
Kejar-kejaran Aturan Tarif EBT, Duluan Mana UU atau Perpres?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini tengah menyusun Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Namun di saat bersamaan, pemerintah juga tengah membahas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tarif EBT.
Kedua beleid ini nantinya sama-sama akan mengatur tentang harga EBT yang selama ini masih dianggap mahal bagi konsumen dan belum memiliki kepastian usaha bagi investor.
Meski secara hierarki UU lebih tinggi daripada Perpres, namun sepertinya pemerintah akan fokus menerbitkan Peraturan Presiden terkait harga EBT ini terlebih dahulu.
Direktur Aneka Energi Direktorat Jenderal EBT dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan jika penerbitan Perpres ini tidak perlu menunggu UU EBT disahkan.
"Pepres tidak harus menunggu RUU (EBT) tuntas," tegasnya kepada CNBC Indonesia pada Jumat, (25/09/2020).
Mengenai harga EBT, Harris mengatakan dalam Rancangan Perpres EBT pemerintah mengatur tentang 'biaya penggantian' yakni biaya yang dikeluarkan pemerintah bila terdapat kasus harga EBT yang ditetapkan pemerintah lebih tinggi dibandingkan biaya pokok penyediaan listrik PLN. Selisih harga itu lah yang nantinya akan digantikan pemerintah.
"Biaya penggantian adalah untuk menutup gap (jika ada) antara harga (EBT) yang ditetapkan di dalam Rancangan Perpres dengan biaya pokok penyediaan tenaga listrik PLN," paparnya.
Namun sayangnya dia enggan menanggapi apakah istilah serupa akan dimasukkan ke dalam RUU EBT ini. Dia hanya menyebut bahwa RUU EBT dan Rancangan Perpes merupakan dua hal yang terpisah.
"Saya tidak bicara RUU EBT, saya bicaranya Rancangan Pepres, keduanya terpisah," tegasnya.
Berdasarkan dokumen RUU EBT yang diperoleh CNBC Indonesia, pada Pasal 47 RUU EBT menyebutkan bahwa "Dalam hal harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau badan usaha tersebut."
Menurut Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma, maksud dalam pasal tersebut bukan lah murni subsidi seperti halnya subsidi listrik yang dialokasikan dalam pos subsidi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan kompensasi.
Makna dari pasal tersebut menurutnya kompensasi terhadap harga yang ditetapkan pemerintah sesuai keekonomian, tetapi lebih tinggi dari harga listrik yang dijual kepada masyarakat yang juga ditetapkan oleh pemerintah.
"Selisih harga ini akan diberikan kompensasi. Kompensasi ini akan menggunakan dana energi terbarukan yang sumber dan penggunaannya juga diatur dalam RUU EBT ini," paparnya kepada CNBC Indonesia pada Jumat (25/09/2020).
Oleh karena itu, METI mengusulkan agar besaran kompensasi yang diberikan pemerintah ini diatur oleh sebuah badan usaha khusus pengelola EBT. Namun sayangnya badan pengelola energi terbarukan yang dimaksud saat ini belum ada di dalam draf RUU EBT tersebut.
"Penetapan besaran kompensasi harus dilakukan oleh Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang dalam draf itu belum dimunculkan," ungkapnya.
Pada Pasal 46 dan 47 RUU EBT ini disebutkan bahwa energi baru dan terbarukan ditetapkan pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha.
Namun untuk harga energi baru, ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara untuk harga energi terbarukan disebutkan terdiri dari beberapa jenis yakni berupa:
- tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan.
- harga indeks pasar bahan bakar nabati
- mekanisme lelang terbaik.
Sementara terkait Perpres tarif EBT, pemerintah sempat menuturkan akan mengatur skema feed in tariff atau harga patokan untuk masing-masing EBT.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kadin Curhat Susahnya Bangun Proyek EBT di Indonesia