
2050 Konsumsi Batu Bara Dunia Diramal Anjlok 90%, Gimana RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Permintaan batu bara dunia diperkirakan akan semakin anjlok seiring dengan transisi energi dari energi berbasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT) dan sebagai upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca. Pada 2050 mendatang, permintaan batu bara global bahkan diproyeksikan akan turun sampai 90%.
Hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dia mengatakan, puncak permintaan batu bara global telah terjadi pada 2014, dan setelah itu terus terjadi penurunan.
"Mengikuti beberapa skenario, skenario ekstrim penurunan 1,5 (derajat Celsius) suhu bumi, batu bara akan turun 90%. Ini tantangan berat buat kita," ungkapnya dalam acara diskusi 'Bimasena Energy Dialogue 4', Jumat (19/03/2021).
"Inilah realitas yang kita hadapi, jadi dasar kita membuat skenario," imbuhnya.
Dia mengatakan, salah satu skenario memperkirakan suplai dan permintaan batu bara dunia akan turun 25% pada 2035 dan 40% pada 2050. Adapun asumsi penurunan permintaan batu bara sebesar 40% pada 2050 itu berasal dari pengetatan peraturan lingkungan dan energi baru terbarukan (EBT), gas alam, dan elektrifikasi yang semakin kompetitif.
Sementara untuk mengejar target penekanan suhu sekitar 1,5 derajat Celsius, maka diperlukan penurunan konsumsi batu bara hingga 90% pada 2050.
Namun, bila transisi energi ini berjalan lambat, maka justru akan berdampak pada peningkatan permintaan batu bara sebesar 4% pada 2050.
"Skenario paling ekstrem itu ketika mengikuti penurunan suhu bumi," tegasnya.
Guna mengantisipasi turunnya permintaan batu bara dunia, pemerintah pun kini terus menggencarkan hilirisasi batu bara agar penggunaan batu bara di dalam negeri semakin meningkat. Hal ini sudah dimandatkan dalam Pasal 169 Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
"Pasal 169 jadi dasar kuat, ini sudah diputuskan oleh pemerintah, jadi kewajiban bersama untuk melaksanakannya," tegasnya.
Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, berdasarkan The World Energy Outlook 2020, jika ingin mencapai Perjanjian Paris, maka PLTU subcritical yang memproduksi sekitar 5.000 Tera Watt hours (TWh) harus berakhir pada 2030. Juga semua jenis PLTU yang lebih maju harus berhenti sebelum 2040.
"Tapi mungkin banyak orang yang akan pertanyakan apakah skenario ini layak di Indonesia? Saya bayangkan argumentasinya lebih 3/4 kapasitas PLTU di bawah 20 tahun dan punya usia ekonomis," ungkapnya dalam 'Indonesia Energy Transition Outlook 2021', Selasa (26/01/2021).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Batu Bara RI Tak Laku 20 Tahun Lagi, Tapi Cadangan Melimpah!
