Internasional

Blok Dagang Terbesar Dunia Lahir, Siapa Untung & Buntung?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 November 2020 15:07
Presiden: PBB Harus Berperan Penuhi Akses Terhadap Obat-Obatan dan Vaksin bagi Semua. (Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden: PBB Harus Berperan Penuhi Akses Terhadap Obat-Obatan dan Vaksin bagi Semua. (Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu lagi sejarah terukir di tahun ini. Selain merebaknya wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang menjadi pandemi terbesar pertama sejak seabad terakhir, blok perjanjian dagang paling fenomenal di dunia juga lahir. 

Adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 10 negara ASEAN dengan China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Delapan tahun sudah sejak diinisiasi pertama kali oleh ASEAN dan dipimpin Iman Pambagyo selaku Dirjen Kementerian Perdagangan RI kala itu, dan setelah melalui diskusi alot yang disebut menguras 'darah, keringat dan air mata' oleh Azmin Ali (Menteri Perdagangan Malaysia), RCEP akhirnya lahir di Hanoi pada 15 November kemarin.

Perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia ini terbentuk di tengah ancaman deglobalisasi dan trade protectionism sebagai konsekuensi dari pandemi Covid-19 dan meningkatnya tensi geopolitik Washington dan Beijing. 

Perjanjian dagang ini bakal menjangkau pasar senilai US$ 25,84 triliun atau 29,5% dari total output global dengan populasi konsumen mencapai 2,3 miliar. Kerjasama dagang dan ekonomi yang baru terbentuk ini bahkan lebih besar dari Uni Eropa maupun perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). 

RCEP punya cita-cita yang ambisius meski banyak juga pihak yang memandang blok dagang ini hanya bersifat simbolik saja. Dalam sebuah press release, tujuan dibentuknya kerja sama regional Asia-Pasifik ini adalah untuk mewujudkan kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan.

Kerja sama regional negara Asia Pasifik ini juga dibentuk guna memfasilitasi perluasan perdagangan regional dan investasi dan berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global, dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan kebutuhan ekonomi para anggota terutama bagi yang kurang berkembang.

Ya, RCEP memang melibatkan negara-negara kaya seperti Jepang dan Singapura sampai negara yang cenderung miskin seperti Laos dan Myanmar. 

The Economist menulis bahwa model kooperasi perdagangan plurilateral ini bakal menerapkan pemangkasan tarif hingga 90% dalam kurun waktu 20 tahun, tentunya setelah setiap negara meratifikasinya. 

RCEP akhirnya sah setelah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menarik diri dari kerja sama yang diberi nama Trans-Pasific Partnership (TPP) dua tahun silam. Beberapa negara anggota RCEP juga adalah negara yang tergabung dalam TPP sebelumnya. 

Bagi pihak yang skeptis, RCEP dinilai hanya akan menguntungkan segelintir negara saja seperti China, Jepang dan Korea Selatan yang memang menjadi pusat industri manufaktur serta mengusai perdagangan. 

Itulah kenapa India memilih untuk menarik diri dari RCEP karena khawatir bahwa industri domestiknya bakal digempur habis-habisan oleh impor produk dengan harga miring dari China. 

Apalagi hubungan India dan China juga belakangan ini memanas seiring dengan konfrontasi militer yang terjadi di daerah perbatasan beberapa waktu lalu. Dominansi China dalam perdagangan memang tak bisa dipungkiri. 

Di antara negara-negara anggota RCEP, China menjadi satu-satunya negara dengan nilai perdagangan mencapai lebih dari US$ 4,6 triliun dan masih bisa mencatatkan surplus sampai US$ 359,25 miliar pada 2018.

Menariknya lagi, struktur ekonomi negara-negara anggota RCEP juga cenderung kompetitif ketimbang komparatif bila mengacu pada sebuah makalah yang ditulis oleh Petri dan Plummer dari Peterson Institute for International Economics (PIIE) pada Oktober 2017 lalu. 

Dalam makalah setebal 17 halaman tersebut, dua ekonom itu juga menyebut bahwa di dalam RCEP juga tidak ada satu negara pun yang dianggap sebagai natural leader layaknya Paman Sam, meski secara de facto China menjadi negara dengan perekonomian terbesar dalam blok dagang tersebut.

Lantas sebenarnya seberapa menguntungkan blok dagang terbesar di dunia ini? Apakah benar bisa mendorong perekonomian global ke depannya?

Apabila dibandingkan dengan kerja sama dagang regional Asia Pasifik lain seperti TPP tanpa AS (TPP11) maka dampak terhadap pendapatan globalnya lebih besar RCEP.

Petri dan Plummer mengestimasi tambahan pendapatan global di bawah TPP11 hanya sebesar US$ 147 miliar pada 2030 nanti sementara dengan RCEP bakal ada tambahan sebesar US$ 286 miliar.

Namun kerja sama perdagangan bebas tanpa AS tetap saja dampaknya akan minim. Apabila dalam TPP AS masih bergabung (TPP12) maka output global bakal bertambah sebesar US$ 492 miliar dalam satu dekade ke depan. Angka ini jelas jauh lebih besar dari dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh RCEP. 

Dengan skenario RCEP total ekspor pada 2030 bakal terdongkrak sebesar US$ 677 miliar. Namun dampak bagi masing-masing negara akan berbeda. Bagi negara anggota RCEP dampaknya positif sementara bagi India dan AS yang tidak terlibat dampaknya bersifat negatif. 

Bagi China, Jepang dan Korea Selatan dampak RCEP terhadap ekspor dan real income ketiga negara tersebut tergolong besar ketimbang dengan negara-negara anggota lainnya. 

Bagi RI, dampaknya positif tetapi size-nya terbilang masih minim bila mengacu pada working paper Petri dan Plummer. Total tambahan pendapatan riil nasional pada 2030 mencapai US$ 1 miliar sementara dari sisi ekspor dapat terdongkrak sebesar US$ 17 miliar. 

Sampai saat ini dari berbagai studi yang dilakukan oleh akademisi, praktisi hingga lembaga think tank global masih sepakat bahwa dampak perjanjian perdagangan bebas bersifat net gain.

Namun sekali lagi aspek kualitas dari perjanjian dagang tersebut hingga daya saing suatu negara juga akan sangat menentukan apakah anggota dari blok dagang bisa memaksimalkan dampak positif dari kerja sama yang disepakati. 

Bagi Indonesia yang menderita penyakit kronis yaitu defisit neraca dagang artinya harus bersiap diri membangun daya saing dari sisi kualitas produk, inovasi, produktivitas hingga keterjangkauan harga, karena tanpa semua aspek tadi mustahil dampak perdagangan bebas yang besar akan dirasakan oleh suatu negara. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular