Jakarta, CNBC Indonesia - Belum saatnya untuk lengah dan menganggap enteng pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Saat kita lengah dan takabur, maka virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu bakal menyerang lagi.
Sudah lebih dari setahun Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Berbagai upaya pencegahan sudah dilakukan. Plus kini sudah ada vaksin anti-virus corona.
Akan tetapi, virus corona memang belum mau pergi. Di sejumlah negara, malah semakin ganas.
Setelah Eropa, kini mata dunia tertuju ke India. Ya, Negeri Bollywood kini tengah menghadapi 'tsunami' Covid-19 yang sangat dahsyat.
Menurut catatan WHO, jumlah pasien positif corona di India per 21 April 2021 adalah 15.616.130 orang. Bertambah 295.041 orang dari hari sebelumnya. Ini adalah kenaikan harian terbanyak sejak virus corona mewabah di India.
Dalam 14 hari terakhir (8-21April 2021), rata-rata pasien baru bertambah 201.025 orang per hari. Melonjak tajam dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 76.266 orang setiap harinya.
Sementara jumlah total pasien meninggal per 21 April 2021 adalah 182.553 orang. Bertambah 2.023 orang dari hari sebelumnya, juga yang tertinggi selama pandemi melanda.
Selama dua pekan terakhir, rata-rata pasien yang tutup usia bertambah 1.169 orang per hari. Jauh lebih banyak ketimbang rerata dua minggu sebelumnya yaitu 409 orang per hari.
Untuk menekan penyebaran virus corona, ibu kota New Delhi menerapkan lockdown selama enam hari. Begitu pula dengan Negara Bagian Maharashtra, yang di dalamnya mencakup Mumbai (pusat industri keuangan di India).
Beberapa negara juga telah menutup rute perjalanan dari dan ke India, seperti Pakistan dan Filipina. Sedangkan Inggris menempatkan India di daftar merah perjalanan.
Halaman Selanjutnya --> Pasar Keuangan Indonesia Merah
Perkembangan pandemi yang mengerikan di India berdampak luas. Pasar keuangan dunia ikut grogi.
Khawatir akan 'tsunami' corona di India, investor di pasar keuangan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko, terutama di negara berkembang, mengalami tekanan jual.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutp melemah 0,75% pada 21 April 2021. Investor asing membukukan jual bersih 577,68 miliar.
Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun naik1,2 basis poin (bps) menjadi 6,44%. Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena maraknya aksi jual.
Aksi 'buang' di psar saham dan obligasi membuat nilai tukar rupiah melemah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terdepresiasi 0,21% ke Rp 14.525/US$ di perdagangan pasar spot.
"Kita belum keluar dari hutan belantara pandemi virus corona. Antusiame terhadap dibukanya kembali aktivitas publik mulai mereda," tutur Michael James, Managing Direkctor di Wedbush Securities yang berbasis di Los Angeles (AS), seperti dikutip dari Reuters.
India menjadi penting karena merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Pada 2020, nilai output ekonomi India adalah US$ 2,59 triliun, berada di peringkat enam dunia.
Di level Asia, India pun masuk papan atas. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Anak Benua hanya kalah dari China dan Jepang.
Ketika India terpaksa 'digembok' untuk meredam penyebaran virus corona, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat akan sangat terbatas. Ini tentu membuat prospek perekonomian India jadi samar-samar, risiko ke bawah (downside risk) sangat tinggi.
Dengan status sebagai kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia dan ketiga Asia, derita India tentu akan berdampak ke negara-negara lain. Minimal ekspor ke India bakal sulit karena permintaan pasti anjlok. So, India kemungkinan dapat menyeret perekonomian dunia menjadi tumbuh lebih rendah.
Persepsi semacam ini membuat pelaku pasar agak ragu. Daripada ragu dan kemudian rugi, lebih baik jangan terlalu dalam mengambil posisi. Akibatnya, aliran modal yang masuk ke aset berisiko di negara berkembang Asia menjadi seret, termasuk ke Indonesia.
Halaman Selanjutnya --> Pasar Komoditas Guncang
Di pasar komoditas, kehadiran India juga sangat signifikan. Misalnya untuk komoditas batu bara.
Pada 2019, volume impor batu bara India mencapai 266,44 juta ton. Ini adalah yang terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China.
Risiko kelesuan permintaan batu bara dari India gara-gara lockdown membuat harga komoditas ini terkoreksi. Harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) pada 21 April 2021 anjlok 2,27% hingga berada di bawah US$ 90/ton.
Demikian pula minyak minyak mentah. Pada 2019, India mengimpor minyak sebanyak 3,18 juta barel/hari, terbanyak keempat dunia.
Permintaan energi di India tentu akan turun drastis jka aktivitas masyarakat sangat terbatas akibat lockdown. Akibatnya, harga minyak dunia anjlok. Kemarin, harga minyak jenis brent ambles 1,77% ke US$ 65,39/barel.
Oleh karena itu, lonjakan kasus corona di India menimbulkan efek domino yang luas. Setidaknya efek itu sangat terasa di pasar keuangan dan pasar komoditas.
TIM RISET CNBC INDONESIA