Internasional

Heboh Boikot Produk Prancis, Negeri Macron 'Berdarah-darah'?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 October 2020 16:26
Menara Eiffel, Perancis
Foto: Menara Eiffel, Perancis (AP/Lesdronographes)

Sebagai negara yang terbuka dengan total pangsa ekspor terhadap PDB mencapai lebih dari 30%, ekspor Prancis ke negara-negara muslim seperti Timur Tengah pasti akan mengalami penurunan.

Jika mengacu pada data Observatory Economic Complexity 2018, total ekspor Perancis ke berbagai negara muslim mencapai US$ 41,1 miliar atau setara dengan 7,29%, dari total ekspor keseluruhan negara itu, yang mencapai lebih dari US$ 530 miliar. 

Namun banyak ekonom menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan terbilang kecil dan hanya bersifat jangka pendek saja. 

"Ada beberapa ekspor persenjataan dan beberapa merek mewah di mana Anda mungkin akan melihat beberapa dampak, tetapi persentase ekspor Prancis yang masuk ke negara-negara itu akan sangat, sangat kecil. Jadi jika Anda berpikir, apa dampaknya pada perekonomian secara keseluruhan, itu tidak akan terlalu besar sama sekali, terutama sekarang, mengingat semua hal lain sedang terjadi, "Andrew Kenningham, kepala ekonom Eropa di Capital Economics, mengatakan kepada The National.

"Ada begitu banyak variabel lain yang mendorong ekspor, sehingga akan hilang di tengah-tengah hal itu."

Namun, Kenningham mengatakan beberapa merek mewah mungkin mengalami pukulan jika sebagian besar ekspor mereka menuju ke negara-negara GCC.

"Setiap ekspor yang hilang adalah kehilangan pendapatan, jadi itu masih akan berdampak bagi perusahaan yang penjualannya ke Timur Tengah penting," katanya.

"Tapi itu mungkin akan jauh, jauh lebih kecil daripada dampak yang kami dapatkan dari Covid dan lockdown ".

Merek-merek mewah sampai batas tertentu masih dapat tertahan oleh pemulihan di China sebagai konsumen besar merek-merek mewah, yang menurut Kenningham akan jauh lebih penting daripada apa yang akan terjadi di Timur Tengah, bahkan jika terjadi boikot.

Direktur Forecast Global di Economist Intelligence Unit, Agathe Demarais, mengatakan boikot itu akan berlangsung singkat jika mengacu pada peristiwa tahun 2015. Saat itu, protes serupa terjadi menyusul pembunuhan 12 orang di majalah satir Charlie Hebdo di Paris atas publikasi kartun yang sama.

"Ini adalah kejadian ulang dari apa yang terjadi pada 2015 ketika ada seruan untuk boikot produk Prancis di beberapa belahan dunia Muslim. Kejadian ini paling berumur pendek dan saya rasa perusahaan Prancis tidak memiliki masalah nyata dalam menjual produk mereka di Timur Tengah pada saat itu," kata Demarais.

Sementara seruan boikot disebut Kementerian Luar Negeri Prancis tak ada gunanya. Asosiasi Industri Makanan Nasional Prancis (ANIA) mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menilai konsekuensi ekonomi bagi pasar Timur Tengah yang mewakili 3% dari semua ekspor.

Asosiasi mengatakan mendukung pernyataan pemerintah yang menyerukan untuk kembali tenang dan tidak mengambil tindakan pembalasan.

(twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular