Waspada Ada Tanda Awal Batu Bara Mau Turun Gunung Gaes

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 April 2021 11:30
Pekerja melakukan bongkar muat batu bara di Terminal Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (23/2/2021). Pemerintah telah mengeluarkan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun salah satunya Peraturan Pemerintah yang diterbitkan yaitu Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Batu Bara di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Para trader terlihat mulai melakukan aksi ambil untung atas kenaikan harga batu bara. Setelah tembus US$ 92/ton minggu lalu harga batu bara berjangka ICE Newcastle balik arah pada perdagangan perdana pekan ini, Senin (19/4/2021).

Harga kontrak si batu legam yang aktif diperjualbelikan di bursa berjangka turun 0,87% dibanding posisi penutupan minggu lalu. Kini harga kontrak tersebut dibanderol di US$ 91,6/ton. 

Minggu lalu harga batu bara bisa menguat 8% karena didukung oleh rilis data ekonomi China sebagai konsumen terbesar batu bara dunia yang apik. Ekonomi China tercatat tumbuh 18,3% (yoy) di kuartal pertama dan berpeluang tumbuh 8,4% (yoy) di tahun ini jika mengacu pada proyeksi IMF. 

Semakin kencangnya roda perekonomian Tiongkok berputar maka besar harapan harga komoditas ikut terkerek naik. Maklum China merupakan negara importir komoditas terbesar di dunia, tak terkecuali batu bara. 

Hubungan China dengan Indonesia yang mesra di tengah memanasnya tensi bilateral Negeri Panda dengan Negeri Kanguru semakin menguntungkan posisi RI yang kebetulan banyak menjadikan China sebagai destinasi ekspor.

Tahun ini harga batu bara memang diramal bakal lebih tinggi dibanding tahun pandemi 2020. Rata-rata harga batu bara termal ICE Newcastle sepanjang tahun 2021 berada di US$ 86/ton. Jika dibandingkan dengan tahun lalu yang berada di rentang US$ 50 - US$ 60 per ton maka ada kenaikan fantastis memang. 

Pasar batu bara diperkirakan membaik tahun ini. Namun tak akan mencapai level 2019. Hanya saja peta pasar menjadi berubah. China lebih condong ke batu bara RI sementara India lebih ke Australia. Satu yang tak berubah.

Negara-negara barat seperti AS dan Eropa terus berupaya untuk meninggalkan bahan bakar polutif yang satu ini. Momentum Covid-19 dianggap sebagai periode yang tepat untuk semakin agresif melawan perubahan iklim dan membangun ekonomi yang lebih sustainable.

Kenaikan harga batu bara tidak hanya ditopang oleh fundamentalnya saja. Tetapi juga didorong oleh sentimen bahwa supersiklus komoditas akan terjadi lagi. Masih terlalu dini untuk mengatakan tahun ini commodity supercycle terjadi.

Menurut kolumnis Reuters, jika fenomena tersebut terjadi batu bara bukanlah komoditas yang dimaksud karena ada pergeseran pola kehidupan yang lebih condong ke arah yang sustainable. 

Lantas mengapa harga batu bara sulit turun dan cenderung bertahan di atas US$ 80/ton? Jawabannya adalah karena harga batu bara China juga masih belum benar-benar melandai ke harga normal yang dipatok pemerintah. 

Harga batu bara termal Qinhaungdao seharusnya berada di rentang RMB 500 - RMB 570/ton agar tidak terlalu murah dan kemahalan sehingga masih bisa membuat penambang dan perusahaan utilitas untung. 

Namun sekarang harga batu bara acuan domestik tersebut masih berada di atas RMB 700/ton. Hal ini semakin menimbulkan spekulasi bahwa keran impor China masih belum akan ditutup apalagi ketika ekonominya kian ekspansif. Jadilah harga batu bara global juga ikut kuat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perhapi: Harga Wajar Batu Bara 2021 ada di USD 70 -80 Per Ton

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular