
Proyek Nuklir Didukung! Simak Bocoran RUU EBT Nih

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Sejak pekan lalu Komisi VII DPR RI, Komisi DPR yang menangani bidang energi, pertambangan dan teknologi, secara intens mengundang sejumlah pemangku kepentingan, seperti Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bahkan institusi penyedia pembiayaan sektor EBT seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) untuk mendengar sejumlah masukan untuk dimasukkan ke dalam RUU EBT ini.
Lantas, apa saja isu-isu penting dalam RUU EBT ini?
Berdasarkan dokumen Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (22/09/2020), jenis sumber energi dalam RUU ini dibagi menjadi dua yaitu Sumber Energi Baru dan Sumber Energi Baru Terbarukan.
Terdiri dari 55 pasal, Rancangan UU ini mengatur mulai dari jenis energi baru dan terbarukan, perizinan, pengusahaan, penyediaan, pemanfaatan hingga harga, pendanaan, serta insentif maupun partisipasi masyarakat untuk pengembangan EBT.
Pada Pasal 6 RUU EBT ini disebutkan bahwa sumber energi baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya.
Lalu pada Pasal 7 dilanjutkan dengan penjelasan bahwa nuklir dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning pembangkit listrik tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, dan atau badan swasta.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah berkonsultasi dengan DPR RI.
"Pengawasan terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir dilakukan oleh badan pengawas tenaga nuklir yang dibentuk oleh negara," isi bunyi ayat keempat Pasal 7 tersebut.
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sumber EBT lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada Pasal 9 dilanjutkan dengan aturan perizinan. Pada pasal ini disebutkan bahwa "Dalam pengusahaan energi baru, badan usaha wajib memiliki izin pengusahaan."
Pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah memberikan izin pengusahaan kepada badan usaha sesuai dengan kewenangannya. Adapun badan usaha yang dimaksud tersebut terdiri atas BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, koperasi, badan usaha milik swasta dan badan usaha lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Izin pengusahaan wajib memuat persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial," bunyi pasal tersebut.
Lalu pada Pasal 13 diatur tentang pengusahaan energi baru. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pengusahaan energi baru digunakan untuk pembangkitan tenaga listrik, mendukung kegiatan industri, transportasi dan atau kegiatan lainnya.
Kemudian pada Pasal 14 diatur bahwa kegiatan pengusahaan energi baru dapat dilakukan dalam bentuk:
a. pembangunan fasilitas energi baru,
b. pembangunan fasilitas penunjang energi baru,
c. operasi dan pemeliharaan fasilitas energi baru,
d. pembangunan fasilitas penyimpanan,
e. pembangunan fasilitas distribusi energi baru,
f. pembangunan fasilitas pengolahan limbah energi baru.
RUU EBT ini juga mengatur tentang ekspor dan atau impor sumber EBT. Hal ini tertuang dalam Pasal 15. Pada pasal ini disebutkan bahwa badan usaha dapat melaksanakan ekspor dan atau impor sumber energi baru. Namun sumber energi baru yang diekspor dikenai pungutan ekspor yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan usaha yang melaksanakan ekspor dan atau impor sumber energi baru wajib mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan berdasarkan rekomendasi dari Menteri.
"Rekomendasi diberikan setelah mempertimbangkan kapasitas produksi dan jaminan pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri."
Pada Pasal 16 disebutkan bahwa "Badan usaha yang mengusahakan energi baru wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri."
Produk dan potensi dalam negeri tersebut antara lain:
a. tenaga kerja Indonesia
b. teknologi dalam negeri
c. bahan-bahan material dalam negeri
d. komponen dalam negeri lainnya yang terkait energi baru.
Terkait dengan penyediaan, pada Pasal 20 diatur bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi baru.
"Pemerintah pusat dapat menugaskan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi baru."
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian tenaga listrik dan pembelian bahan bakar diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sementara pada Pasal 21 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan pemanfaatan energi baru dengan:
a. mengoptimalkan dan mengutamakan seluruh potensi sumber energi baru setempat secara berkelanjutan,
b. mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, lingkungan, dan keberlanjutan,
c. memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi baru.
Pada Pasal 22 mulai disinggung tentang Sumber Energi Terbarukan. Pada pasal ini disebutkan bahwa sumber energi terbarukan terdiri atas:
a. panas bumi,
b. angin,
c. biomassa,
d. sinar matahari,
e. aliran dan terjunan air,
f. sampah,
g. limbah produk pertanian,
h. limbah atau kotoran hewan ternak,
i. gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut,
j. sumber energi terbarukan lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sumber energi terbarukan lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sama halnya dengan sumber energi baru, dalam pengusahaan energi terbarukan, badan usaha juga wajib memiliki izin pengusahaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 24.
Pada Pasal 25 disebutkan bahwa "pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah memberikan kemudahan perizinan dalam pengusahaan energi terbarukan."
Kemudahan perizinan sebagaimana tersebut disebutkan meliputi kepastian:
a. prosedur
b. jangka waktu
c. biaya.
Namun, bedanya dengan perizinan sumber energi baru, untuk perizinan sumber energi terbarukan ini dapat dilakukan oleh perorangan, bukan hanya badan usaha.
Pada Pasal 26 tercantum bahwa "selain badan usaha, perorangan juga dapat mengusahakan energi terbarukan ini." Pengusahaan energi terbarukan yang dilakukan oleh perorangan dalam kapasitas tertentu wajib memiliki izin pengusahaan.
Sama halnya dengan sumber energi baru, pada sumber energi terbarukan juga diatur mengenai ketentuan ekspor dan atau impor. Pasal 31 menyebutkan bahwa "badan usaha dapat melaksanakan ekspor dan atau impor sumber energi terbarukan. Sumber energi terbarukan yang diekspor dikenai pungutan ekspor yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Begitu pun dengan tingkat komponen dalam negeri, pada Pasal 32 diatur bahwa badan usaha yang mengusahakan energi terbarukan wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Begitu juga terkait penyediaan energi, pada Pasal 36 diatur bahwa "Perusahaan listrik milik negara wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan. Pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan."
Dalam pasal ini juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi terbarukan.
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian tenaga listrik dan pembelian bahan bakar diatur dalam peraturan pemerintah.
Sedangkan bagi badan usaha di bidang penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi tak terbarukan harus memenuhi standar portofolio energi terbarukan. Hal ini tertuang dalam Pasal 37.
Badan Usaha di bidang penyediaan bahan bakar minyak yang bersumber dari energi tak terbarukan harus mencampur dengan sumber bahan bakar nabati.
Penggunaan energi terbarukan sesuai standar portofolio energi terbarukan disesuaikan dengan target kebijakan energi nasional.
Badan usaha wajib melaporkan rencana penyediaan energi terbarukan secara berkala kepada Menteri. Dalam hal badan usaha tidak memenuhi standar portofolio energi terbarukan, badan usaha diwajibkan untuk membeli sertifikat energi terbarukan.
Dalam RUU ini juga diatur tentang harga energi baru dan terbarukan. Harga energi baru dan terbarukan ditetapkan pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian wajar bagi badan usaha.
Penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan berupa:
a. tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan,
b. harga indeks pasar bahan bakar nabati,
c. mekanisme lelang terbalik.
Pada Pasal 48 juga disebutkan tentang pemberian insentif dari pemerintah pusat dan pemda kepada badan usaha, baik berupa insentif fiskal dan atau non fiskal untuk jangka waktu tertentu.
Pun perihal pendanaan juga diatur pada Pasal 49, yakni bisa berasal dari APBN maupun non-APBN seperti APBD, pungutan ekspor energi tak terbarukan, dana perdagangan karbon, dana sertifikat energi terbarukan, dan atau sumber lainnya.
Adapun peraturan pelaksana dari turunan UU ini harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU ini diundangkan.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kadin Curhat Susahnya Bangun Proyek EBT di Indonesia