Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan antara Prancis dan dengan negara-negara muslim terutama Timur Tengah memanas. Kasus karikatur Nabi Muhammad menuai kontroversi dan berujung pada pembunuhan seorang guru di Prancis.
Ini pun berkembang menjadi friksi hubungan dagang antara Prancis dan negara-negara penganut ajaran islam. Lalu bagaimana awalnya ini terjadi?
Kisah bermula ketika seorang guru sejarah dan geografi di sebuah sekolah pinggiran di kota Paris, bernama Samuel Paty (47 tahun) menunjukkan karikatur tokoh panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW dalam kelas pada 6 Oktober lalu.
Ini mendapat kecaman dari sejumlah wali murid. Namun sang guru mengatakan hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Sepuluh hari berselang, kejadian buruk menimpa Paty. Seorang remaja kelahiran Rusia bersuku Chechen membunuhnya.
Hal ini membuat publik gempar. Tak disangka pelajaran yang ditujukan berbuntut pada kejadian tragis dan menimbulkan perpecahan serta keresahan di masyarakat.
Kemarahan umat Islam menyeruak ke permukaan setelah Presiden Prancis Emanuel Macron mengatakan tak akan menarik karikatur tersebut. Bagi umat muslim potret Nabi adalah hal yang tabu.
Karya karikatur Nabi Muhammad dianggap sebagai bentuk penghinaan dan serangan terhadap umat Islam. Prancis yang beraliran sekuler pun mendapat protes keras dari banyak pihak terutama komunitas muslim dan para pemimpinnya.
Para aktivis di media sosial menyerukan berbagai tagar seperti #Boycottfrance #Boycott_French_products #ProphetMuhammad. Tak hanya di media sosial, isu boikot produk-produk Prancis pun diserukan oleh para pemimpin negara-negara Islam.
Di Kuwait, beberapa jaringan supermarket mulai mengeluarkan semua produk Prancis dari rak sebagai bentuk aksi protes. Di Qatar, Alwajba Dairy Company dan Almeera Consumer Goods Company mengatakan mereka akan memboikot produk Perancis dan akan memberikan alternatif lain.
Kampanye lain juga dilaporkan di Yordania, Palestina hingga Israel. Universitas Qatar juga bergabung dalam kampanye boikot, mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk menunda Pekan Budaya Prancis sebagai protes atas penghinaan anti-Islam.
Pada hari Sabtu, Presiden Turki Erdogan mengatakan Macron membutuhkan 'pemeriksaan mental' karena cara dia memperlakukan Muslim
Di Arab Saudi, seruan untuk memboikot jaringan supermarket Prancis, Carrefour, menjadi tren di media sosial. Sementara merek mewah seperti L'Oréal, Garnier, dan Lancôme menjadi target dalam daftar merek yang harus dihindari di pos media sosial.
Nafas sekularisme memang tak bisa dipisahkan dari Prancis. Melalui akun media sosialnya twitter Presiden Emanuel Macron membela diri dan mengatakan tak akan menyerah dengan berbagai aksi protes tersebut dalam rangka menegakkan nilai-nilai kebebasan berekspresi yang dianut.
Sebagai negara yang terbuka dengan total pangsa ekspor terhadap PDB mencapai lebih dari 30%, ekspor Prancis ke negara-negara muslim seperti Timur Tengah pasti akan mengalami penurunan.
Jika mengacu pada data Observatory Economic Complexity 2018, total ekspor Perancis ke berbagai negara muslim mencapai US$ 41,1 miliar atau setara dengan 7,29%, dari total ekspor keseluruhan negara itu, yang mencapai lebih dari US$ 530 miliar.
Namun banyak ekonom menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan terbilang kecil dan hanya bersifat jangka pendek saja.
"Ada beberapa ekspor persenjataan dan beberapa merek mewah di mana Anda mungkin akan melihat beberapa dampak, tetapi persentase ekspor Prancis yang masuk ke negara-negara itu akan sangat, sangat kecil. Jadi jika Anda berpikir, apa dampaknya pada perekonomian secara keseluruhan, itu tidak akan terlalu besar sama sekali, terutama sekarang, mengingat semua hal lain sedang terjadi, "Andrew Kenningham, kepala ekonom Eropa di Capital Economics, mengatakan kepada The National.
"Ada begitu banyak variabel lain yang mendorong ekspor, sehingga akan hilang di tengah-tengah hal itu."
Namun, Kenningham mengatakan beberapa merek mewah mungkin mengalami pukulan jika sebagian besar ekspor mereka menuju ke negara-negara GCC.
"Setiap ekspor yang hilang adalah kehilangan pendapatan, jadi itu masih akan berdampak bagi perusahaan yang penjualannya ke Timur Tengah penting," katanya.
"Tapi itu mungkin akan jauh, jauh lebih kecil daripada dampak yang kami dapatkan dari Covid dan lockdown ".
Merek-merek mewah sampai batas tertentu masih dapat tertahan oleh pemulihan di China sebagai konsumen besar merek-merek mewah, yang menurut Kenningham akan jauh lebih penting daripada apa yang akan terjadi di Timur Tengah, bahkan jika terjadi boikot.
Direktur Forecast Global di Economist Intelligence Unit, Agathe Demarais, mengatakan boikot itu akan berlangsung singkat jika mengacu pada peristiwa tahun 2015. Saat itu, protes serupa terjadi menyusul pembunuhan 12 orang di majalah satir Charlie Hebdo di Paris atas publikasi kartun yang sama.
"Ini adalah kejadian ulang dari apa yang terjadi pada 2015 ketika ada seruan untuk boikot produk Prancis di beberapa belahan dunia Muslim. Kejadian ini paling berumur pendek dan saya rasa perusahaan Prancis tidak memiliki masalah nyata dalam menjual produk mereka di Timur Tengah pada saat itu," kata Demarais.
Sementara seruan boikot disebut Kementerian Luar Negeri Prancis tak ada gunanya. Asosiasi Industri Makanan Nasional Prancis (ANIA) mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menilai konsekuensi ekonomi bagi pasar Timur Tengah yang mewakili 3% dari semua ekspor.
Asosiasi mengatakan mendukung pernyataan pemerintah yang menyerukan untuk kembali tenang dan tidak mengambil tindakan pembalasan.
Kasus pelecehan terhadap umat muslim juga sempat terjadi tahun 2006 silam. Buntut karikatur Nabi Muhammad yang dilansir koran Denmark membuat marah kaum muslim di Arab Saudi.
Boikot terhadap produk-produk Denmark terus dikampanyekan. Di banyak supermarket dipasang spanduk penolakan terhadap produk-produk Denmark.
The National melaporkan, ekspor ke Arab Saudi turun 40% setelah boikot dilakukan. Sementara ekspor ke Iran turun 47% jika mengacu pada data nasional.
Ekspor ke negara muslim lain seperti Libya, Suriah, Sudan dan Yaman juga mengalami penurunan besar. Denmark pun harus menderita kerugian yang tak kecil kala itu.
Nilai kerugiannya ditaksir mencapai US$ 158,4 juta, jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2005. Perusahaan makanan, terutama yang menjual produk susu, merupakan yang terkena dampak paling parah.
Pada tahun 2006, Pusat Penelitian Ekonomi dan Bisnis melihat ekspor Denmark ke 39 negara Islam untuk menganalisis kemungkinan efek boikot terhadap ekonomi. Dari awal tahun hingga Oktober 2005, ekspor berjumlah 11,8 miliar kroner Denmark atau setara dengan US$ 1,88 miliar.
Nilai tersebut setara dengan 2,4% dari ekspor barang Denmark, menurut Cebr dan setara dengan 0,5% dari produk domestik bruto negara itu. Lembaga pemikir tersebut mengatakan pada saat itu bahwa dalam skenario terburuk, PDB Denmark mungkin turun sebesar itu jika ekspor Denmark ke negara-negara tersebut menghilang sama sekali selama setahun.
Artinya jika menggunakan metode kalkulasi yang sama dengan PDB nominal Perancis mencapai US$ 2,8 trilun pada 2018, maka berdasarkan kalkulasi kasar saja nilai ekspor ke negara muslim berkontribusi sebesar 1,4% dari PDB Perancis. Terlepas dari dampak ke perekonomian yang diderita oleh Perancis, konflik seperti ini semakin membuat disintegrasi global yang sudah dipicu oleh adanya pandemi Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA