Penjualan Ritel RI Jatuh Nggak Bangun-bangun, Sampai Kapan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 December 2020 12:27
Matahari Department Store
Ilustrasi Penjualan Ritel (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan ritel Indonesia masih belum pulih. Pada Oktober, penjualan ritel turun lebih tajam ketimbang bulan sebelumnya dan pada November lebih parah lagi.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Oktober 2020 berada di 183,5. Ambles 14,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY), lebih dalam ketimbang penurunan September 2020 yang 8,7% YoY.

"Penurunan tersebut terjadi pada mayoritas kelompok yang dipantau seperti makanan, minuman, dan tembakau yang tercatat kontraksi 5,6% YoY setelah bulan sebelumnya tumbuh 3,1% YoY. Kemudian terjadi penurunan kinerja kelompok peralatan komunikasi dan informasi serta kelompok barang lainnya dari semula masing-masing 22,2% YoY dan 51,8% YoY pada September 2020 menjadi 30,9% YoY dan 53,5% YoY," tulis laporan BI yang dirilis Kamis (10/12/2020).

Untuk November 2020, BI memperkirakan penjualan ritel terkontraksi (tumbuh negatif) lebih dalam lagi yakni 15,7% YoY. Terutama disebabkan penurunan penjualan kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi.

Kondisi penjualan ritel memang sangat mengkhawatirkan. Kontraksi sudah terjadi dalam 11 bulan beruntun. Dalam 11 bulan itu, rata-rata pertumbuhannya adalah -9,6% YoY.

Ritel adalah salah satu sektor usaha yang terdepan kena dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Sebab, bisnis ritel memiliki intensitas kontak fisik yang tinggi.

Padahal yang namanya kontak fisik menjadi sesuatu yang 'haram' pada masa pandemi. Jika kontak antar-manusia semakin tinggi, maka risiko penyebaran virus pun demikian.

Oleh karena itu, wajar kalau aktivitas masyarakat Indonesia di pusat perbelanjaan ritel belum kembali seperti dulu. Berdasarkan laporan Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, kepadatan pengunjung di pusat perbelanjaan ritel dan lokasi rekreasi masih 18% di bawah normal.

Kunci untuk memulihkan penjualan ritel (dan ekonomi secara keseluruhan) adalah kehadiran vaksin anti-virus corona. Inggris sudah memulai tahap vaksinasi berbekal vaksin buatan Pfizer-BioNTech. Kanada sepertinya akan menyusul Inggris dalam waktu dekat.

Di Amerika Serikat (AS), otoritas pengawas obat dan makanan sedang menggodok izin penggunaan darurat vaksin Pfizer-BioNTech. Sejauh ini tidak ada catatan, dan kemungkinan izin bisa keluar pada Jumat atau Sabtu pekan ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Pekan ini, 1,2 juta dosis vaksin Sinovac dari China sudah tiba di Indonesia. Seperti di negara-negara lain, vaksin baru bisa digunakan setelah memperoleh restu dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Sekarang kita sedang berproses untuk observasi pengamatan untuk melihat aspek keamanannya, terutama khasiat dan efektivitasnya. Nah, itulah kenapa kita akan keluarkan Emergency Use Authorization (EUA)," kata Penny Lukito, Kepala BPOM, belum lama ini.

Dengan EUA, maka tingkat efektivitas vaksin akan mendapat toleransi. Kalau pada umumnya tingkat efikasi minimal 70%, maka EUA dibolehkan cukup 50%.

"Dapat kami laporkan dari aspek mutu dan vaksin tersebut, dengan hasil dari inspeksi tim BPOM, MUI (Majelis Ulama Indonesia), Bio Farma, dapat dikatakan produk tersebut sudah memenuhi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) di fasilitas China. Untuk mendapatkan data klinis, dan khasiatnya didapatkan dari uji klinis di Bandung dan hasil uji klinis yang dilakukan di negara lain seperti di Brasil," papar Penny.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular