Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi produsen batu bara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki cadangan batu bara mencapai 37,45 miliar ton. Bila tidak ada inovasi apapun, maka artinya industri batu bara akan memasuki era tenggelam atau 'sunset'. Dengan jumlah cadangan batu bara yang besar tersebut, sangat disayangkan bila tidak dioptimalkan, terutama untuk kebutuhan energi di domestik.
Untuk itu, pemerintah pun kini terus menggalakkan program hilirisasi batu bara agar pengusaha batu bara tidak hanya menggali dan menjual, tapi juga meningkatkan nilai tambah menjadi sejumlah produk, seperti methanol, dimethyl ether (DME), briket, kokas, dan lainnya.
Produk hilirisasi tersebut nantinya bisa berdampak pada peningkatan pasokan energi di dalam negeri, karena produk berupa DME bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif pengganti LPG yang kini masih didominasi impor.
Namun memang, hingga kini Indonesia baru melakukan dua jenis hilirisasi batu bara dan tujuh jenis yang ditargetkan bisa dikerjakan, yakni pembuatan briket dan peningakatan mutu batu bara.
Lantas, dengan deretan sejumlah proyek hilirisasi itu, apakah cadangan batu bara nasional bisa mencukupinya? Berapa lama cadangan batu bara RI bisa dieksploitasi?
Berikut ulasan CNBC Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Desember 2019, Indonesia memiliki sumber daya batu bara mencapai 149,01 miliar ton dan cadangan 37,45 miliar ton.
Bila produksi nasional rata-rata sekitar 550 juta ton per tahun, maka artinya cadangan batu bara Indonesia masih bisa dieksploitasi hingga 68 tahun ke depan.
Dari cadangan tersebut, sebanyak 90% merupakan batu bara berkalori sedang dan rendah, sehingga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan hilirisasi batu bara, seperti gasifikasi, mengubah batu bara menjadi methanol atau dimtehyl ether (DME).
Adapun rinciannya yaitu batu bara berkalori sedang sebesar 58,56%, berkalori rendah 30,90%, kalori tinggi 7,13%, dan kalori sangat tinggi 3,41%.
Dari cadangan 37,45 miliar ton tersebut, mayoritas terdapat di Kalimantan yakni mencapai 24,75 miliar ton dan Sumatera 12,69 miliar ton. Sementara dari sisi sumber daya yang mencapai 149,01 miliar ton, mayoritas juga terdapat di Kalimantan yakni mencapai 62,11% atau 92,55 miliar ton, lalu Sumatera 37,70% 56,24 miliar ton, sisanya di Jawa 0,06 miliar ton, Sulawesi 0,07 miliar ton, dan Maluku dan Papua masing-masing 0,01 miliar ton.
Bila jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan batu bara untuk keperluan hilirisasi, maka jumlah cadangan batu bara nasional masih bisa bertahan lebih dari 50 tahun. Dengan asumsi tambahan produksi sekitar 100 juta ton untuk pemanfaatan hilirisasi batu bara di dalam negeri, cadangan sebesar 37,45 miliar ton itu masih bisa tersedian untuk 57 tahun ke depan.
Sejak lima tahun terakhir, produksi batu bara Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Bahkan, puncaknya terjadi pada 2019 lalu di mana produksi melebihi 600 juta ton, yakni 616 juta ton.
Pada 2015, produksi batu bara Indonesia mencapai 461 juta ton, lalu sempat turun tipis menjadi 456 juta ton pada 2016, namun naik lagi pada 2017 menjadi 461 juta ton. Kemudian pada 2018 melonjak signifikan menjadi 557 juta ton dan puncaknya tahun lalu sebesar 616 juta ton. Sementara pada 2020 ini produksi ditargetkan sebesar 550 juta ton. Namun hingga Oktober 2020, produksi telah mencapai 459 juta ton.
Peningkatan produksi batu bara tersebut juga berdampak pada peningkatan ekspor dan juga penjualan domestik. Namun porsi penjualan domestik masih jauh lebih rendah dibandingkan ekspor yakni hanya sekitar 25%-30%.
Pada 2015, ekspor batu bara nasional mencapai 367 juta ton, lalu naik menjadi 370 juta ton pada 2016, 389 juta ton pada 2017, 429 juta ton pada 2018, dan puncaknya menyentuh angka 455 juta ton pada 2019. Sementara tahun ini ditargetkan mencapai 395 juta ton. Namun hingga Oktober telah menyentuh 327 juta ton.
Sementara penjualan domestik (Domestic Market Obligation/ DMO) pada 2015 baru sebesar 86 juta ton, naik menjadi 91 juta ton pada 2016, lalu 97 juta ton pada 2017, dan naik signifikan pada 2018 menjadi 115 juta ton, dan puncaknya pada 2019 yang mencapai 138 juta ton. Pada tahun ini ditargetkan mencapai 155 juta ton, namun hingga Oktober telah mencapai 109 juta ton.
Muhammad Wafid, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan potensi kebutuhan batu bara untuk proyek gasifikasi domestik guna menggantikan impor LPG, bensin, dan olefin bisa mencapai 103,3 juta ton per tahun. Jumlah tersebut di luar kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik proyeknya yang diperkirakan mencapai 38,91 juta ton.
Sementara kebutuhan methanol untuk substitusi impor LPG, bensin, dan olefin tersebut diperkirakan mencapai 52 juta ton.
"Jadi, kebutuhan batu bara untuk proses hilirisasi sebesar 103,3 juta ton dan untuk pembangkit listrik 38,91 juta ton," ungkapnya dalam sebuah webinar tentang batu bara pada Rabu (18/11/2020).
Dia mengatakan, kebutuhan tersebut dengan asumsi salah satunya yaitu akan menggantikan LPG sebanyak 5,9 juta ton per tahun. Untuk substitusi 5,9 juta ton LPG tersebut, dibutuhkan DME sebanyak 9,36 juta ton dan methanol 13,37 juta ton. Adapun kebutuhan batu bara untuk memproses gasifikasi tersebut mencapai 26,6 juta ton dan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik sebanyak 10,03 juta ton.
Sedangkan untuk mengganti 16,52 juta ton bensin, dibutuhkan methanol sebanyak 13,37 juta ton dan batu bara 26,6 juta ton, serta batu bara untuk pembangkit listriknya sebanyak 10,03 juta ton. Selebihnya, batu bara dibutuhkan untuk gasifikasi sebagai substitusi minyak (crude oil) untuk solar dan olefin.
Namun pada 2025, diperkirakan kebutuhan metanol di Indonesia baru mencapai 2,1 juta ton per tahun dengan impor mencapai 1,6 juta ton.
"Perkiraan itu dengan melihat tren 2016-2019," ujarnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setidaknya ada tujuh jenis proyek hilirisasi batu bara yang bisa dikerjakan. Namun dari tujuh jenis tersebut, Indonesia baru mengembangkan dua jenis hilirisasi batu bara, yakni pembuatan briket batu bara dan peningkatan mutu batu bara (coal upgrading).
Sementara lima jenis lainnya hingga saat ini belum juga dikembangkan. Kelima jenis tersebut antara lain gasifikasi batu bara di permukaan, gasifikasi batu bara di bawah tanah (Underground Coal Gasification/ UCG), pencairan batu bara (coal liquefaction), pembuatan kokas, dan coal slurry/ coal water mixture (minyak bakar).
Berikut perkembangan proyek hilirisasi batu bara Indonesia saat ini:
1. Pembuatan briket batu bara
Ada dua perusahaan yang mengembangkan proyek ini yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Thriveni. Adapun besaran investasi untuk proyek briket ini mencapai sekitar Rp 200 miliar (US$ 15 juta). Saat ini sudah komersial dikembangkan.
2. Peningkatan mutu batu bara (coal upgrading)
Dikerjakan oleh PT ZJG Resources Technology dengan perkiraan investasi US$ 80-170 juta atau sekitar Rp 1,13 triliun-Rp 2,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$). Ini sudah komersial dikembangkan.
3. Gasifikasi batu bara
Ada rencana dikembangkan oleh:
- PT Bukit Asam, produk: DME, methanol.
Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Generasi 1 menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK):
- KPC, produk: methanol
- Arutmin Indonesia, produk Syngas (finalisasi kajian)
- Adaro Indonesia, methanol (masih kajian awal)
- Berau Coal, produk DME/ Hidrogen (masih kajian awal).
Adapun nilai investasi per proyek diperkirakan mencapai US$ 1,5-3 miliar.
Saat ini belum komersial.
4. Underground Coal Gasification (UCG)
Direncanakan dikembangkan oleh:
- PT Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur (Pilot plant)
- PT Indominco di Kalimantan Timur
- PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energi Ltd di Kalimantan Utara.
Adapun proyeksi investasi sekitar US$ 600-800 juta, 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi permukaan. Namun hingga kini belum komersial.
5. Pencairan Batu Bara (coal liquefaction)
Hingga kini belum ada yang mengajukan proyek ini ke pemerintah. Adapun perkiraan investasi sekitar US$ 2-4 miliar.
6. Pembuatan Kokas
Semi cooking coal plant project direncanakan dikembangkan PT Megah Energi Khatulistiwa, produk: Semi Coke, Coal tar.
Perkiraan investasi sekitar US$ 200-400 juta. Namun hingga kini belum secara utuh komersial.
7. Coal slurry/ coal water mixture
Belum ada yang mengusulkan proyek ini ke pemerintah. Perkiraan investasi sekitar US$ 200 juta.