
Blok Dagang Terbesar Dunia Lahir, Siapa Untung & Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu lagi sejarah terukir di tahun ini. Selain merebaknya wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang menjadi pandemi terbesar pertama sejak seabad terakhir, blok perjanjian dagang paling fenomenal di dunia juga lahir.
Adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 10 negara ASEAN dengan China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.
Delapan tahun sudah sejak diinisiasi pertama kali oleh ASEAN dan dipimpin Iman Pambagyo selaku Dirjen Kementerian Perdagangan RI kala itu, dan setelah melalui diskusi alot yang disebut menguras 'darah, keringat dan air mata' oleh Azmin Ali (Menteri Perdagangan Malaysia), RCEP akhirnya lahir di Hanoi pada 15 November kemarin.
Perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia ini terbentuk di tengah ancaman deglobalisasi dan trade protectionism sebagai konsekuensi dari pandemi Covid-19 dan meningkatnya tensi geopolitik Washington dan Beijing.
Perjanjian dagang ini bakal menjangkau pasar senilai US$ 25,84 triliun atau 29,5% dari total output global dengan populasi konsumen mencapai 2,3 miliar. Kerjasama dagang dan ekonomi yang baru terbentuk ini bahkan lebih besar dari Uni Eropa maupun perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA).
RCEP punya cita-cita yang ambisius meski banyak juga pihak yang memandang blok dagang ini hanya bersifat simbolik saja. Dalam sebuah press release, tujuan dibentuknya kerja sama regional Asia-Pasifik ini adalah untuk mewujudkan kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan.
Kerja sama regional negara Asia Pasifik ini juga dibentuk guna memfasilitasi perluasan perdagangan regional dan investasi dan berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global, dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan kebutuhan ekonomi para anggota terutama bagi yang kurang berkembang.
Ya, RCEP memang melibatkan negara-negara kaya seperti Jepang dan Singapura sampai negara yang cenderung miskin seperti Laos dan Myanmar.
The Economist menulis bahwa model kooperasi perdagangan plurilateral ini bakal menerapkan pemangkasan tarif hingga 90% dalam kurun waktu 20 tahun, tentunya setelah setiap negara meratifikasinya.
RCEP akhirnya sah setelah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menarik diri dari kerja sama yang diberi nama Trans-Pasific Partnership (TPP) dua tahun silam. Beberapa negara anggota RCEP juga adalah negara yang tergabung dalam TPP sebelumnya.
Bagi pihak yang skeptis, RCEP dinilai hanya akan menguntungkan segelintir negara saja seperti China, Jepang dan Korea Selatan yang memang menjadi pusat industri manufaktur serta mengusai perdagangan.
Itulah kenapa India memilih untuk menarik diri dari RCEP karena khawatir bahwa industri domestiknya bakal digempur habis-habisan oleh impor produk dengan harga miring dari China.
Apalagi hubungan India dan China juga belakangan ini memanas seiring dengan konfrontasi militer yang terjadi di daerah perbatasan beberapa waktu lalu. Dominansi China dalam perdagangan memang tak bisa dipungkiri.
Di antara negara-negara anggota RCEP, China menjadi satu-satunya negara dengan nilai perdagangan mencapai lebih dari US$ 4,6 triliun dan masih bisa mencatatkan surplus sampai US$ 359,25 miliar pada 2018.
Menariknya lagi, struktur ekonomi negara-negara anggota RCEP juga cenderung kompetitif ketimbang komparatif bila mengacu pada sebuah makalah yang ditulis oleh Petri dan Plummer dari Peterson Institute for International Economics (PIIE) pada Oktober 2017 lalu.
Dalam makalah setebal 17 halaman tersebut, dua ekonom itu juga menyebut bahwa di dalam RCEP juga tidak ada satu negara pun yang dianggap sebagai natural leader layaknya Paman Sam, meski secara de facto China menjadi negara dengan perekonomian terbesar dalam blok dagang tersebut.