Tancap Gas, DPR Targetkan UU EBT Sah di Oktober 2021

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 January 2021 12:35
Foto: "PLN gandeng PGE garap PLTP ulubelu lampung dan pltp lahendong sulawesi utara". Doc PLN.

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) akan rampung pada Oktober 2021 mendatang.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto.

Sugeng mengatakan, pada 25 Januari 2021 lalu pihak DPR sudah menerima draf terbaru RUU EBT. Dengan demikian, diproyeksikan RUU EBT ini akan segera rampung menjadi UU EBT sebelum akhir tahun ini.

"Per 25 Januari sudah dapat draf baru. Insya Allah Oktober nanti UU EBT akan segera tuntas jadi UU baru di Indonesia," ungkapnya dalam 'MGN Summit 2021 Sustainable Energy: Green and Clean', Kamis (28/01/2021).

Dia menegaskan, target ini harus konsisten dikerjakan demi mengejar target bauran energi 23% pada 2025 mendatang. Jika Presiden tidak melakukan revisi, imbuhnya, maka target ini harus dikawal dan harus jalan terus.

"Inilah, kita harus konsisten, kecuali Presiden katakan surrender (menyerah) karena Covid lalu target 23% direvisi. Tapi, kalau enggak ada revisi, kita harus kawal dan jalan terus," tegasnya.

Seperti diketahui, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi baru terbarukan hingga 2020 baru mencapai 11,51%, padahal pemerintah menargetkan bauran EBT pada 2025 minimal mencapai 23%.

Bila dibandingkan 2019 yang sebesar 9,2%, maka bauran EBT pada 2020 meningkat 2,3%.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan capaian bauran EBT yang masih rendah ini juga disebabkan karena adanya pandemi Covid-19, sehingga sejumlah pembangkit listrik berbasis EBT yang seharusnya dijadwalkan beroperasi pada 2020, menjadi mundur ke tahun ini.

"Penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis EBT 176 MW di 2020, tidak cukup besar dari target 23% di 2025, karena pandemi Covid-19, ada beberapa pembangkit digeser COD (Commercial Operation Date)-nya mundur ke tahun ini," tutur Dadan saat konferensi pers, Kamis (14/01/2021).

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan RUU EBT dibuat dengan pemikiran untuk mengakselerasi pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Dalam lima tahun terakhir menurutnya pengembangan kapasitas EBT lebih rendah dari target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dia menyebut pertumbuhan pembangkit EBT dalam lima tahun terakhir 2015-2019 hanya 400 mega watt (MW) per tahun, lebih rendah dari lima tahun sebelumnya 2010-2014 sekitar hampir 600 MW per tahun.

Sementara pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Untuk mencapai target tersebut, maka menurutnya diperlukan sekitar tambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 14-15 giga watt (GW) atau sekitar 3-4 GW per tahunnya.

Selama ini kebijakan terkait dengan EBT, imbuhnya, hanya diatur pada level peraturan menteri baik soal harga dan lainnya. Karena aturan kerap berubah dan tidak konsisten, maka menurutnya perlu aturan yang lebih tinggi.
Target bauran energi baru terbarukan tidak hanya sampai 2025, bahkan hingga 2050 jika terkait tren global yang mendorong dekarbonisasi untuk pembangkit listrik.

"Kita perlu tambah EBT, bahkan perhitungan kami itu bukan hanya 140 giga watt (GW), untuk dekarbonisasi sektor listrik di Indonesia maka kita perlu tambah 400-450 GW kapasitas terpasang sampai dengan 2050," jelasnya saat wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020).

Melihat tingginya target ini, maka menurutnya diperlukan kepastian regulasi. Dia pun mengusulkan agar target bauran energi ini juga ditugaskan ke pemerintah daerah.

Menurutnya, EBT memiliki karakter keekonomian yang berbeda-beda, tergantung pada teknologi dan lokasi. Namun tren secara global menunjukkan bahwa biaya produksi listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) semakin menurun. Bahkan rata-rata saat ini untuk skala besar harganya di bawah 4 sen dolar per kilo Watt hour (kWh).

"Jauh lebih murah daripada pembangkit uap (PLTU) batu bara. Kemudian, pembangkit listrik tenaga angin juga mengarah ke sana sekitar 4-5 sen dolar per kWh. Anggapan pembangkit EBT mahal, ya nggak tepat juga," tuturnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kadin Curhat Susahnya Bangun Proyek EBT di Indonesia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular