bakar mineral yang sebesar US$ 10,25 miliar (129%). Lemak dan minyak hewan/nabati didominasi oleh CPO sedangkan bahan bakar mineral mayoritas adalah batu bara.

Artinya, ekspor Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif. Hanya karena Indonesia memiilki produknya dan negara lain tidak punya, itu pun pemberian Tuhan yang Maha Kuasa karena batu bara dan CPO adalah hasil alam.

Berbeda dengan keunggulan komparatif. Keunggulan ini diraih ketika suatu produk sama-sama dimiliki oleh dua negara, tetapi salah satunya lebih laris karena unggul baik di sisi kualitas, harga, pelayanan, dan sebagainya. Keunggulan komparatif mencerminkan kerja keras, usaha, dan kualitas, bukan sesuatu yang dari sononya.

Helmi Arman, Ekonom Citi, melihat situasi ekspor saat ini mirip dengan 2010-2011. Kala itu, ekonomi beranjak pulih setelah dihantam oleh krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC) dan harga komoditas melonjak pesat.

"Ekspor semacam ini berdiri di atas fundamental yang tidak stabil. Setelah harga komoditas turun, kinerja ekspor akan berbalik dengan cepat. Dalam pandangan kami, risiko pembalikan harga komoditas tidak bisa diabaikan," tegas Helmi dalam risetnya.

Helmi betul. Sejak awal 2010 hingga akhir 2011, rata-rata ekspor tumbuh 33,76% yoy setiap bulannya. Namun pada 2012, rata-rata pertumbuhan ekspor adalah -5,99% per bulan.

Ini karena harga komoditas balik kanan setelah naik tajam. Contoh, sepanjang 2010-2011 rata-rata harga batu bara ada di US$ 110,73/ton. Pada 2012, rata-rata harga si batu hitam turun 12,43% menjadi US$ 96,96/ton.

Pada 2011, ekspor yang melonjak tajam mendorong pertumbuhan ekonomi 2010 hingga 6,22%, tertinggi sepanjang era Reformasi. Namun selepas itu, ketika harga komoditas turun, pertumbuhan ekonomi terus melambat hingga jauh di bawah 6%.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Masih Mengidap 'Penyakit Belanda' 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular